35 : Sebuah Hadiah Kecil

770 168 109
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Bandung 2040

Seorang pria berpakaian dokter dan juga pria muda yang mengenakan satu penutup mata berwarna putih menutupi mata kirinya, sedang berjalan di lorong. "Enggak apa-apa saya ikut?" tanya pemuda itu.

"Kamu kan bagian dari tim juga, santai aja enggak usah kaku."

Mereka berdua masuk ke sebuah ruangan, ada tiga orang yang sudah duduk di dalam menunggu mereka.

"Selamat malam," ucap sang dokter.

"Silakan duduk, Abimanyu, Agha."

"Terimakasih, pak." Abimanyu duduk, sementara Agha masih berdiri.

"Duduk aja, bro. Santai."

Agha menundukkan kepala. "Baik, mas Tirta."

Ini pertama kalinya Agha Wardhana duduk di antara eksekutif Martawangsa sekaligus para Komandan Dharma. Di hadapannya duduk Gemma Martawangsa, Dirga Martawangsa, Tirta Martawangsa, dan juga Abimanyu Martawangsa.

"Aku memanggil kalian untuk sebuah perjalanan," ucap Gemma. "Terdapat aktivitas gelap di Yogyakarta, aku mau kalian selidiki itu dan jangan bergerak sebelum ada instruksi."

Unit kepolisian khusus Dharma kini dipegang kendali oleh eksekutif Martawangsa, dengan Gemma sebagai Komandan tertingginya. Semenjak peristiwa Rahwana dan runtuhnya keluarga ini, perlahan Tirta bekerja keras dan mampu membersihkan citra Martawangsa kembali. Bahkan Dharma dan Martawangsa memiliki sekolah swasta yang bernama Dharmawangsa.

Tiba-tiba seorang pria berambut ikal masuk ke dalam ruangan. Semua orang berdiri dan memberikan hormat. "Selamat malam, Inspektur Kei."

"Malam," ucap Kei yang langsung duduk di kursinya. "Jadi, siapa yang berangkat?"

"Abi dan Agha," jawab Dirga.

Agha mengangkat tangannya, membuat dirinya kini menjadi sorotan. "Silakan," ucap Kei.

"Jika keadaan terdesak, apa saya boleh bergerak sendiri?"

"Teori dan praktik itu enggak pernah sejalan," jawab Dirga. "Teorinya ya--bergerak sesuai instruksi, tapi di lapangan pasti ada hal-hal di luar dugaan. Selalu siap siaga aja, tapi jangan gegabah."

"Ya, jangan gegabah," tutur Tirta. "Kelompok ini berbahaya, mereka yang membunuh salah satu Komandan kita."

"Besok kalian berangkat." Kei berdiri. "Jaga diri kalian baik-baik."

Rapat singkat itu berakhir. Abi dan Agha keluar dari ruangan, sementara Kei sedang berdiri membelakangi tiga Martawangsa itu, Kei menulis di papan tulis yang terletak di depan ruangan. "Sejak kejadian Siriz beberapa tahun silam, Satu Darah mulai menunjukkan pergerakkan."

"Beberapa dari mereka menunjukkan dirinya secara terang-terangan," balas Gemma. "Alasanku mengirim divisi empat ke Jogja adalah karena sebuah rumor yang beredar."

"Rumor?" Dirga memicingkan matanya.

Gemma melempar dua berkas beramplop cokelat ke meja Dirga. Dirga segera memeriksanya. "Ini ...."

"Dua orang yang diduga kuat anggota Satu Darah. Salah satunya adalah orang yang sudah membunuh Septa, yaitu anaknya sendiri, Rizwana Radja Maheswara, yang menyebut dirinya pimpinan Kencana Selatan."

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang