137 : Pesta Seribu Mayat

486 107 58
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Deva langsung beristirahat sesampainya di kabin. Namun, mengingat rasa penasarannya akan asal usul Jaya, pemuda itu bangkit dan berkeliling kabin untuk mencari kalung tersebut.

"Deva."

Baru saja keluar ruangan dan berjalan di sisi utara kabin, tiba-tiba Dirga memanggil dari halaman belakang. Sebuah tempat yang penuh nostalgia bagi Dirga. Tempatnya dan Bayu dulu sering beradu pukul ketika Peti Hitam di era Gentar merencanakan penyerangan terhadap keluarga Martawangsa.

Deva menghampiri Dirga. "Kenapa, Yah?" tanyanya pada Dirga yang sedang berdiri membelakanginya.

Telinga Deva berdengung, muncul bayangan masa depan dalam benaknya. Dirga tiba-tiba memutar tubuh dan menendang Deva. Berkat prekognision, Deva berhasil menangkis serangan tersebut. Pemuda itu menatap tajam mata ayahnya.

"Enggak ada waktu santai, bukan?"

Deva memasang tatapan tegas. "Ya, hanya sedikit beristirahat."

"kita lihat, seberapa pesat perkembangan prekognisi milikmu." Dirga melancarkan serangan bertubi-tubi. Deva menghindar dan menangkisnya, tetapi tidak menyerang balik.

"Bertahan tidak akan mengubah situasi!" ucap Dirga.

Sebuah tinju bersarang di wajah Dirga. Pria itu menatap Deva masih dengan kepalan yang menempel di pipinya.

"Ada waktunya bertahan, ada waktunya melancarkan serangan balasan. Siapa yang bersabar, dia yang menang. Itu hukum predator," balas Deva.

Mendengar itu, Dirga menyeringai. "Oke, kita mulai serius sedikit."

Tempo serangan Dirga semakin cepat dan berat, Deva mulai tak bisa mengimbanginya. Kemampuan memprediksi masa depannya terlalu lambat untuk membaca pergerakan Dirga.

Dari jauh Gemma dan Tirta menonton pertarungan ayah dan anak itu.

"Kau tidak ingin menghajar anakmu seperti berandal itu?" tanya Gemma.

Tirta tersenyum. "Setiap ayah memiliki cara yang berbeda untuk mendidik anaknya."

"Dirga mendidik Deva untuk menjadi anak normal yang tidak tahu menahu tentang atma dan sejenisnya. Ia hanya membekalkan anak itu Tumenggung saja. Deva tidak punya ambisi dan pengalaman yang cukup. Dirga paham, dalam kondisi seperti ini, ia ingin Deva menjadi kuat agar bisa bertahan tanpa dirinya. Musuh kita kali ini, jauh lebih kuat dari yang pernah kita hadapi sebelumnya," ucap Gemma.

"Ya, Dirga akan bertindak seperti itu karena tak yakin dapat melindungi semua orang," balas Tirta.

Rava sedari tadi berdiri menatap Deva yang sedang bertarung dengan Dirga. Ketimbang Deva, Rava sebenarnya jauh lebih lemah. Hanya saja kemampuan Amiluhur yang membuatnya sedikit lebih unggul sebagai pengguna topeng.

"Ayah, aku juga ingin dilatih!" ucap Rava yang tiba-tiba datang. "Aku tidak ingin tertinggal dari Deva lagi!"

Tirta membuang tatap. "Tidak, tidak ada yang bisa ayah ajarkan." Pria itu memutar tubuhnya dan hendak pergi.

"Rava mohon! Jika musuh datang dan kita semua kesulitan, Rava tidak ingin menjadi beban untuk semua orang!" Pemuda itu membungkuk pada ayahnya.

Tirta menepuk pundak Gemma. "Hajar dia, Kak ...," bisik Tirta.

Dengan sorot mata dinginnya, Gemma menatap Tirta. "Apa kau yakin?" 

Tatapan Tirta kosong. "Aku sedang marah dengan semua yang terjadi. Aku takut tidak bisa mengontrol kekuatanku dan malah membunuh putraku sendiri." jawab Tirta lirih, lalu berjalan pergi meninggalkan halaman.

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang