148 : Memohonlah Pada Iblis

472 111 51
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Durbiska di tangan kiri dan Badik di tangan kanan. Kil seperti tak terkalahkan. Ditambah lagi, kini bahu kiri Harits terluka. Bekas luka-lukanya akibat pertarungan melawan Reynar juga belum pulih. Di sisi lain, topi merahnya menguras nyawanya perlahan bagaikan pisau bermata dua. Kini Harits sangat terpojok dan berpasrah pada roda takdir.

Harits berpikir untuk membuka gerbang menuju Alam Suratma, tetapi ia tak tahu apa yang berada di balik pintu. Terlebih, Kil tak membiarkannya bernapas lega. Serangan demi serangan ia lancarkan dengan niat membunuh.

Dari tubuh Kil keluar sulur-sulur yang mengejar Harits. Harits berusaha lari, tetapi sulur itu menangkap dan mengikat kakinya.

"Orang ini gila!" Ia bermonolog. Harits benar-benar merasa ketakutan di hadapan lawannya. Pantas saja Rizwana tak mampu berbuat banyak. Kil tidak memiliki celah. Terlebih, Durbiska memakan ketakutan, makhluk hitam itu semakin kuat bersamaan dengan melemahnya Harits.

"Ada apa? Apa kau merasa takut?" Kil menghela napas. "Aku salah menilaimu. Rupanya kau cuma orang lemah." Ia membidik Harits dengan satu tangan yang menggenggam badik. "Lebih baik kau mati saja." pisau itu memanjang ke arah jantung Harits.

Percikan api muncul ketika pisau badik bergesekan dengan sebuah knuckle besi. "Hey! Hey! Hey! Apa yang terjadi selama aku pergi, Hey?!"

Harits menatap punggung di hadapannya. Seorang pria berjaket hitam dengan celana pendek di atas lutut. Tubuhnya dipenuhi oleh bekas luka bakar. Pria itu sedikit menoleh ke belakang, tato naga tergambar di lehernya.

"Jadi, naga macem apa yang ngebakar Mantra? Baru aja mau nongkrong, eh bangunannya rontok. Ternyata enggak salah niat nongkrong gua. Enggak jauh dari Mantra ada benturan atma yang cukup menarik perhatian. Kirain ada apa, ternyata ada Harits Sagara yang lagi-lagi hampir mati."

"Heeee ... siapa ini? Manusia lemah yang tidak memiliki atma," ucap Kil.

Memang benar. Setelah insiden Walpurgis, Wira sempat hampir mati dan koma cukup lama. Bukan hanya itu, ia tak bisa lagi menggunakan atma. Besi di sela-sela jarinya menjadi bukti bahwa ia lebih bergantung pada senjata.

"Siapa aku, hah?" tanya Wira. Seringainya terpampang menampilkan deretan gigi taringnya. "Dragon Wira."

"Minggir, aku tidak tertarik dengan mainan rusak."

Harits menatap Wira yang berdiri tanpa pergerakan. Senyum pria itu terlihat palsu. Tak mampu menggunakan atma lagi pasti membuat Wira merasa frustasi berat. Naga api yang ia kenal telah kehilangan taringnya.

"Memangnya kenapa kalau tidak bisa menggunakan atma lagi?" Wira memasang kuda-kuda bertempur. "Api di dalam dada ini masih berkobar membakar darah!" Ia melesat ke arah Kil.

Sebuah tinju melesat ke ulu hati Kil, tetapi Durbiska melindunginya dari pukulan Wira. Melihat itu Wira terkekeh. "Kenapa ditahan begitu? Padahal hanya melawan mainan rusak."

Kil mengangkat tangannya dan hendak menebas Wira menggunakan badik. Namun, Wira kembali memukulnya. Satu pukulan, dua pukulan, makin lama makin cepat pukulannya menjadi bertubi-tubi mengincar titik yang berbeda.

Kecepatan pukulan Wira tak bisa diimbangi oleh Durbiska. Serangan yang intens membuatnya kelelahan layaknya manusia. Kil menggunakan tangannya untuk menahan pukulan Wira, tetapi satu tinjunya lagi tak terhalau dan menghantam wajah Kil hingga terpental jatuh.

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang