45 : Terasa

648 153 127
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Kehilangan ...

Sebuah perasaan tak nyaman ketika kita merasa tak lagi memiliki ...

Suatu keadaan di mana hari-hari yang selalu sama akan terasa berbeda ...

Hanya ada dua cara mengobati kehilangan, yaitu menemukan atau terbiasa ...

Malam ini suasana Mantra Coffee tak lagi sama. Nada menatap spot kosong yang biasanya diisi oleh seorang pria dengan perban yang menutupi keningnya. "Kamu enggak merasa sepi gitu?" tanya Nada pada Harits, selaku lead barista.

"Pekerjaan kayak gini turn over nya tinggi, kamu harus terbiasa dengan perpisahan," jawab Harits yang tampak tak bisa menyembunyikan rasa kehilangannya. Bagaimana tidak? Jaya adalah orang yang paling akrab dengan Harits. Suka duka telah mereka lewati beberapa bulan ini, tak jarang Jaya meniru Harits karena ia merasa Harits adalah orang yang keren, karena bisa selalu tertawa dan bersyukur dengan segala keadaan.

"Kita harus cari barista pengganti deh," ucap Melodi yang merasa kinerja tim dapur agak menurun. Entah karena efek kurangnya personil, atau efek luka yang ditinggalkan Emil Jayasentika. "Menurut kamu gimana? Mbak Fenri temennya Kak Sherlin kan lagi nyari lowongan, kebetulan dia juga mantan barista."

Deva tampak sedang berpikir. "Ya, aku manut aja. Kalo emang dirasa perlu, monggo."

"Enggak," tegas Harits dengan wajah datar. "Enggak perlu orang tambahan, aku sama Nada udah lebih dari cukup. Iya, enggak, Nad?"

Nada terlihat murung. "Kita butuh orang lagi, Rits ...," jawab Nada.

"Pelanggan semakin nambah, sementara kalian cuma berdua. Belum lagi kalo yang satunya sibuk, cuma ada satu barista yang stay," timpal Cakra. "Mungkin aku sama Deva bisa bantu, tapi kita harus punya orang yang emang ahli dibidang itu supaya enggak nurunin kualitas rasa sih."

Semua setuju, kecuali Harits. Ia menghela napas sambil melepas apronnya. "Ya, terserah aja deh, tapi kalo gua lebih prefer enggak usah." Harits berjalan ke depan dan tampak membuka kandang kosong miliknya. Tak lama setelah itu, ia menutup kembali kandangnya dan duduk di kursi depan sambil menyalakan rokok.

Masih hangat betul di dalam benaknya, ketika semua orang tak setuju saat Jaya melamar kerja. Saat itu Harits seorang diri membela Jaya mati-matian agar dapat diterima. Kini, lagi-lagi ia kembali sendirian, ketika semua pendapat rekan-rekannya bertolak belakang dengannya.

Wira datang bersama dengan Dewi, bertepatan dengan Ippo dan Reki yang juga baru saja sampai. Reki dan Wira saling beradu tatap, sementara Ippo berjalan agak cepat masuk ke dalam kafe.

"Selamat malam, Alunan," sapa Ippo yang membawa setangkai bunga mawar merah. "Ke pasar belok kanan, jangan lupa membeli jamu ...." Ippo menatap Reki sambil mengedipkan matanya. Sementara Reki memicingkan matanya menatap Ippo, berusaha menangkap apa maksudnya.

"Ekhmm ... KE PASAR BELOK KANAN, JANGAN LUPA MEMBELI JAMU!" ucap Ippo dengan nada yang agak keras.

"Oh ..." Reki baru menyadari kodenya, ia menatap Ippo dengan wajah datar. "Cakep."

Kini Ippo menatap Melodi kembali. "Eh ada Alunan, nih buat kamu." Sambil bersimpuh memberikan bunga mawarnya.

"Idiih alah, najong," ucap Melodi sambil memasang wajah ilfil.

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang