TIGA hari berlalu sejak Rayan menyebut-nyebut soal konser, akhirnya Fahla mendapatkan izin dari Tante Ratna untuk ikut pergi bersama Rayan dan Graha. Mereka juga setuju akan menggunakan mobil milik Fahla, tetapi perempuan itu sama sekali tidak diperbolehkan untuk menyetir. Tentu dengan senang hati Fahla menerimanya, karena ia tak perlu capek-capek berkendara menuju Bandung sembari berjuang melawan kemacetan yang takkan bisa dihindari.
"Kalo lo nggak nunjukin siapa-siapa aja bintang tamunya, kayaknya gue nggak akan tertarik buat ikut deh, Bang," ujar Fahla seraya mengenakan jaket berbahan jeans. Di samping kiri sofa yang ia duduki, Rayan tengah menikmati tahu bulat yang baru saja dibelinya. "Lagian kenapa nggak bilang aja kalo ini tuh pensi dari sekolah lo dulu, sih? Gue pikir tuh konser musik beneran karena lo ngomongnya begitu."
Rayan mengunyah sejenak sebelum memberi balasan, "Lo pasti paham kenapa gue nyebutnya konser kalo udah lihat secara langsung. Dari list bintang tamu yang ada juga orang-orang pasti pada mikir kalo ini bukan pensi kaleng-kaleng."
Yah, pernyataan dari Rayan memang sangat masuk akal dan Fahla tidak bisa membantahnya. Embusan napas pelan kemudian lolos dari hidungnya. "Heran gue, anak SMA jaman sekarang kok pada hebat-hebat banget kalo bikin acara," tukas Fahla dengan kagum. "Kalo sekolah gue dulu yang tampil palingan cuma anak-anak dari ekskul seni aja."
"Ya itu sih sekolah lo aja, La. Sekolah gue dong, dari jaman dulu juga udah sering bikin pensi besar-besaran kayak gini."
"Siapa?"
"Yang nanya? Halah, udah basi, La."
Fahla kontan mendengkus kasar dengan wajah masam. Kemudian kedua tangannya bergerak untuk mengumpulkan rambutnya dalam satu ikatan bak ekor kuda. Kali ini, perempuan itu memilih untuk tidak mencepol rambutnya yang sudah melebihi bahu. Setelahnya, Fahla bingkas dari kursi dan mencuri satu tahu bulat dari plastik bening di tangan Rayan. Laki-laki itu sontak mengomel; Fahla lekas berlari terbirit-birit menuju halaman depan.
Sesampainya di sana, Fahla duduk di kursi kayu dengan santai sambil memakan tahu bulat kopong yang sempat membuatnya bingung kala menggigitnya pertama kali. "Enak juga, walaupun isinya angin," gumam Fahla acuh tak acuh.
Kini Fahla mengeluarkan ponsel dari saku celana dan membuka kamera depan. Karena merasa dirinya tengah cantik hari ini, rasanya sayang sekali kalau Fahla tidak berfoto selfie entah itu untuk disimpan sendiri atau dibagikan ke media sosial yang ia punya. Fahla pun segera berpose ria sembari mengarahkan layar ponsel ke wajahnya dari jarak jauh.
Namun, belum sempat Fahla memencet tombol untuk mengambil gambar, suara pagar yang digeser tiba-tiba mengejutkannya. Ponsel di tangan nyaris ia lepas begitu saja. Tatkala sang pelaku menampakkan batang hidungnya, Fahla kontan merasa kikuk dan membatin.
Barusan dia nggak lihat gue lagi pose manyun-manyun manja, 'kan?
"Hai, Graha," sapa Fahla sambil menunjukkan cengirannya. Pandangannya kemudian tertuju pada makhluk berbulu yang berada dalam pelukan laki-laki itu. "Kok lo bawa-bawa Mizu ke sini?"
Graha tersenyum tipis. Ia menoleh pada Mizu sejenak. "Tadi ketemu di jalan pas saya mau ke sini. Kayaknya dia habis main ke blok sebelah."
Sebelum memberikan balasan, Fahla beranjak dari kursi dan memakai sandal jepit untuk menghampiri Graha yang berdiri di sebelah mobilnya. "Mainnya emang suka jauh, ya? Lo apa nggak takut Mizu hilang atau diambil orang, gitu?" tanya Fahla sembari mengangkat kedua tangan, memberi isyarat bahwa ia ingin mengambil alih Mizu dari Graha.
Laki-laki yang kini mengenakan hoodie hitam itu mulanya tampak bingung, sampai Fahla berbicara melalui kedua matanya, barulah ia mengerti. Graha pun membiarkan Fahla menggendong kucing kesayangannya. "Nggak. Mizu selalu tau jalan pulang, dan selama dua tahun saya tinggal di sini, nggak pernah ada yang berniat untuk nyulik Mizu."
"Ih, ada tau."
"Ada?"
"Iya, ada."
"Siapa?"
"Gue." Fahla terkekeh ringan setelah mengatakannya. "Serius deh, gue pengen banget nyulik Mizu terus gue bawa pulang ke Jakarta, biar gue ada temen di rumah."
Graha tak bisa menahan kedua sudut bibirnya untuk tertarik lebar sekarang. Jawaban dari Fahla memang tak pernah bisa ia prediksi. "Kalo gitu, kenapa kamu nggak coba pelihara kucing biar ada temen di rumah?" tanyanya kemudian.
"Hmm, gue pengen sih. Gue juga pernah kok, melihara kucing. Sayangnya, cuma bertahan sampe lima bulan, habis itu gue ditinggal pergi." Fahla tersenyum pahit. "Gara-gara itu gue jadi takut mau coba melihara lagi. Takut gue nggak becus ngurusnya, takut gue nelantarin dia kalo gue lagi sibuk sama kuliah atau kegiatan kampus."
"Ah ... ternyata gitu." Graha menjeda sejenak, tampak bingung harus merespons seperti apa. "Saya juga pernah kehilangan kucing yang saya pelihara sebelum Mizu ada, jadi saya cukup bisa ngerti gimana rasanya."
"Oh ya? Terus, apa yang buat lo yakin buat coba pelihara lagi?"
"Karena saya--"
Ucapan Graha seketika terpotong begitu saja ketika Rayan tahu-tahu saja sudah berada di teras dan berseru, "Gra, La, lihat sini, dong!"
Fahla maupun Graha sontak menoleh pada sumber suara. Di sana Fahla mendapati Rayan tengah memegang sebuah instant camera yang diarahkan kepadanya dan Graha. Secara refleks perempuan itu segera memamerkan senyum seraya memiringkan kepala, yang merupakan salah satu gaya andalan perempuan pada umumnya. Namun, sayangnya terlambat karena Rayan sudah keburu menekan tombol shutter hingga flash pun muncul dengan singkat sebelum Fahla betul-betul siap.
"Ish, nggak niat amat lo ngambil fotonya," Fahla lekas menggerutu. "Sejak kapan juga sih, lo punya kamera unyu begitu, Bang? Selera lo udah ganti emangnya?"
"Enak aja." Rayan mendecak sebal. Tangan kanannya sibuk menggoyang-goyangkan secara pelan lembar film yang muncul dari bagian atas kamera berwarna merah muda itu. "Ini punya Ersya, waktu itu nggak sengaja kebawa sama gue. Jadi gue pake aja dulu sebelum dibalikin nanti."
Potret Graha dan Fahla mulai tampak dengan jelas, Rayan pun tersenyum puas. "Nice," gumam laki-laki itu, lebih untuk memuji dirinya sendiri. Lalu ia melanjutkan, "It looks like you guys are a happy little family. Lo gendong si Mizu beneran kayak lagi gendong bayi deh, La, serius."
Fahla sontak memelototi Rayan. Kenapa ia bisa bicara seolah kalimat itu hanyalah sebuah kalimat biasa, sih?
Entah sepupunya itu memang benar-benar tidak peka atau hanya tengah bersandiwara, ia kemudian malah menghampiri Graha dan melemparkan kunci mobil--yang diambil dari saku celana-- padanya seraya berkata, "Lo yang nyetir ya, Gra. Entar pulangnya gantian gue yang nyetir."
Graha yang sudah menerima kunci tersebut mengangguk singkat. "Oke."
Dan ternyata reaksi Graha pun terlihat normal-normal saja. Apakah hanya Fahla di sini yang berlebihan?
Fahla kemudian menoleh pada Graha yang tengah menatap kunci mobil--milik Fahla--di tangannya. Perempuan itu lalu bermaksud mengembalikan Mizu kepada sang pemilik. "Gue mau masuk dulu, ngambil tas dan beberapa barang gue yang lain," ujar Fahla setelah berusaha bersikap sewajarnya, seakan pernyataan tadi tidak pernah sekali pun keluar dari mulut Rayan.
Graha pun menengok, pada Mizu. Lalu tanpa banyak bicara, ia segera mengambil alih Mizu kembali meski pada akhirnya kucing putih gendut itu sedikit memberontak minta diturunkan.
Setelah Fahla perhatikan baik-baik, Graha memang terlihat biasa saja.
Namun, sejak tadi laki-laki itu justru tampak mencoba menghindari tatapan Fahla sebisa mungkin.
🌧
bandung, 18 januari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Raining Outside [END]
RomanceIt's raining outside. Won't you stay here for a while? --- Penat dengan segala kegiatan di kampus dan permasalahan dalam hidupnya, Fahla Audina memutuskan untuk menghabiskan waktu liburan semester di rumah Tante Ratna yang tinggal cukup jauh dari pu...