142 : Pemuda Kematian

499 110 26
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Jogja.

Rizwana berdiri berlumuran darah. Napasnya terengah-engah di tengah kaburnya pandangan. Benar, anak bernama Kil ini sangat kuat. Sepertinya nomor di lengannya itu bukan bualan belaka.

"Heeeh ... cuma segini?"

Rizwana berpegangan pada tombak Karara Reksa yang menopang tubuhnya. Di tengah frustasinya ia masih bisa tersenyum. "Belum."

Kil terlihat tak senang dengan senyum Rizwana, ia mengarahkan tangannya dengan pose menembak. "Jangan tersenyum, kau itu kalah tau." Darah hitamnya menyelimuti tangan dan membentuk sebuah pistol. "Matilah."

Sebuah peluru hitam melesat ke arah kepala Rizwana. Rizwana berusaha mengangkat tombaknya, tetapi rasanya terlalu berat. Ia kehabisan banyak darah.

Seorang anak kecil berlari cepat dan berdiri di depan Rizwana. Dengan seutas benang ia memotong peluru hitam itu menjadi dua bagian yang melewati dirinya dan Rizwana.

"Lu pikir enggak ada yang curiga kalo tiba-tiba lu ilang gitu aja?"

Rizwana terkekeh melihat Harits yang berjalan membawa buku penjara jiwa. "Maaf deh."

"Semuanya terlalu satir. Sebenernya kesialan apa yang nimpa gua hari ini sih?" tanya Harits. "Pacar diculik, hampir mati, rumah kebakaran, sekarang hampir kehilangan temen." Harits menatap ke arah Kil. "Lu gila ya pada?"

Kil mengendus aroma Harits. "Sepertinya kau lumayan."

Harits mengepal tangannya keras hingga kuku panjangnyanya melukai telapak tangan. Ia meneteskan darahnya di atas lembaran penjara jiwa. Gerombolan makhluk mengerikan muncul. Sang Komandan kecil menunjuk ke arah lawannya. "Bunuh dia."

Kil tertawa ketika puluhan makhluk berlarian ke arahnya. Bukan cuma itu, Hara yang menjadi tameng Rizwana kini ikut berpesta.

Pemuda itu melirik ke arah Hara. "Hey bocah, aku tertarik dengan kemampuanmu," ucap Kill. Ia membuat benang-benang hitam dari darahnya. Hawa membunuhnya membuat Harits merinding. Dengan cepat Kil melesat sambil membabi buta. Satu per satu makhluk milik Harits kandas.

"Jarang Peteng!" Salah satu komandan makhluk bawahan Harits datang. Harits langsung naik ke atasnya dan menerjang ke arah Kil. Dari penjara jiwa ia mengeluarkan sebilah pisau. Benda pusaka hidup yang sangat berbahaya. Pisau Badik.

Benang hitam Kil beradu dengan pisau Badik yang digunakan oleh Hartis. Gelombang angin tercipta dari benturan tersebut. Kil menatap pisau badik dengan wajah antusias.

"Heeeee ... aku suka pisau itu."

"Kalau begitu, ambil ini darinya." Harits menghempaskan Kil, lalu melempar pisau badik pada Hara.

Ketika Hara memegang pisau badik, seringai itu pun ikut muncul di wajahnya. Bocah kematian berjalan menyeret badik menuju Kil, membuat pemuda itu merinding disko. "Sensasi ini yang ku cari," gumam Kil.

Kil dan Hara saling menyerang dengan brutal dalam jarak dekat. Rasanya Harits tak punya nyali untuk ikut dalam pertarungan mereka. Harits selalu berpikir, bagaimana bisa anak secekil Hara memiliki kekuatan sebesar itu? Sekuat apa ia ketika masih hidup dahulu? Bahkan hanya dengan separuh kekuatan, banyak lawan yang bergidik ngeri, bahkan berlutut memohon ampun.

Hara menendang Kil hingga membuat pemuda itu terpental ke belakang beberapa meter. Kemudian ia menjilat bibir atasnya sambil memutar-mutar badik di tangan kanannya. Bocah itu piawai memainkan pisau.

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang