114 : Pertanda

572 155 73
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

"Tangkep!"

Sebuah botol melayang pelan di udara tanpa putaran. Sekar yang sedang duduk di kursi panjang parkiran sontak menangkap botol tersebut.

"Kebiasaan dilempar-lempar. Nanti kalo jatuh gimana? Udah rugi tambah rugi," ucap Sekar.

"Rugi?"

"Setiap hari bawain aku mulu. Rugi satu mokacino dong? Terus kalo jatoh abis itu tumpah, rugi tenaga kamunya. Udah capek bikinin aku, eh enggak keminum."

"Nyahaha enggak dong."

"Rugi dong," timpal Sekar.

Harits duduk di samping gadisnya sambil menatap dalam matanya. "Sejak kapan sedekah itu membuat manusia rugi? Mungkin terlihat rugi, tapi faktanya enggak."

"Iya deh iya, ustadz Harits. Makasih loh cino-cinonya."

"Cino-cino ...." Harits menggeleng.

"Enggak tau, terbesit begitu aja, dan ... lucu aja gitu. Cino-cino."

Mereka terdiam beberapa saat di bawah langit sore. "De javu, ya?"

"Kamu merasa de javu lagi?" tanya Harits.

Sekar mengangguk. "Semua yang kita alami ini seolah olah udah pernah aku alami gitu. Enggak tau, aku merasa kenal kamu udah lama banget."

"Mungkin kamu reinkarnasi seseorang yang kenal sama nenek moyangku di masa lalu? Nyahahaha."

"Kamu percaya reinkarnasi?" tanya Sekar.

"Enggak."

"Kenapa?"

"Enggak ada bukti nyata."

"Apa kamu pernah berpikir, ketika kita mengalami de javu ... itu sebenernya memang benar-benar pernah terjadi di masa lalu? Secuil memori kita yang terpendam keluar dan membuat rasa familiar."

"Entah ... aku enggak tahu, tapi ... seandainya reinkarnasi itu ada. Aku dulunya seorang raja nyahahaha."

"Raja Namrud?" ledek Sekar.

"Yeeeeh ... Raja Majapahit mungkin," jawab Harits. "Dan kamu ratunya ...."

"Kamu gombal? Ih! Pacarku udah bisa gombal sekarang," timpal Sekar.

"Yeeeh ... ini orang ... tapi bener. Seandainya aku itu raja di masa lalu ... kamu pasti ratunya."

"Bukan Nada?"

Harits menoleh menatap Sekar yang sedang memalingkan wajah darinya.

"Nada istri kedua."

Sekar sontak menoleh dengan wajah sebal. "Jadi gitu?"

"Nyahaha enggak! Bercanda."

"Entah sejak kapan, aku enggak suka dibecandain gitu. Aku emang pernah bilang mau nungguin kamu lupain Nada, tapi ternyata semakin dalam rasa ini, semakin aku enggak rela sama setiap rasa yang masih tersisa buat dia di hati kamu. Egois, ya?"

Harits menggeleng. "Aku yang egois. Maaf ...."

"Ih apaan sih, kok jadi sendu gini sih."

Harits meraih tangan Sekar. "Yang harus kamu tau, aku suka kamu. Mungkin dulu aku cuma jalanin ini semua tanpa ada rasa, tapi waktu merubah segala hal termasuk perasaan manusia. Lambat laun rasaku buat Nada memudar berkat kamu. Aku tahu. Aku tahu dari rasa cemburuku yang enggak muncul semenjak dia punya pacar baru. Cemburu itu melambangkan seberapa sayang kita dengan seseorang, tapi sekarang enggak ada tempat buat cemburu untuk wanita lain."

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang