Dua Puluh Sembilan

3.6K 434 16
                                    

---

"Aku gak apa-apa. Cuman luka-luka. Raka juga gak parah. Sedang ditangani dokter, Mbak."

Suara-suara berisik langsung mengelilinginya. Banyak tangan berusaha membuka seluruh pakaiannya yang kini terasa lengket.

Raka membuka mata perlahan dan menemukan seseorang berdiri sangat dekat dengannya.

"Aku butuh beberapa pengawal untuk berjaga di rumah sakit ini. Untuk aku dan Raka juga untuk petugas-petugas yang mungkin akan terganggu dengan kedatangan wartawan nantinya."

Raka mengernyitkan dahi. Dokter yang sedang memeriksanya langsung memeriksa dengan cekatan.

"Pak Raka tahu ini dimana?"

Raka mengangguk pelan. Ia menoleh dan mendapati wajah Sagara yang penuh luka menatapnya dengan lega.

"Raka sudah sadar. Sekarang sedang ditangani dokter. Lukanya gak terlalu parah. Mbak tenang aja, gak usah nekat nyusul bareng Om Wira."

Sagara mendekat setelah mematikan panggilan. Langkahnya terhenti sesaat sebelum akhirnya ia kembali menelpon seseorang. Karena jaraknya yang cukup jauh, Raka tidak bisa mendengar pembicaraan cowok itu. Tidak sampai lima menit kemudian Sagara kembali mendekat.

"Saya minta tolong disediakan ruangan VVIP paling privat dan dokter-dokter terpilih yang boleh masuk."

Perawat yang cukup senior itu mengangguk paham. "Kita sudah sesuaikan dengan keinginan Pak Tarendra. Untuk sekarang Mas Sagara boleh ke ruang rawat terlebih dahulu dengan beberapa perawat dan dokter karena lukanya juga perlu diobati,"

Sagara mengangguk patuh. Dirinya memang kurang nyaman berada di IGD yang penuh dengan orang. Apalagi satu persatu sudah mengenali dirinya dan Raka. Supir dan personal asisten Raka juga sudah dirawat terlebih dahulu.

"It's okay. Lo cuman luka."

Raka hanya mengangguk pelan. Tubuhnya sangat sakit dan berat hingga terasa susah digerakkan. Ketika Sagara menghilang dari pandangannya,  Raka memejamkan mata dan mulai menangis tanpa suara.

Beberapa jam yang lalu ia berpikir bahwa kematian sudah siap menyambutnya. Ia pikir bahwa disanalah ujung perjalanannya. Ia pikir bayangan Papi dan Juna bukan hanya sekadar halusinasi belaka.

Tapi Tuhan masih ingin ia hidup. Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk memperbaiki segala hal.

"Raka harus apa, Pi?"

---

"Sagara--"

Sagara langsung menoleh. Raka yang tertidur di ranjang sebelahnya sudah bangun dan mengulurkan tangan padanya. Tubuh cowok itu dipakaikan beberapa penyangga untuk menopang tulang-tulangnya yang patah.

"Haus?"

Sagara yang memang hanya luka-luka mampu berdiri dan tidak diberi infus dan hal-hal medis lainnya. Cowok itu hanya di plester di banyak tempat di tubuhnya.

Dengan pelan, cowok itu membantu Raka untuk minum dari botol dan sedotan yang sudah disediakan.

"Tangan dan kaki kiri lo patah. Untuk beberapa waktu ke depan lo akan susah untuk bergerak."

Raka hanya mengangguk paham atas informasi yang diberikan oleh sahabatnya itu.

"Bukan salah supir lo juga. Ada mobil nyalip dari belakang jadi dia banting stir ke kiri. Abis nabrak belakang truk, mobil nabrak pembatas tol. Beruntung gak ngebut jadi kerusakannya gak parah. Kondisi PA lo gak jauh beda. Dia cuman patah tangan kiri."

Sagara membenarkan selimut cowok itu sebelum akhirnya duduk di kursi tepat di sebelah Raka.

"Cuti gue mungkin di perpanjang sampe lo sembuh. Jadi lo harus siap liat gue setiap saat."

Musim Yang Baik [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang