"JADI, seandainya bukan dia duluan yang ngaku, kamu sendiri pasti belum berniat untuk jujur dalam waktu dekat 'kan, Gra?"
Selepas makan siang tadi, Gerhan tiba-tiba menghampiri Graha di toko buku milik keluarga mereka. Graha tentu tahu betul bahwa tujuannya untuk menggantikan pekerjaannya di sana, melainkan ingin mengorek informasi lebih tentang apa yang terjadi dengan dirinya dan Graha di hari kemarin.
Tebakan laki-laki itu pun tepat pada sasaran. Setelah Gerhan menyalakan lagu favoritnya di sana, ia menempati sofa di salah satu sisi ruangan dan memulai interogasinya.
"Ya ... gitu," sahut Graha sekenanya. Tangan kanannya bergerak untuk mengelus Mizu yang tengah bersantai di atas meja kasir. "Tapi, bukannya sama sekali nggak berencana buat jujur. Aku cuma ngerasa masih butuh waktu sedikit lagi, Bang."
"Ah, aku rasa nggak kayak gitu," sanggah Gerhan. "Kamu tuh cuma takut dia nggak punya perasaan yang sama; takut nantinya dia bakal menghindar, ya 'kan? Makanya, giliran dia duluan yang jujur dan akhirnya kamu tau kalo ternyata dia suka sama kamu, tanpa pikir panjang kamu langsung ngegas saat itu juga."
Graha meringis pelan. Gerhan memang betul-betul mengetahui bagaimana dirinya.
"Jujur aja, aku masih nggak nyangka kali ini tipe cewek yang kamu suka bener-bener lain daripada yang lain. Cantik memang udah jelas, tapi sifatnya ini yang berhasil bikin aku ngelus dada di pertemuan pertama. Dia nih nggak ada jaim-jaimnya sama sekali. Ngomong sama aku kayak yang udah kenal lama. Agak kurang sopan, tapi nggak sampe kurang ajar juga, jadi aku sama sekali ngga masalah. Tapi aku yakin sih, orang yang kayak gini pasti enak dijadiin buat temen ngobrol, dan semua yang aku sebutin itu justru jadi keunikan tersendiri yang dia punya."
Penuturan jujur dari Gerhan membuat sebuah kurva di wajah Graha mulai terbit secara perlahan. Graha sangat setuju; Fahla memang unik. Dan mungkin saja, hal itulah yang menjadi salah satu alasan ia menyukainya. Ia juga bersyukur sosok Fahla yang seperti itu dapat diterima oleh Gerhan, meskipun perempuan itu memang sempat membuatnya sebal.
"Graha, Graha." Gerhan menggeleng-gelengkan kepala dengan bibirnya yang membentuk senyum miring. "Sekarang kamu sukanya sama cewek yang lebih tua, hm?"
Graha kontan mendengkus pelan. "Aku nggak liat dari umurnya kali, Bang."
"I know, I know, yang namanya cinta emang kadang nggak mandang umur," tukas Gerhan seraya terkekeh. "Cuma aku ngerasa lucu aja tau, Gra. Untung aja Fahla nggak sekampus sama kamu, deh. Jadi seandainya kamu pacaran sama dia, orang-orang nggak akan ngecap kamu sebagai cowok yang pacaran sama kakak tingkatnya sendiri."
"Itu kan, bukan suatu hal yang dianggap salah sampai ditentang banyak orang juga. Jadi, kayaknya aku nggak masalah kalau seandainya dicap kayak gitu."
"Wah, apa nih? Mode bucin lo udah mulai aktif, Gra?"
Yah, inilah yang Graha tak suka jika ia bercerita pada Gerhan. Pasti ada beberapa waktu di mana kakak laki-lakinya itu sibuk menggodanya. Untuk yang kali ini, Graha benar-benar malas menanggapinya sehingga ia hanya diam dan tetap fokus pada Mizu yang mulai merebahkan diri di atas meja. Lalu beberapa detik setelahnya, kedua mata kucing gendut itu mulai terpejam dengan napasnya yang teratur.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Raining Outside [END]
RomanceIt's raining outside. Won't you stay here for a while? --- Penat dengan segala kegiatan di kampus dan permasalahan dalam hidupnya, Fahla Audina memutuskan untuk menghabiskan waktu liburan semester di rumah Tante Ratna yang tinggal cukup jauh dari pu...