Merasa bersalah, bersikap terlalu kasar

428 5 0
                                    

 Satu meter jaraknya di depan pintu kamarnya, lebih cepat kaki Airin mengayun, gerakan begitu cepat megunci pintu dari dalam. Terengah-engah dada Airin, menahan sesak napasnya yang tak beraturan saat berlari tadi, kini di dalam kamar dengan punggung bersender pada sela pintu, air matanya deras turun membasahi pipi. Masih tak terima Airin dengan apa yang dia lihat barusan, kejadian di taman sana. Membuat Airin malas untuk membuka pintu, bertemu langsung dengan Mario yang mengetuk pintu berkali-kali berharap dapat di buka-kan olehnya.

 Terpejam mata Mario, merasa jengah dirinya di luar, pintu kamar Airin, menggaruk-garuk kepala dengan prustasi. Sebenarnya dia ingin sekali menjelaskan sesuatu yang mungkin menurutnya Airin telah berburuk sangka padanya, cemburu buta pada sang sahabat lamanya sendiri, saat mengetahui dia sedang duduk di bangku taman sana terlihat asik mengobrol. Menarik napas terasa berat, rasanya ingin menangis akan tetapi Mario adalah seorang lelaki, tak menyerah baginya untuk mendapat jawaban dari dalam sana.

Tok, tok, tok! suara pintu di ketuk oleh Mario, tanpa rasa lelah.

"Lebih baik kamu pergi sana, Mario, jangan pernah lagi tampilkan wajah kamu di hadapan ku. Kamu dengan Arman ternyata sama saja!" Ketus Airin dari dalam, terisak-isak tak kuat membayangkan kejadian tadi yang di lihatnya. "Kamu hanya, lah, lelaki buaya yang tak bisa di harapkan lagi!"

 Terdiam Mario di depan pintu, mendengar semua ocehan seorang wanita yang ada di dalam kamar sana. Membuatnya kebingungan lagi untuk menjelaskan, mendengar sang wanita sudah terlanjur emosi tinggi dengan pikirannya yang negatif. Saat kesekian kali-nya ingin mengetuk pintu, Mario berpikir, bahwa semua akan percuma, lebih baik dia diam di tempat, menunggu Airin keluar dari dalam sana.

 Terhening seketika tak mendengar lagi suara ketukan pintu dari luar, mata Airin terpejam erat dengan dada naik-turun tak beraturan, meluapkan semua yang telah terjadi, semua yang tak pernah dia pikirkan dari pria itu, bahkan dirinya tak habis pikir pada sahabatnya sendiri. Mata yang lekat tertutup, perlahan Airin mencoba untuk membuka, menenangkan pikiran, menerima semua itu, mengusap pipi-nya yang basah dengan air yang mengucur dari kedua matanya. Menebak bahwa Mario tidak lagi berada di depan pintu, usai tiga puluh menit tak ada suara ketukan dari luar.

 Tersendak Airin di buat mematung saat membuka pintunya kembali, mendapati sosok Mario masih berdiri tegak. "Ngapain kamu masih di sini?" tanya-nya tak terima dengan kehadiran Mario masih berharap untuk menemui dirinya.

 Tersenyum tipis Mario melihat Airin dengan wajah lesu, akhirnya mau muncul di depannya. Dengan lembut telapak tangan Mario, mengelus-elus pipi lesu wanita di hadapannya, akan tetapi di tepi oleh-nya dengan kasar. Semua itu, tak membuat Mario mengujar kebencian pada Airin, sadar bahwa mungkin Airin masih berpikir negatif pada-nya saat ini.

"Tak usah sentuh aku lagi ... kamu itu bukan, lah, siapa-siapa aku lagi, ingat itu!" ketus Airin, merasa sensi. Dengan berani, kepala Airin mendongak. "Apa yang habis kamu lakukan kemarin dengan Bella, saat tengah malam, di daerah kolam renang sana?"

"Jadi karena itu, kamu jadi bersikap seperti ini pada-ku, sayang ... kemarin itu dia meminta tolong pada-ku untuk mengajarinya renang." Ucap Mario dengan sangat berhati-hati, tetap terlihat tenang. 

"Renang, atau renang ... Terus apa yang kamu bicarakan saat di taman tadi dengannya?" lagi-lagi Bella yang penasaran terus menginterogasi Mario dengan teliti.

"Pertanyaan bagus, nih ... tadi aku dengan dia habis membahas tentang pekerjaan sembari minum-minum dikit. Kamu harus tau nih--"

 Plak! keras Airin menggampar pipi Mario, dirinya tak suka Mario mabuk dengan perempuan selain dirinya sendiri.

 Tertunduk kepala Airin di hadapan Mario, dia tau pasti Mario akan membalasnya dengan kasar di saat sedang mabuk seperti ini. Tak sesuai di pikirkan oleh Airin, melihat ujung kaki Mario berpaling darinya, Airin mulai mengangkat kepalanya dengan sedih dia melihat Mario meninggalkan bercak tak menerimanya dalam diam. Mungkin ini belum saat-nya untuk Mario menjelaskan semua itu, di saat mendapat gamparan begitu keras dari Airin, menyadari bahwa Airin terhanyut dalam emosi-nya, jadi Mario lebih memilih untuk pergi dari pandangannya saja, harap hari esok akan indah.

Two Seductive MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang