11 : Benturan Tak Disengaja

840 185 62
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

"Aku?" Pria itu menghentakkan tongkatnya ke tanah. Langit merah runtuh dan berganti menjadi hitam. Jutaan gagak bertengger di pohon-pohon yang sudah kering dan mati. Aroma busuk mulai menerobos masuk, hingga membuat Harits muntah. Pria itu berjalan mendekat ke arah Harits. "Aku adalah apa yang kalian sebut dengan--kematian."

"Kematian?" Harits memicingkan matanya, tetapi ketika menyadari sebuah kemungkinan, matanya terbelalak.

"Malaikat maut yang kau temui dulu levelnya jauh di bawahku. Merenunglah, pikirkan semua dosamu. Orang yang paling kuat adalah mereka yang bisa mengendalikan dan bijak dalam menggunakan kemampuannya. Kau yang sekarang ini hanyalah orang bodoh."

Hartis berusaha beradaptasi dengan lingkungan ini. Jangankan untuk berdiri. Untuk bernapas saja rasanya sulit.

"Kemampuan arwah itu bertingkat. Semakin tua eksistensi arwah itu, mereka akan membuka potensi-potensi yang selama ini tertidur ketika masih hidup. Beberapa arwah yang ada di dunia kalian itu lemah, meskipun yang berlevel tinggi. Itu karena perbedaan dunia. Kemampuan mereka dibatasi karena membutuhkan energi untuk mempertahankan wujud mereka," lanjut pria itu. "Bagaimana jika kau yang merasa kuat itu, berada di perbatasan dua alam? Sejujurnya, makhluk-makhluk yang kau bunuh itu, mereka kuat di alam mereka sendiri." Pria itu memutar tubuhnya dan berjalan pergi.

"Hey, tunggu!" Pandangan Harits mulai kabur. Pria itu menghilang ditelan kabut tebal.

"Tuan Yama sibuk. Aku yang akan menanimu bermain, bocah."

Harits menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya seorang anak kecil sedang menyeringai ke arahnya. Bocah? Siapa yang bocah?!

"Jika kau berhasil menyentuhku, aku akan memulangkanmu," lanjut bocah itu masih dengan seringainya.

"Oke. Ini akan cepat." Harits yang sudah merasa beradaptasi dengan Alam Suratma, kini berjalan ke arah bocah itu.

Melihat Harits yang berjalan dengan indahnya bocah itu menggeleng. "Kau terlalu santai, bocah. Perhatikan sekelilingmu."

Mata-mata merah menyala itu membuat Harits merinding. Makhluk-makhluk ini tidak memiliki hawa keberadaan dan tak terdeteksi aura membunuhnya, tetapi Harits paham bahwa mereka lapar.

"Ayo cepat! Sebelum kau jadi santapan mereka."

***

"Nad, aku sama Deva keluar dulu ya, mau cari makan. Kamu mau nitip apa?" tanya Melodi yang berdiri di depan pintu kamar Nada.

"Enggak mau nitip apa-apa."

"Yaudah, kalo tiba-tiba pengen apa nanti chat aja, aku beliin."

Nada mengacungkan jempol andalannya.

Ketika suara motor Melodi terdengar dan menjauh, Nada segera turun untuk mengambil segelas air. Namun, baru saja ia hendak mengambil gelas, tiba-tiba Nada menyenggol gelas lain hingga terjatuh dan pecah.

Firasatku kok enggak enak, ya?

Gemerincing lonceng berbunyi, membuat Nada menoleh. Abet datang membawa beberapa bungkus makanan. "Pada ke mana?"

"Melo sama Deva beli makan."

"Yah, padahal udah aku beliin. Jadi sayang-sayang nih. Harits ada?"

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang