62 : Ramalan dan Sebuah Pertanyaan

680 149 92
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

"Kita akan selesain ini secepatnya dan balik ke masa kita. Kembali ke masa di mana semua hal buruk ini enggak pernah terjadi," timpal Deva yang sedari tadi juga berada di kamar dan bersembunyi di kolong selimut. "Maaf belum bisa bantu banyak. Besok gua serahin semua sama lu berdua," lanjut Deva.

Sejujurnya Deva merasa frustasi, ia tak bisa melakukan apa-apa, bahkan tak terpilih ikut pergi bersama dengan Dirga, Harits, Ajay, dan Cakra untuk memantau kembali lokasi yang diduga adalah markas musuh. Semenjak ia melihat langsung Dirga dan caranya memimpin Mantra, Deva mencoba meniru wibawa Dirga, tetapi rupanya ia masih sangat jauh dari kata 'mirip'. Deva hanya merasa belum bisa menjaga teman-temannya, ia mulai tersadar bahwa di sini merupakan ajang untuk mengasah diri dan mempelajari langsung bagaimana caranya seorang Dirga Martawangsa mengatasi masalah yang menimpa dirinya sendiri dan orang-orang terdekatnya.

***

Kumandang adzan subuh menandakan dimulainya aktivitas di hari ini, dimulai dari shalat berjamaah. Sebelum matahari terbit, regu ekspedisi sudah bersiap untuk mengeksplor gua misterius yang diduga adalah tempat persembunyian keluarga Maheswara. Dirga tampak sedang menghidupkan mesin mobil, sementara Ajay baru saja turun membawa beberapa bungkusan kain.

"Apaan tuh?" tanya Harits.

"Biasa, barang-barang enggak berguna yang dia percaya bisa mendeteksi aktivitas astral," celetuk Dirga.

"Berguna, jir!" timpal Ajay kesal.

Cakra menatap bawaan Ajay. "Sebenernya kita bisa mendeteksi aktivitas astral dengan aura sih."

"Tapi enggak akurat, karena banyak makhluk-makhluk kecil yang bukan ghaib. Keberadaan mereka juga sering terendus aura. Gara-gara kecil dan enggak kelihatan, sering kali dianggap aktivitas ghaib. Padahal bisa aja cuma kuman lagi dugem."

"Emang iya begitu?" tanya Harits. Sementara Ajay hanya mengangguk menanggapi pertanyaan itu. "Terus alat itu akurat?" lanjut Harits sambil menatap bawaan Ajay.

"Udah ... enggak penting," timpal Dirga yang baru saja masuk ke dalam mobilnya. "Kagak kelar-kelar nanti. Yuk berangkat." Harits, Cakra, dan Ajay masuk ke dalam mobil, sementara sisanya menunggu di Mantra.

Deva menatap mobil yang perlahan menjauh dengan tatapan getir. Tangannya terkepal. Dirga tak mengajaknya untuk ekspedisi kali ini, tentu saja sebagai anaknya di masa depan, Deva merasa frustasi.

"Kebutuhan." Semua mata mengarah pada Tama. "Dirga memilih orang sesuai dengan kebutuhannya. Kalo enggak kepilih bukan berarti enggak berguna, dia punya alasan lain sesuai dengan kondisi dan rencana." Tama menyadari frustasi yang dialami oleh Deva.

"Tumben ngomong?" celetuk Andis. "Caper lu ya ama cewek-cewek manis ini?" lanjutnya sambil melirik ke arah Melodi dan Nada. Tama tak berkomentar, ia menghela napas sambil berjalan menuju dapur.

***

Di sisi lain Dirga, Cakra, Ajay, dan Harits terdiam di dalam mobil. Suasana begitu hening seakan mereka hanya sekumpulan orang bisu. Radio pun mati, jadi benar-benar tak ada suara apa pun selain bunyi mesin dan AC.

Tiba-tiba Ajay menghela napas. "Gimana?" tanya Dirga. "Di sekitar area yang mau kita tuju, emang kuat banget aura negatifnya, tapi yang paling parah itu ada di salah satu gua."

"Gua itu yang akan kita tuju," timpal Harits.

"Kalian ngomongin apa?" tanya Cakra.

"Dari tadi kita semua diem karena Ajay lagi gunain rohnya buat ngecek tujuan kita."

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang