124 : Monster yang Rapuh

509 133 111
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Tasikmalaya

Pagi ini Jaya duduk di pelataran rumahnya. Suasana Hutan Larangan di kala pagi tak semenyeramkan saat gelap. Ia menikmati secangkir kopi ditemani nyanyian burung-burung yang hinggap di ranting.

"Enggak apa-apa untuk sementara kami tinggal di sini?" Seorang pria dengan kaos lengan buntung berwarna hitam duduk di samping Jaya. Tubuhnya sekilas terlihat kurus, tetapi lengan-lengan itu tak bisa berbohong. Ototnya kekar dengan tato Peti Hitam di bagian lengan.

Jaya menatap Dirga. "Saya yang harus berterimakasih. Sekarang rumah ini tidak lagi sendirian," balas Jaya.

Dirga, Tirta, dan Gemma untuk sementara mengungsi ke Hutan Larangan. Sudah beberapa hari mereka tak bisa istirahat dengan tenang karena takut ada sergapan.

Rumah kabin ini cukup besar. Bayu merenovasi rumah tersebut sendirian ketika anak-anak yang ia asuh sudah tumbuh besar hingga rumah kecil itu tak mampu lagi menampung keluarganya. Kini tiga keluarga Martawangsa mengisi kamar-kamar yang kosong.

"Rumah yang Bayu gunakan untuk bersembunyi dari Martawangsa, sekarang justru jadi tempat bersembunyi para Martawangsa," ucap Dirga. "Bay, Bay ...."

"Abi bersama Wisesa dan Ageng, Agha akan pergi ke Jogja bareng Jaya, sementara kita bersembunyi di dalam hutan. Miris ... kita berjuang untuk negeri ini, tapi sekarang kita dibuang dan terancam," ucap Tirta yang tiba-tiba muncul dan ikut duduk bersama dua orang ini.

"Seandainya ayah masih hidup ... kira-kira apa yang akan ia lakukan?" tanya Jaya dengan tatapan getir.

"Dia orang yang ramah dan baik, tapi jika menyangkut musuhnya, Bayu berubah menjadi garang dan sumbu pendek. Ia cepat meledak," jawab Dirga.

"Ya, ayah adalah orang yang keras, tapi di dalamnya penuh kelembutan," balas Bayu.

"Wajar. Dia cuma enggak mau apa yang dia alami terjadi sama anak lain. Lain kali kita akan bercerita panjang soal masa lalu Bayu. Sekarang kesampingkan itu," ucap Dirga. "Masih banyak yang harus dipikirkan sekarang."

"Tadinya aku berpikir bahwa yang menyerang Kei adalah Satu Darah, tapi dengan SK pembubaran Dharma setelah kematian Kei. Aku pikir para petinggi sengaja membeberkan siapa pembunuhnya," timpal Tirta.

"Aku pikir juga begitu tadinya," balas Gemma. Kakak tertua itu kini ikut duduk bersama. "Malam itu ada seseorang yang aku kenal. Dia berdiri di depan rumahku. Salah satu dari empat pembawa bencana. Aku pikir Satu Darah dalang semua ini. Rupanya aku salah. Satu Darah bukannya mendominasi para petinggi, mereka bermusuhan."

Dirga memicingkan matanya. "Siapa?"

"Seorang rekan lama di lapas dulu. Dia orang yang berbahaya."

"Seberbahayakah dia?" tanya Tirta. "Dibandingkan dengan Arai Purok di Walpurgis? Arai juga salah satu dari empat pembawa bencana, kan?"

"Orang ini membantai kepala keluarga Lohia seperti singa melawan anak kucing, dan membunuh Ashura seperti seekor kecoa. Tidak ada yang menonjol dari kemampuannya, tapi siapa pun lawannya, dia tidak pernah kalah. Kecuali kekalahan itu termasuk dari bagian rencananya," jawab Gemma. "Aku benci orang-orang yang identik dengan warna merah. Mereka semua licik. Termasuk temanmu yang menjadi korban keganasan Rahwana."

Tirta dan Dirga saling bertatapan. "Uchul."

"Malam itu seorang pria dengan mata tertutup kain muncul di halamanku. Apakah dia juga salah satu dari kelompok itu?" tanya Dirga. "Sendirian membereskan belasan orang."

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang