76 : Tamu Tak Diundang

669 162 106
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

"Sebuah reuni yang aneh," ucap Ettan dengan wajah bingung menatap Wengi. "Bagaimana caranya yang mati bisa kembali hidup?"

"Ah ... ini wujud roh. Enggak sekuat dulu sih, tapi cukup buat narik lu ikut ke Alam Suratma," balas Wengi.

Ettan tampak bersemangat. "Atau justru aku akan membunuhmu untuk yang kedua kalinya. Aku penasaran bagaimana jika roh dihancurkan."

"Kau terlalu banyak bicara, Ettan." Wengi tersenyum sambil memasang kuda-kuda.

"Hoo ... kali ini secara frontal?" Ettan membalas senyum itu dengan seringai. Ia hendak maju, tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika sebuah peluru menghentam kepalanya. Tak ada luka serius, peluru Petrus membuatnya terluka, tetapi tak mampu menembus kulit Ettan Rawasura.

"Meskipun dengan satu tangan, akurasinya bukan main-main loh." Wengi berlari dan memukul perut Ettan yang bergeming setelah tembakan itu. Bukan hanya memukul, dengan cepat Wengi meraba tubuh Ettan. Eits ... bukan untuk hal mesum! Hal ini ia lakukan untuk menemukan jantung dari Rawasura.

"Aku benar-benar akan mencari adik mu itu dan aku buat keadaannya menjadi cacat."

Ettan hendak melangkah, tetapi seseorang menepuk pundaknya hingga membuat Ettan menoleh. Dilihatnya salah satu pengguna ilmu hitam yang tak ia kenali. "Apa?" Namun, orang itu hanya diam dengan tatapan kosong.

"Ah iya ... sebelum menuju ke sini, aku harus melalui banyak orang. Jangan terlalu dekat, orang yang di sana itu--adalah salah satu mahakaryaku ...."

"Mahakarya?" Ettan mencium bau mesiu yang kuat dari orang itu. Ia menatap Wengi dan berusaha menjauh, tetapi ....

"Boom," ucap Wengi sambil menjentikkan jarinya. Orang itu menarik Ettan dan meledakkan dirinya sendiri. Ledakan itu menjadi salah satu sorotan orang-orang yang sedang bertarung di wilayah pantai.

Dari kobaran api, seekor siluman monyet berbulu merah berjalan dengan setengah badan yang terbakar api. "Kau tidak pernah belajar dari masa lalu, Wengi."

"Aku belajar. Ini semua hanyalah pengalihan. Ketika kau sibuk dengan mainanku, aku pun sibuk berbincang dengan adikku. Kami punya kode tertentu untuk saling berkomunikasi di dalam hutan. Kami sudah mengincar momen ini."

Sebuah peluru melesat menghantam bahu kanan Ettan.

"Jantungmu ada di sana, kan?"

***

Di sisi lain Harits kini berhadapan dengan pria bersangkar kosong. Mungkin di mata orang biasa sangkar itu terlihat kosong, tetapi di mata Harits jelas terlihat sebongkah kepala dengan mata merah menyala. Entah makhluk apa itu, yang jelas giginya terlihat runcing dan besar.

Rasanya Harits tak mampu memalingkan pandangan dari makhluk di dalam sangkar. Ada sesuatu yang membuatnya terus menatap makhluk menyeramkan itu. Harits mendengar lirih suara yang begitu familiar, memanggil namanya. "Harits ...."

Harits menoleh, dilihatnya sosok rekannya yang sudah gugur, Kenzie. "Ken ...."

Kenzie tersenyum, ia berlari ke arah Harits. Tentu saja bahagia bukan main ketika melihat sahabatnya yang sudah mati dan tak bisa ia temukan di Alam Suratma, kini berada di hadapannya. "Kenzie!"

Ketika posisi mereka dekat, sebuah tangan menarik Harits. Beruntung Harits ditarik, jika tidak mungkin ia sudah mati. Kenzie membawa sebilah pisau untuk membunuh Harits. "Kau bilang akan menyembuhkanku, tapi apa, Harits?" ucap Kenzie.

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang