Perasaan

384 73 4
                                    

"Kenma-san lebih cepat dar- BUGH" [Name] jatuh terduduk begitu saja. Tidak ada batu, tidak ada tangga, tubuh gadis itu condong ke samping dalam sekejap.

Kenma reflek menghampirinya [Name] dengan segera. Dia berjongkok kemudian mengulurkan tangannya dengan wajah cemas.

"Daijobu? [Gapapa?]"

"Ya engga anjrit." Ucap [Name] spontan, menggapai tangan kurus itu lalu mencoba berdiri kembali. Kenma menatapinya dengan mata kebingungan. Dia menggunakan bahasa Indonesia, sulit dimengerti, semoga harimu suram. Tetapi pasti jawabannya "tidak apa-apa", mungkin?

Name menepuk-nepuk rok abu-abunya yang basah karena hujan.
Keduanya segera berteduh tak ingin kebasahan lebih lagi.

Lagi. Tubuh gadis itu oleng sekali lagi. Mungkin Kenma bisa menganggap itu modus, tetapi gadis ini akan jatuh ke arah yang berlawanan dari tempatnya. Segera tangannya menggapai bahu [Name] yang nampak sangat letoy.

"Maaf nih, malah nyusahin." Jidatnya berkerut seperti kesakitan. Kenma mendudukkan gadis itu tepat di sampingnya lalu memegang jidatnya.

"Ga bakal mati kan?" Pertanyaan itu terucap dari mulut anak laki-laki berusia 16 tahun itu. Mulut [Name] terasa kelu. Pertanyaan dari mulut Kenma mengembalikan fakta yang ingin dilupakannya.

Gadis itu hanya tersenyum sebagai balasan lalu berdiri tegap.

"Setidaknya tidak akan sampai pulang ke Indonesia."

Hati Kenma terenyuh mendengar perkataan yang keluar dari mulut gadis itu. Apakah seharusnya dia tidak mengeluarkan pikirannya? Apa yang sebenarnya terjadi pada temannya ini? Apakah dia mengidap penyakit yang tak bisa disembuhkan lagi?

Sialan, kalau tahu dia akan pergi, lebih baik Kenma tidak mengenalnya. Sialan, harusnya dia tidak datang lagi ke sini hari itu.
Sialan, mengapa dia membenci kondisi gadis ini.

"Dakara, Kenma-san. Korekara mo yoroshiku ne. [Karenanya, Kenma-san. Dari sekarang pun mohon bantuannya.]"

Kenma melihatnya. Mata gadis itu sebenarnya berkaca-kaca. Gejolak di hatinya tak bisa dibendungnya. Ditariknya tangan mungil itu lalu memeluk gadis yang sedikit lebih pendek darinya itu.

Sekali lagi. Sialan, dia sudah terpaku pada gadis ini. Andai saja dia tidak meninggalkan Kuroo dan tetap memilih kereta bawah tanah 9 hari yang lalu.

"Ano..."

Kenma tersentak menyadari perbuatannya. Dia menurunkan tangannya. Dia pasti sudah gila. Benar-benar gila, penyakit jiwa juga bisa menular.

"M-maaf." Kenma memalingkan wajahnya yang memerah. Memalukan. Sungguh memalukan.

"Hahaha..." Tawa terdengar dari mulut [Name]. Hal itu bahkan tambah membuatnya lebih malu lagi.

"Kenma-san, jangan pernah meluk cewek lain gitu loh. Entar baper kalau ngga pelecehan." Nasehat [Name] pada dirinya.

"Cewek lain."

"Eh?"

Wajah Kenma tambah merona lagi. Ingin lenyap saja rasanya dia. Sungguh menyebalkan. Lebih menyebalkan dari mengumpan bola pada Lev. Selain itu! Mengapa jantungnya seberisik Hinata, bagaimana bila perempuan di depannya mendengarnya.

"Kenma-san, Aku bakalan cepet mati loh. Jangan suka sama aku, ya?" Ucapan yang keluar dari mulut [Name] membuat Kenma merasa tertampar. Merasa kesal, Kenma mencebik.

"Emangnya salah? Terserah aku! Urusan aku! Emangnya aneh?" Amukan Kenma bercampur dengan suara hujan yang mulai bertambah deras. Suaranya terdengar parau.

Sekali lagi, Sialan! Rasanya kesal. Dia sangat kesal. Seperti dilarang bermain game pada malam hari. Dia manusia, wajar jika dia bisa merasakan perasaan itu. Dia tahu, sangat tahu gadis itu akan meninggalkan dirinya pergi. Lalu apa masalahnya?

Dia kesal. Seperti gadis itu sengaja ingin pergi. Dia lebih kesal lagi pada pikirannya yang ingin memaksa gadis itu tetap disini. Dia ingin berkata, "Tetap hidup, bersamaku." Tapi apa dayanya? Mereka bahkan baru kenal kurang dari 2 Minggu.

"Maaf." Mata Kenma ikut berkaca-kaca. Menyebalkan. Andai mereka tidak bertemu.

Semua hal ini membuat Kenma menyesali pertemuan itu mereka. Semua cerita tawa mereka. Semua curhatan [Name], semuanya.


•••

Tokyo's Rain (Kozume Kenma x Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang