110 : Pacaran Kocak

526 145 80
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Sudah tiga hari Iris dan Yuza pindah kamar apartemen. Kini wanita itu duduk di depan meja riasnya. Entah sudah berapa lama ia bercermin dan berkali-kali berganti pakaian.

"Kok aneh si?" Lagi-lagi Iris berjalan ke lemari yang terbuka dan mengganti outfit.

"Biasanya juga cepet kalo ada kerjaan," celetuk Yuza yang sedang bermain game. Sudut matanya mau tak mau selalu menangkap Iris yang mondar-mandir tak tentu arah.

"Beda, Yuza! Ini bukan kerjaan," balas Iris.

"Ya, biasanya juga cantik. Makanya selalu sukses nipu korban."

Iris menoleh ke arah Yuza dengan tatapan sinis. "Korban-korban selama ini tuh petinggi negara berhidung belang. Cantik nomor dua, yang penting lekuk tubuh. Pake baju agak terbuka pun mereka hilang kontrol. Emil beda, dia itu sopan. Dia bilang aku cantik. Eh tunggu ...." Iris menatap cermin, lalu menoleh lagi ke arah Yuza. "Kakak cantik beneran enggak sih?"

Yuza menatap Iris. "Cantik kok. Udahlah, percaya diri aja."

Iris menghela napas sambil menatap dirinya di cermin. Wanita berkulit putih dengan rambut sepanjang bahu berwajah chinese. Ia mengenakan baju putih dibalut jaket peach, lengkap dengan rok putih bermotif bunga sepanjang lutut.

"Ya udah deh, gini aja." Iris sudah memutuskan setelannya.

"Jangan menunjukkan kebar-baran, Kak. Santai aja."

"Berisik, bocah!" Iris mengambil tas dan berjalan keluar kamar.

***

Siang ini Jaya duduk dikerubungi warga Mantra. Ia mengenakan kaos putih panjang dengan kardigan rompi lengan buntung berwarna coklat tua.

"Kayak Ippo ih dandanannya, mana rambutnya mirip," ujar Nada.

"Ih! Beda!" protes Melodi.

"Nyahahaha arwahnya Ippo mau pacaran," celetuk Harits.

"Enggak cemburu, Mel? Ippo nih," timpal Cakra.

"Ih najong dah," balas Melodi. "Beda."

"Gantengan mana?" tanya Nada.

"Jelek dua-duanya," jawab Melodi ketus.

Deva hanya duduk bersandar sambil memperhatikan sekumpulan orang-orang itu. Ia berusaha mengingat pertama kali dirinya dan Melodi berkencan di Bandung.

Nada mengenakan bandana bermotif batik untuk menggantikan perban di kepala Jaya. "Nah, biar enggak kayak orang sakit kepala kalo kata Harits mah," ucap Nada.

"Si pala bocor sembuh," timpal Harits.

Jaya tersenyum pada Harits. "Makasih deh si otak bocor."

"Wah sompral ini anak, sejak kapan lu berani sama gua?"

"Saya enggak pernah takut. Selama ini saya hanya hormat," balas Jaya.

"Bener, Jay. Jangan mau takut sama bocah esdeeeh!" celetuk Melodi.

"Yeee ... si kulit belang skinker," balas Harits.

Melodi menatap tangannya. "Mana belang sih? Udah kecil, matanya rusak."

Di tengah obrolan mereka, gemerincing lonceng membuat semua mata menatap pada satu titik. Iris berjalan masuk dengan langkah malu-malu. Melihat penampilan Iris, Jaya terpana dengan wajah memerah.

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang