#38

114 13 1
                                    

Haru masih setia menunggu Jimin datang, bahkan ia sempat menguap beberapa kali.

Ceklek

Haru mendongak, mendapati Jimin dengan wajah khawatir.
"Dimana Jena?" Tanya Jimin terhadap anaknya.

"Disitu," Haru menunjuk kamar mandi.

Jimin membuka pintu kamar mandi. Betapa terkejutnya ia melihat kaca pecah berserakan serta tubuh Jena yang terbaring lemah di atas lantai kamar mandi.

Haru menutup mulutnya saat mengetahui Jena terkulai di atas lantai. Ia tidak berani bicara apapun. Wajah Jimin mendeskripsikan kepanikan, jika Haru berbicara maka Jimin tak segan akan membentaknya.

Jimin menggendong Jena ala bridal style untuk selanjutnya ia bawa ke atas kasur. Matanya terlihat sembab dan tangannya berdarah. Jimin segera mengobati lukanya dengan perban dan alat P3K lainnya.

"Bagaimana kejadiannya, Haru?"

"Haru ngga tau awalnya gimana, tapi Haru denger tante Jena teriak saat Haru tidur, Haru kebangun sampai akhirnya Haru dengar suara pecahan kaca dan tante Jena nangis," ujarnya cepat dimengerti oleh Jimin.

Bocah ini memang cerdas, menuruni daddynya.

Setelah mendengar penjelasan Haru, Jimin memeriksa kamar mandi. Menyelidiki apa yang membuat Jena memecahkan kaca dan menangis.

Matanya mengeksplor ke segala arah. Satu titik yang membuatnya tercengang. Di atas wastafel ada sebuah persegi panjang kecil dengan total 5 buah. Jimin tahu betul benda tersebut. Ia langsung menyambar 5 testpack dan membaca hasil dari tes urinnya.

'POSITIF'

Kelima-limanya positif.
"What?" Jimin memastikan sekali lagi.

"Jadi ini yang membuat Jena menghancurkan kaca dan menangis?"

"Tidak habis pikir," Jimin mengeluarkan smirknya sembari menatap testpack yang ada di tangannya.

-----

Bukan Jimin namanya jika tidak menggoda wanita cantik. Ya, siapa lagi wanita cantik dimata Jimin, Jena. Menunggu orang sakit itu membosankan, pun dengan Jimin. Sedari tadi ia hanya menatap Jena yang tertidur pulas, terkadang mengecup punggung tangannya sekilas. Selama 2 jam Jimin terus-menerus menatap Jena. Seolah tidak ingin wanitanya pergi.

"Sudah bangun?"

Jena kebingungan sekaligus kesal melihat wajah Jimin saat ia membuka mata. Sementara itu Haru tengah tidur disebelahnya.

"Kau kesal denganku?"

Tidak perlu ditanya pun Jimin pasti sudah dapat menduga dari perubahan wajah Jena.

"Tidak apa, aku suka jika kau mengandung anakku," Jimin tersenyum.

"Aku membencimu, Jim."

"Aku sudah memberitahu mamahmu kalau kau tengah hamil, besok kita akan cek ke dokter kandungan," ucap Jimin membuat batas kesabaran Jena meluap. Matanya tampak berkaca-kaca saat Jimin membahas kehamilannya.

Bugh!

Jena mendaratkan tinjuan ke perut Jimin. Ia menangis kembali.

"Brengsek! Aku masih mempunyai suami! Dan kau menghancurkan perasaannya!" Jena menangis sambil berteriak.

"Jungkook? Suamimu? Haha, dia bukan lagi suamimu Kim Jenahara. Dia mantan suamimu," Jimin menghentikan tangannya.

"Tidak! Dia masih suamiku! Lebih baik kau enyah sebelum Jk menyusulku kesini. Dia cinta mati ku, tidak akan kubiarkan kau menghancurkan rumah tangga kami!"

"Tidak akan, mamahmu telah mengurus surat perceraian, semua tanda tanganmu beliau palsukan, tidak apa, yang penting kau bahagia denganku disini."

"Bangsat!"

Plakk

Tamparan keras dari Jimin. Tidak menduga Jena akan berkata kasar dihadapannya.

"Tolong jaga ucapanmu sebagai wanitaku, aku benci orang-orang yang menggunakan bahasa informal dan kasar!"

"Benci aja terus! Syukur gue jadi salah satu manusia yang dibenci sama Lo,"

"JENA!!!!" suara lantang Jimin membuat Haru terbangun dan menangis.

Amarahnya kini memuncak. Ia tidak lagi memikirkan Haru yang menangis keras. Jimin segera menarik tangan Jena, ia melangkah memasuki kamar mandi. Jena yang masih lemas mau tidak mau harus tetap mengikuti Jimin mengingat tangannya kini digenggam kuat olehnya.

Entah setan apa yang merasuki Jimin, Jena ia bawa dibawah derasnya air shower yang telah dinyalakan. Tangan yang terbalut perban itu dibuka paksa agar Jena bisa merasakan luka yang terkena air.

"Jimin sakit!"

Jimin menutup telinganya saat rintihan Jena berkali-kali dikeluarkan.
Jimin menjambak rambut Jena, mencengkram rahangnya dan mencium paksa bibir cherry tersebut. Menggigit hingga berdarah dan memaksa lidahnya masuk kedalam mulut Jena. Mengabsen setiap gigi tanpa terkecuali. Salivanya beradu dengan derasnya air yang mengguyur mereka.

"Mau tetap berkata kasar, sayang?" Jimin mengeluarkan smirknya.

Jena menggeleng, kapok dengan perilaku Jimin sekarang.

"Bagus, aku pegang janjimu," Jimin mematikan shower dan mengeluarkan Jena menuju ruang walk in closet.

Ia menyuruh Jena mengganti baju agar tidak kedinginan. Sementara itu Jimin juga berganti baju dengan kaos putih dan celana selutut.

"Aku tunggu diluar," Jimin menunggu Jena mengganti baju. Dirinya lelah mengurusi masalah gudang persenjataan dan kini harus mengurusi Jena, dan jangan lupakan Haru.

Bocah itu tengah berada didekat jendela. Menatap gedung pencakar langit sekitar dan melihat hilir mudik mobil dari atas hotel. Sedikit mendengar teriakan kedua manusia itu hingga membuat Haru takut.

Menjadi orang dewasa itu melelahkan ya?-batin Haru.

"Haru," panggil Jimin lembut.

"Daddy jangan memarahi tante Jena ya," matanya berkaca-kaca takut Jimin tambah marah.

"Calon mommymu butuh sedikit ketegasan, Haru, lupakan apa yang kau dengar tadi," Jimin mengusap surai lembutnya.

Haru tertunduk lesu.

-----

Jena keluar dari walk in closet tertunduk sembari memegang perutnya yang masih rata. Ada makhluk yang hidup didalam perutnya. Ia harap Jk tidak tahu masalah ini.

"Mau makan?" Tawar Jimin.

Jena hanya menggeleng. Tubuhnya lemas tapi ia malas untuk makan. Rasanya seperti orang demam. Suhu tubuhnya pun tinggi.

"Tante Jena, sakit?"

"Sebentar lagi Haru akan mempunyai adik," ujar Jimin.

"Adik?" Haru melongo.

"Iya, Jena sedang mengandung adik," Jimin mengatakan kata 'adik' yang terdengar freak ditelinga Jena.

"Nanti kalau Daddy ngga sayang sama Haru lagi gimana?"

"Tidak akan, ayo temani Daddy membeli makanan," Jimin menggendong Haru.

Jimin meninggalkan Jena yang tertunduk lesu. Pria itu sangat tahu kalau wanitanya tengah kelaparan tapi ia tidak berani mengatakannya atau justru malas berbicara dengannya.











Jangan lupa vote cerita ini🤗, see u next chapter.

Precious Daddy✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang