126 : Bulan Sabit dan Sebuah Nama

495 123 57
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Kevin baru saja keluar dari Fakultas Kedokteran. Kini langkahnya membawa pria tampan itu ke tempat Reki dibantai. Ia duduk pada sebuah anak tangga menatap ke danau. Sejenak Kevin menarik napas, kemudian menutup mata sambil berduka. Selesai berduka, ia beranjak pergi.

Pria tampan itu berjalan sambil menatap layar ponselnya. Melodi memberikan pesan, gadis itu bertanya perihal waktu. Apakah Kevin ada waktu untuk menjemputnya? Melo dan Harits belum berbaikan, meminta tolong pada Deva pun enggan.

Kevin tak keberatan, lagi pula kebetulan. Ia ingin pergi ke area Bantul hari ini. Tak berlama-lama, ia berjalan menuju mobilnya terparkir dan segera berangkat.

***

Sesampainya di Kampus Isi, Kevin menjadi sorotan, terutama untuk barisan para gadis. Belum pernah terlihat pria setampan dirinya berkeliaran di sekitaran kampus seni itu. Memang seni sifatnya abstrak, tapi semua anak seni ini sepakat bahwa paras Kevin merupakan mahakarya Tuhan. Sebuah masterpiece.

"Maaf, baru beres kelas," ucap Melodi yang baru saja muncul.

Semua orang tak heran jika pria setampan itu datang untuk menjemput gadis secantik Melodi. Kini barisan para gadis runtuh berjama'ah. Bagi fans Melodi pun begitu, pupus.

"Oke. Di jalan, kita mampir sebentar, ya," balas Kevin.

Melodi hanya mengangguk. Mereka berdua masuk ke dalam mobil, ditatap semua orang sedunia. Pajero hitam itu mulai melaju pergi meninggalkan duka, menancapkan nestapa. Singkat, tetapi mematikan rasa.

Kevin berhenti pada sebuah bangunan tua. Sebuah panti bernama Kolong Langit.

"Kamu mau ngapain ke panti?" tanya Melodi heran.

"Nemuin seseorang." Kevin turun dari mobil diikuti Melodi. Mereka berdua masuk ke panti itu.

Seorang wanita paruh baya tersenyum melihat ke datangan Kevin. "Kenapa enggak bilang-bilang mau mampir?"

Kevin tersenyum. "Biasanya juga enggak pernah bilang."

"Apa kabar kamu? Gimana kuliah? Seru?"

"Baik. Bunda apa kabar? Soal kuliah, biasa aja," jawab Kevin.

Bunda Sofia tersenyum, tetapi Melodi melihat sebuah kesedihan dalam tatapnya. Wanita paruh baya itu menatap Melodi, ia tersenyum. "Kamu pinter cari pacar, Vin."

Melodi hanya bisa tertawa kecil mendengar itu.

"Itu bukan pacarku, Bun, tapi gadis pilihan Ippo."

Kata-kata Kevin membuat mata Sofia berkaca-kaca, kini Sofia tahu siapa gadis yang dibawa Kevin padanya. Ippo sering bercerita tentang Melodi. Melodi adalah wanita tercantik di dunia katanya, dan kini Sofia paham. Ippo tidak berbohong. Melodi memanglah secantik itu dengan parasnya yang manis, kulitnya yang putih, rambut lurus terawat sepanjang punggung, dan hidung agak mancung yang menawan. Aromanya pun nyaman untuk dihirup.

Melodi mememicing menatap Kevin. "Ippo?"

"Di sini rumah Ippo sejak dia kecil," jawab Kevin.

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang