112 : Tahun Ajaran Baru dan Hati yang Terlanjur Mati

480 132 31
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Semester tiga akhirnya dimulai. Malam ini Melodi dan Nada baru saja tiba di Jogja setelah hampir tiga minggu pulang ke Bandung. Mereka menjadi orang terakhir yang tiba. Setelah meletakkan barang-barangnya di atas, Melodi turun untuk menikmati aroma kopi dan suasana kafe yang ia rindukan.

Melodi yang berdiri di depan anak tangga pertama menatap Deva yang sedang duduk mengobrol dengan gadis tempo hari, Jashinta. Ia juga mendapati Sekar yang sedang tertawa mendengar guyonan Harits. Malam ini begitu ramai, lengkap dengan pasangan fenomenal Mantra, yaitu Nada dan Cakra yang baru saja melepas rindu dengan saling melempar senyum. Cakra berangkat lebih dulu ke Jogja, untuk mempersiapkan kuliahnya. Tak luput Jaya yang berdiri di balik bar sambil menatap iris yang duduk di pojok ruangan dengan laptopnya. Sesekali wanita itu melirik Jaya juga.

Melodi duduk di sebuah meja yang masih kosong. Ia membawa binder di tangannya dan meletakkannya di atas meja. Tangannya menyisir poni yang mengganggu ke belakang telinga. Perlahan ia buka binder itu dan membaca satu per satu halamannya.

"Ketika seseorang meninggal, satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah merindu ... dan itu lebih menyakitkan daripada apa pun. Selamanya kita tidak akan pernah bisa bertemu kembali, bahkan hanya untuk sekadar menghirup aroma tubuhnya lagi."

Entah sejak kapan, Melo menulis sebagai bentuk pelampiasan untuk melepaskan sesuatu yang tak pernah bisa ia lepaskan. Sebilah pena tersangkut di atas telinganya. Jika ada yang ia rasa perlu dilampiaskan, maka pena itu akan bertugas sebagai eksekutor, menghabisi setiap lara terpendam yang tak mampu diambangkan ke permukaan.

"Aku tahu, aku hanya menunggu hadir yang tidak akan pernah datang. Tapi jauh di dasar hati ... aku percaya kamu masih hidup. Meski hanya dalam pikiran ku. Setidaknya aku masih bisa mengendus hadir mu."

Halaman demi halaman ia lewati sambil sesekali tersenyum. Mengorek setiap ingatan yang pernah singgah sebelum akhirnya sirna.

"Mengenal mu adalah sebuah anugrah bernoda kutukan. Kini sudah terlambat untuk mundur. Secuil kenangan yang terkubur itu perlahan menjelma rindu yang menikam tanpa pernah lagi dibasuh sua. Sebab obat yang ternyata adalah gelak tawa mu kini telah lenyap ditelan senyap semesta."

"Meloooo, ini affogatonya," ucap Nada sambil meletakkan dua cangkir di atas meja Melodi. Satu cangkir berisi es krim vanila, dan satu lagi espresso.

"Makasih Nadaaaa."

Mungkin karena jumlah pengunjung yang ramai, Nada langsung ikut memeriahi deretan dapur di bawah komando Jendral Kecil.

Melo masih enggan berbaur. Suasana malam ini begitu syahdu ditemani rintik tipis. Sayang jika melewatkan waktu tanpa mengenang. Dan lagi ... orang bilang ketika hujan turun, doa-doa akan dikabulkan. Mungkin terdengar gila dan egois, tapi Melodi selalu berdoa ketika hujan. Ia berdoa agar Tuhan mengembalikan sosok pria itu padanya.

Melodi mengambil pena di atas telinga dan menggoreskannya pada lembaran kertas.

"Hey jawab! Apa doa-doaku selama ini sampai pada mu? Jika belum sampai, aku akan berteriak agar semesta membuka telinganya dan ikut berdoa untukmu karena muak dan bosan mendengarkanku."

Melodi tersenyum getir sambil menuangkan espresso di atas gundukan es krim vanila. "Alunan? Dasar aneh."

"Segala kekonyolan mu yang dulu aku risihkan, kini tertinggal menjadi habit. Salahkah jika aku menuntut kamu kembali? Ketika aku mulai terbiasa dengan itu semua? Kamu berhutang tanggung jawab padaku!"

Kini air matanya menyusup bersama rintik hujan. Melodi mengusap tepi matanya yang basah dan lanjut menulis.

"Pantaskah aku berkata bahwa aku juga mencintaimu?"

"Orang bilang ... terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali, tapi aku yakin itu keliru. Bagiku, lebih baik tidak pernah memulai jika tahu bahwa pada akhirnya akan dibenturkan dengan penyesalan."

"Bukan artinya aku menyesal telah kau buat jatuh cinta. Aku hanya menyesal terlambat menyadari perasaanku sendiri."

Melodi mengambil sendok dan mengambil sedikit es krim berlumur espresso miliknya. Ia masukan gundukan es krim itu ke dalam mulutnya dan terdiam sejenak.

Tiga orang mahasiswa menghampirinya. "Melodi Regita, ya? Yang suka cover musik di Yusupe?"

Melodi mengangguk sebagai jawaban. Sekarang ia bertingkah seperti Nada yang gemar mengangguk tanpa suara. Hanya mengandalkan gestur tubuh sebagai lisan.

"Boleh foto bareng?"

Melodi melempar senyum. "Boleh." Ia melirik ke arah Harits. "Cel, fotoin kita dong." Harits keluar dari zonanya dan membantu pelanggan untuk berfoto. Melodi paham, Harits adalah orang yang baik di depan pelanggan. Sang pesandiwara terhebat sepanjang masa.

Mereka bertiga berfoto dengan Melodi. Setelah itu mereka pergi. Melodi memanglah terkenal, meski belum seterkenal Aqilla, tapi tetap saja ia dikenal sebagai musisi jenius dan juga gadis berprestasi. Bahkan ia berkuliah dengan beasiswa.

Melodi tersenyum sambil sesekali terkekeh. Ia mengambil kunciran dari dalam kantong celana dan mengikat rambutnya ke belakang.

"Kalian semua salah. Faktanya, aku hanyalah orang bodoh yang menolak percaya pada kenyataan."

Melo menutup bindernya, kini ia mendongak menatap lampu di atap. "Sial ... pria itu benar-benar pergi merengut separuh waras ku ...."

Ia mulai jengah ditelanjangi rindu. Benar apa kata orang, bahwa obat rindu hanyalah temu. Namun, tidak ada obat bagi mereka yang merindukan orang terkasihnya yang sudah tidak terdaftar lagi di bumi sebagai orang hidup.

Jika uang bisa menebus nyawa seseorang untuk dikembalikan, percayalah ... tidak ada orang kaya di dunia ini. Dari kesimpulan itu, maka dapat dikatakan bahwa uang bukan takaran bahagia.

Menurut kalian, apa yang menjadi tolak ukur kebahagiaan?

Melodi menghabiskan sisa affogatonya dan membawa bindernya naik ke atas. Tak lama berselang ia turun dengan mengenakan apron berwarna kuning. Melo berjalan mengambil daftar menu dan menutup mata sambil sejenak menghela napas. Ia mencoba tersenyum, lalu perlahan membuka mata dan berjalan ke arah pelanggan yang baru saja tiba.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

TBC



Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang