Penat dengan segala kegiatan di kampus dan permasalahan dalam hidupnya, Fahla Audina memutuskan untuk menghabiskan waktu liburan semester di rumah Tante Ratna yang tinggal cukup jauh dari pusat kota. Merupakan tempat yang cocok baginya untuk menyega...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PEREMPUAN berkuncir kuda itu menghirup udara banyak-banyak, lantas ia larikan kedua tangannya untuk mengusap wajah. Entah apa yang Fahla pikirkan, kalimat-kalimat itu lolos begitu saja dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Apakah sebaiknya ia hanya menyimpan semuanya untuk diri sendiri serta demi kebaikan bersama? Ah, tidak bisa. Sebab perkataan Graha barusan nyatanya memang sedikit mengganggunya.
Fahla pun bukannya tak mengerti bagaimana rasanya ditinggalkan oleh orang yang ia sayangi karena dirinya sendiri pernah mengalami hal tersebut. Ia dapat memahami apa yang Graha khawatirkan. Dan, sejatinya, mereka berdua pun memang menakutkan hal yang serupa.
Jadi, bagaimana mungkin bisa Fahla meninggalkan Graha tanpa alasan tak berdasar? Sebab sama saja artinya bahwa Fahla akan kehilangan laki-laki itu dari hidupnya. Dan Fahla tak menginginkan hal itu terjadi. Setidaknya, untuk saat ini saja, karena apa yang akan terjadi di masa yang akan datang masih menjadi sebuah rahasia.
Fahla kemudian menoleh ke samping, pada laki-laki yang terduduk di sebelahnya. Bermenit-menit sudah berlalu dan ia masih diam sambil menatap ke jendela yang dipenuhi titik-titik air. Hujan masih turun dengan derasnya dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
"Graha," panggil Fahla pelan setelah menghilangkan keraguannya. "Gue--" Suara perempuan itu mendadak tercekat ketika Graha menengok padanya. Selama beberapa saat, mereka hanya diam saling berbalas pandang.
Seluruh kata-kata yang tadinya hendak Fahla ucapkan sekonyong-konyong lenyap kala Graha menunduk dengan pandangannya yang tertuju pada satu titik. Tangan kanan laki-laki itu lantas tergerak untuk meraih satu tangan Fahla. Kedua mata perempuan itu pun sontak melebar. Jantungnya mulai kembali berulah, dan semakin menjadi saat Graha mengenggamnya dengan erat.
"Fahla," kata Graha, menatap Fahla lekat. "Can we?"
Sepasang alis Fahla segera menyatu, tak mengerti apa yang Graha maksudkan.
"Can we be together?"
Fahla kontan terperangah mendengar satu kalimat tersebut. Sungguh, apa yang sebenarnya Graha pikirkan sekarang, sih?
"Mendengar apa yang kamu bilang tadi," lanjut Graha, "saya langsung sadar kalau saya memang belum bisa kasih banyak alasan supaya kamu tetap tinggal."
Laki-laki itu memberi jeda, menghirup napas dalam. "Saya juga punya banyak kekurangan di diri saya. Mungkin kamu bisa lihat itu dalam bagaimana cara saya mengatasi masalah antara kita sekarang. Saya egois, saya terlalu pasif, saya terlalu lambat dalam berpikir, sangat berbanding terbalik dengan kamu yang bahkan sampai rela kembali ke sini untuk menyelesaikan semuanya.
"Sedangkan saya ... cuma bisa kasih hati saya untuk kamu. Apa itu cukup?" lanjut Graha dengan secercah harap yang tampak dalam tatapannya. "Makanya, saya ragu, apa kita benar-benar bisa? Apa kamu ... bisa bertahan dengan semua itu?"
Penuturan Graha membuat Fahla termangu. Ada secuil rasa bersalah yang muncul karena nyatanya apa yang telah ia katakan sebelumnya berhasil membebani Graha sampai sebegininya. Ada pula rasa khawatir yang mendadak datang, disebabkan oleh tiap-tiap kata yang Graha utarakan seolah laki-laki itu telah siap melepaskan Fahla kapan saja.