8 : Kembali Lagi

752 199 47
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Medis tak dapat menjelaskan apa yang terjadi pada Harits. Menurut dokter, pria bertopi itu tak menunjukan gejala penyakit apa pun. Dari hasil radiologi juga tak ada keanehan.

"Pasti ada kaitannya sama mereka yang tak terlihat ini," ucap Abet pada Deva.

"Kalo itu Harits, percaya."

Harits berbaring di kursi tengah mobil. Sementara Abet sibuk menyetir sambil berbincang dengan Deva di depan. "Untuk sementara, pantau dia terus, ya, Dev."

"Oke, mas Abet."

"Kamu punya Tumenggung, kan? Berarti kamu juga bisa lihat makhluk halus?"

"Jujur, bisa, tapi enggak sepeka Harits. Cuma bisa nangkep penampakan-penampakan culun."

"Penampakan culun tuh--apa?" Abet mengerutkan dahinya.

"Ya, pokoknya enggak serem."

Sesampainya mereka di Mantra. Abet membawa Harits naik ke atas. Jaya, Melodi, dan Nada menatap Deva seolah bertanya tentang kondisi Harits. "Medis enggak nemu hal janggal." Sejujurnya hanya Jay saja yang tak mengerti maksud dari ucapan Deva.

Sebuah motor parkir di depan Mantra. Seorang pria dengan hoodie hitam dan celana pendek di atas lutut masuk ke dalam kafe. Rambutnya agak kemerahan. Ia duduk di meja bar, berhadapan dengan Nada. Pria itu memandang Nada cukup lama. "Bukan," ucapnya sambil beralih ke Melodi. "Bukan juga." Ia lakukan itu juga terhadap Jay dan Deva, lalu menghela napas panjang seolah tak menemukan apa yang ia cari.

"Ma-maaf, mau pesen apa, ya?" tanya Melodi sambil memberikan menu.

"Doppio," ucap pria itu tanpa mengambil daftar menu. Doppio adalah istilah untuk espresso double shot.

Nada mengambil alih pekerjaan Harits dan membuatkan menu tersebut. Setelah itu, Jaya membawakan menu itu pada pria barusan.

Tak lama berselang, Abet turun bersama dengan Harits yang masih butuh pertolongan untuk berjalan. Melihat Harits, pria barusan menyeringai. "Ketemu."

Aura di sekitar Mantra mendadak panas. Cangkir yang dibawa oleh Jay tiba-tiba pecah dengan sendirinya. Lampu-lampu juga pecah, membuat beberapa orang berteriak histeris. Jay kehilangan orang barusan, kini pria itu sedang berjalan ke arah Harits. Tentu saja merasakan aura berbahaya, Harits menoleh ke arahnya. "Wira ...."

"Kamu kenal?" tanya Abet.

"Menjauh, dia bukan sembarangan orang!"

Wira berlari dan langsung memukul Harits tepat di perutnya. "Kena!" Serangan barusan membuat Harits tak bisa bergerak. Pandangannya mulai kabur. Semua mata kini menatap ke arah Wira.

Abet mengepal tinjunya dan menatap Wira dengan emosi. "Apa yang kau lakukan!"

Wira menunjuk Harits. "Orang itu dukun. Dia pengguna ilmu hitam. Bisa nyantet orang. Barusan dia ngirim makhluk buat nyerang gua. Gua balikin lagi, sekarang lihat--dia kena batunya."

"Ngomong apa sih." Abet berjalan ke arah Wira dengan wajah marah.

"Susah emang." Wira berjalan ke arah Abet. "Maaf-maaf nih. Bukannya mau bikin masalah, tapi dia duluan." Wira mengepalkan tinjunya dan menghajar Abet. Jujur saja, bahkan Abet yang memiliki khodam saja merasakan sakit yang luat biasa. Seperti organ-organ dalamnya melepuh.

Orang ini berbahaya, batin Abet.

Belum sempat Abet bergerak, Wira membanting kepalanya ke tembok. Melihat itu, Jay dan Deva berusaha untuk menolong Abet, tetapi karena dianggap ancaman, Wira juga menghajar mereka berdua. Dalam sekejap suasana Mantra jadi berantakan. Deva masih berusaha melawan, ia melakukan tari malangan dan memanggil pusakanya. Dalam sekejap, Deva menggunakan topeng Tumenggung. Ia menghilang dari pandangan Wira. Namun, ketika dirinya berada di belakang Wira, dengan cepat pria itu memutar tubuhnya dan hendak menghabisi Deva.

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang