FAHLA menyeruput milo hangatnya yang sudah tersisa setengah. Kedua matanya bergerak memindai ruangan secara keseluruhan, merupakan hal yang belum sempat dilakukannya ketika sampai di lantai atas toko buku ini. Decakan kagum pun segera lolos dari mulutnya.
Ruangan bercat putih tersebut dipenuhi oleh hiasan-hiasan antik, yang Fahla yakini adalah ciri khas utama dari Toko Buku Cempaka. Meskipun demikian, Fahla tak merasa tempat ini menjadi tampak kuno. Daripada menganggapnya seperti itu, mungkin anak-anak muda zaman sekarang akan menyebutnya 'aesthetic'. Dan bagi Fahla sendiri pun memang begitulah kenyataannya.
"Boleh nggak sih, kalo gue bikin story IG di sini?" tanya Fahla pada laki-laki yang duduk di hadapannya.
Iya. Ia adalah si penjaga toko buku sekaligus pemilik kucing putih gendut yang tadi sempat mampir ke rumah Tante Ratna.
Fahla pikir, setelah laki-laki itu membuatkan minuman, ia akan kembali ke lantai bawah dan berdiam diri di sana. Namun, ia justru kembali lagi sambil membawa sebuah buku komik. Setelahnya, ia pun meminta izin untuk ikut duduk semeja dengannya. Meski tidak tahu apa motifnya, tapi Fahla pun merasa tak punya alasan untuk menolaknya.
Lagipula, toko buku ini kan memang milik keluarganya, sehingga ia bebas melakukan apa saja di sana.
"Boleh-boleh aja," jawab laki-laki itu santai, "kenapa juga harus saya larang?"
"Yaaa, siapa tau tempat ini nggak boleh disebar secara bebas. Tapi sumpah deh, toko buku lo ini estetik banget, instagramable lah pokoknya."
"Toko buku keluarga saya."
"Ah, iya, maksudnya itu."
Kemudian Fahla lekas meraih ponsel yang semula ia letakkan di atas meja dan membuka Instagram. Setelah siap menggunakan fitur untuk membuat story, Fahla sibuk mengarahkan kamera ponselnya pada beberapa sisi ruangan yang menurutnya pas untuk diambil gambar.
"Kalau mau yang lebih estetik, sebenernya di lantai bawah lebih cocok. Maksudnya, di sana ada rak buku dan segala macamnya," celetuk laki-laki itu ketika Fahla masih sibuk mengambil foto.
"Iya sih, tapi gue males deh ke bawah, udah PW banget di sini," sahut Fahla acuh tak acuh. Perempuan itu kemudian mengarahkan ponsel nyaris tepat pada laki-laki di hadapannya. Tepatnya, pada apa yang ada di belakangnya. "Nanti ingetin gue aja kalo gue datang lagi, oke?"
"Kamu mau datang lagi?"
"Iya, daripada gue nggak ada kerjaan di rumah Tante Ratna."
"Tapi kamu bahkan nggak lanjut baca bukunya dari tadi."
Dan Fahla pun hanya bisa menyengir karenanya. Kalau dipikir-pikir, iya juga, sesaat setelah laki-laki itu mengantarkan minuman, Fahla malah sibuk menikmatinya sambil sesekali mengecek ponsel, baru kemudian melihat-lihat seisi ruangan. Buku novel yang tadi sempat dibacanya pun terlupakan begitu saja.
"Gue ... jadi termasuk orang yang buang-buang waktu, ya?" cicit Fahla, menatap laki-laki di depannya ragu-ragu.
Laki-laki itu mengembuskan napas panjang, lalu menutup buku komik di tangannya karena sudah tak bisa fokus membacanya lagi. "Kamu nggak suka isi ceritanya?" tanyanya kemudian.
Fahla mengerjap, sedikit tak menyangka akan mendapat pertanyaan demikian. "Bisa dibilang gitu," aku Fahla dengan suara pelan. "Bagian awalnya berhasil bikin gue tertarik, makanya gue mau coba baca. Tapi ternyata ... tokoh dalam cerita ini justru kayak cerminan diri gue sendiri. Gue jadi nggak berani buat lanjut."
Selama beberapa saat, tak ada balasan yang Fahla dapatkan dari lawan bicaranya. Hal itu membuatnya segera merutuki diri sendiri. Seharusnya, Fahla tidak perlu sejujur itu, apalagi terhadap orang yang bahkan belum ia ketahui namanya itu.
"Aduh, sori ya, kayaknya emang harusnya gue nggak usah datang aja deh ke sini," ujar Fahla terburu-buru yang malah membuatnya jadi terdengar seperti melantur. Ia bahkan sudah bersiap untuk beranjak dari kursi, sementara kedua tangannya tergerak untuk meraih barang-barang yang dibawanya.
"Fahla."
Pergerakan Fahla seketika sukses terhenti hanya karena satu panggilan. Panggilan berupa namanya. NAMANYA.
Bagaimana bisa laki-laki itu mengetahuinya?!
"Besok kamu datang lagi aja ke sini. Saya bisa kasih rekomendasi beberapa novel yang menurut saya bagus dan nggak akan bikin kamu berhenti baca di tengah jalan," lanjut laki-laki itu dengan senyum sewajarnya yang justru tampak hangat di mata Fahla.
Sungguh, Fahla benar-benar bingung. Apa yang sebenarnya terjadi sih, sekarang?
"Omong-omong," ujar Fahla yang baru berhasil mengeluarkan suaranya lagi, "sejak kapan lo tau nama gue?"
"Sejak saya nyamperin kamu buat jemput kucing saya, saya udah tau."
Dengkusan pelan pun Fahla loloskan. "Curang banget."
"Curang? Kenapa?" tanya laki-laki itu dengan kerutan yang tampak di dahinya.
"Lo tau nama gue, tapi gue nggak tau nama lo."
Untuk sesaat, hening kembali memainkan perannya. Hingga tiba-tiba saja, laki-laki itu kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya ke hadapan Fahla yang segera disambut oleh sebuah tatapan penuh tanya.
"Graha."
"Hah?"
"Nama saya." Laki-laki yang baru saja mengaku bernama Graha itu memberi jeda. "Biar nggak curang."
"Ah, iya ...." Fahla yakin ia benar-benar tampak kikuk sekarang. Dengan ragu ia meraih uluran tangan milik Graha dan menjabatnya. "Salam kenal, kalo gitu."
Dan pada akhirnya, sepasang manusia yang semula hanyalah orang asing itu kini sudah resmi berkenalan. Sesungguhnya Fahla masih merasa takjub dengan apa yang terjadi hari ini. Namun, sebuah pemikiran seketika muncul dalam benak mengingat bahwa ia dan laki-laki itu sudah mengetahui nama masing-masing.
Apakah kini mereka dapat dianggap sudah resmi berteman juga?
🌧
bandung, 21 desember 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Raining Outside [END]
RomansaIt's raining outside. Won't you stay here for a while? --- Penat dengan segala kegiatan di kampus dan permasalahan dalam hidupnya, Fahla Audina memutuskan untuk menghabiskan waktu liburan semester di rumah Tante Ratna yang tinggal cukup jauh dari pu...