152 : Overkill

424 107 92
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Yogyakarta

"Wira." Dewi masuk ke ruang kamar rawat inap membawa beberapa makanan ringan untuk Wira. Pacarnya itu gemar sekali nyemil.

Wira bersiul menyambut kedatangan Dewi. Ia memejamkan mata sejenak, lalu kembali membuka matanya.

"Bisa tinggalin aku sendirian?" tanya Wira.

"Aku cuma bawa ini buat kamu. Kalo enggak mau makan, minimal nyemil-nyemil aja."

Wira tersenyum. "Iya, nanti aku abisin."

"Kalo gitu aku pergi dulu. Kalo butuh apa-apa telpon aja, ya."

"Oke."

Dewi pergi dari ruangan Wira. Wira langsung merubah raut wajahnya menjadi datar. "Apa maksudnya siul-siul?"

Ekspresinya kembali berubah, ia menyeringai. "Kekeke boleh juga cewek yang barusan."

Wira menghela napas. "Gua baru tau kalo Iblis juga mesum. Jadi kita lanjutin perbincangan kita. Gimana caranya kita ke Jakarta sementara di sana lagi di lockdown. Cuma orang-orang tertentu yang bisa ke sana."

"Itu sih gampang. Biar aku ambil alih." Wira duduk bersila, ia menutup matanya dan berusaha berkonsentrasi. "Oh iya, mulai sekarang panggil aku Uchul."

Uchul bangkit dari duduknya. Jiwanya berpisah dengan raga Wira yang masih berduduk bersila, tetapi wujudnya masih berbentuk Wira, hanya saja berwarna merah.

"Ini kemampuan Kusumadewa. Kita bisa bertempur menggunakan roh dan raga secara bersamaan, tetapi siapa pun yang menjadi roh akan di nerf habis-habisan. Hanya setengah kekuatannya saja yang bisa digunakan."

"Kusumadewa? Apa maksudnya?" tanya Wira.

"Yudistira adalah orang yang berkuasa atas sepuluh keluarga agung, dan aku adalah orang yang berkuasa atas tujuh keluarga terkutuk."

"Jiwasakti! Kau adalah Jiwasakti?" Wira nampaknya terkejut. Ia tak menduga bahwa makhluk yang kini bersemayam dalam dirinya adalah sosok urban legend di antara tujuh keluarga terkutuk, Jiwasakti.

"Kekeke jangan banyak ngomong. Kita enggak punya banyak waktu." Jiwasakti mengeluarkan sayap-sayap hitam di punggungnya. "Ayo kita mulai ...." Ia merendahkan posisinya dan menekuk sayapnya.

Wira terbelalak, ia ikut tertarik begitu Jiwasakti melesat terbang. "Aaaaaaaaaaaa!" Mereka bagaikan bola api santet yang melesat di udara dengan kecepatan tinggi.

"JANGAN NGEBUT-NGEBUT!" teriak Wira. Ia benci kecepatan. Makanya Wira benci jika harus dibonceng oleh bawahannya yang bertato kuda. Sebab, Finn hanya memiliki kecepatan. Baik secara fisik, maupun berkendara.

"Kekeke dasar lemah! Kau lebih payah dari Tomo!"

Roh Wira muntah di udara. Muntah itulah yang kita sebut dengan gerimis tipis. Tak ada hujan, hanya sekilas basah tanpa diiringi mendung.

"Sebentar lagi kita sampai." Jiwasakti melesat ke tempat yang ia kehendaki. Sebuah tempat yang memiliki aroma atma familiar. Ia mendarat dengan sedikit ledakan kecil. "Nah, sekarang kita sudah sampai." Jiwasakti menjentikkan jarinya.

***

Jakarta

Wira sontak membuka mata. Raganya sudah berada di depan sebuah bangunan kampus. Posisinya sedang duduk bersila, persis seperti saat di ruang kamar rumah sakit.

Mantra Coffee : Next GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang