67 : Takdir dan Ketetapan

567 143 32
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Melodi membuka mata. Ia berdiri di tengah kampusnya. Atensinya teralihkan menatap seorang gadis yang berdiri tak begitu jauh sambil menatap ke arahnya. Gadis itu berjalan menghampiri Melodi sambil tersenyum ramah. "Halo," sapanya lembut pada Melodi.

"Kirana ...," gumam Melodi. Roda waktu kembali berputar. Melodi perlahan melangkah mundur, tentu saja sekarang ia tahu siapa gadis bernama Kirana itu.

Melihat reaksi Melodi yang sepertinya sudah mengetahui siapa dirinya, Kirana merubah raut wajahnya menjadi datar. Sebuah pisau keluar dari dalam tasnya dan melayang di udara.

Menatap pisau itu, Melodi segera membalik tubuhnya dan berlari secepat yang ia bisa. Takdir enggak berubah sedikit pun?

"Baik Nada atau pun kamu ...." Pisau itu berputar-putar di udara atas kendali Kirana. Tiba-tiba pisau itu berhenti berputar dan mengacung ke arah Melodi. "Kalian berdua memang menyebalkan." Pisau milik Kirana melesat ke arah Melodi dengan cepat.

"Tolong!" Melodi berteriak meminta pertolongan, tetapi memang sialnya lokasinya mereka berada jauh dari kerumunan orang karena kampus sudah agak sepi dan hanya ramai di satu titik saja, yaitu tempat acara yang ingin dikunjungi Melodi hari ini. Terbesit satu nama di dalam benaknya. "Ippo!"

Beberapa detik berlalu, tak terjadi apa-apa rupanya. Melodi menoleh ke belakang, dilihatnya pisau milik Kirana yang berhenti dan melayang tepat di depan matanya. Kirana tampak heran, ia berusaha menggerakkan pisau itu untuk melukai Melodi, tetapi pisau itu tak mau bergerak.

Melodi segera melanjutkan langkahnya pergi dari Kirana. Tak rela mangsanya kabur, Kirana mengeluarkan seluruh benda-benda tajam dari dalam tasnya, ketika benda-benda itu melesat mengejar Melodi, seperti membentur sesuatu, benda-benda itu berserakan di tanah. Kirana memicingkan matanya. Ia merasa bahwa telekinesis miliknya tak berfungsi dengan baik. Kini Melodi benar-benar lolos darinya.

"Enggak ada yang salah sama telekinesisnya. Yang salah itu ya karena udah berusaha ngelukain Alunan." Suara berat itu membuat Kirana menoleh. Ippo keluar dari tempat persembunyiannya. Pria dengan kaos putih lengan panjang yang digulung hingga sikut, dibalut rompi hitam itu sedang tidur di salah satu ruangan tadi. Ippo terbangun karena teriakan Melodi. Wajah ngantuknya terlihat murka menatap Kirana. "Pergi, sebelum aku berubah pikiran."

"Apa yang kau lakukan terhadap kemampuanku?" tanya Kirana.

"Kemampuanmu?" Ippo menyeringai, auranya membuat Kirana merinding. Ippo mengarahkan tangan kanannya menghadap Kirana, lalu mengepal tangannya. Kirana tiba-tiba saja merasa bahwa dirinya sedang diremuk. Ia sama sekali tak bisa bergerak, bahkan bernapas pun rasanya sulit. Ippo merubah raut wajahnya menjadi datar, tetapi dengan sorot mata yang tajam. "Pergi." Ia melepaskan Kirana.

Kirana terduduk di tanah sambil mengatur napas. Ia menatap ke depan, tapi Ippo sudah tak berada di sana. Hanya ucapannya yang tertinggal di telinga Kirana. "Berengsek! Selalu saja ada yang melindungi kedua Tuan Putri itu." Kirana sadar, ia memang harus pergi. Ippo bukan tandingannya.

***

Beberapa jam berlalu di tempat yang berbeda, Deva bergegas menuju Sindu Kusuma Edupark, ia melaju kencang dengan motor besarnya yang selama ini ia pinjamkan pada Abet.

Sesampainya di lokasi, ia menatap Wira dan Dewi yang berjalan keluar dari tempat itu. Wira tertatih, sementara Dewi menopangnya. "Ayah ...."

"Dirga lagi bertarung. Musuh yang satu ini terlalu gila, sebaiknya lu jangan ganggu," ucap Wira memotong kalimat Deva. "Atau nantinya lu bisa jadi beban karena dianggap jadi titik lemahnya Dirga."

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang