What if: This is not [Name]'s dream #3

305 43 3
                                    

Kenma berjalan menelusuri jalanan di aspal itu sembari memegangi buket bunga dan paperbag. Keadaan di sekitar sepi. Hanya ada gundukan tanah dan beberapa orang yang mengunjungi teman yang sudah berpisah. Termasuk dirinya.

"Brugh"

Kenma menghampiri anak kecil itu dan berjongkok.

"Hei, hati-hati." Ujarnya dengan bahasa Indonesia yang fasih dari mulutnya. Dia mengulurkan tangannya untuk menolong gadis kecil itu.

"Terimakasih om." Jawab anak kecil itu berdiri berpegangan pada tangan Kenma. Anak kecil yang mungkin usianya sembilan tahun itu tidak menangis meski kakinya berdarah.

Tak lama mereka berpisah, gadis itu tersandung lagi karena ingin cepat menghampiri orang tuanya. Kenma kali ini mendekatinya lagi.

"Seperti [Name]" ucapnya tanpa sadar. Siapa itu? Kira-kira itulah yang diucapkan olehnya di hatinya.

"Ya?" Gadis kecil itu menyahut. Dia hanya merasa namanya dipanggil.

"Engga. Ayo, dimana orang tuamu?" Kenma mengulurkan tangannya. Gadis kecil itu berdiri dengan bantuannya lagi.

"Ngga usah om. Om jalan lurus aja kedepan." Kenma mengernyitkan dahinya.

"Baiklah... Hati-hati."

"Ok om." Gadis itu melambaikan tangannya sambil berlarian berjalan ke arahnya arah yang berlawanan. Melihat gadis kecil itu perlahan menjauh, Kenma mengikuti ucapannya.

Kenma terus berjalan lurus menelusuri tempat pemakaman publik itu. Kakinya berhenti, menatap pohon berbunga putih yang memikatnya dengan wewangian yang harum. Kenma mendekatinya. Dia menyentuh batang pohon itu pelan dan menghirup aromanya.

Dia kemudian menoleh ke sebelah. Disana ada sebuah nisan yang dipenuhi rerumputan liar. Entah apa yang mendorong dirinya, dia memetik rerumputan itu pelan hingga bersih. Dia menatap nama yang tertulis disitu. Dia tersenyum lalu meletakkan buket itu di samping nisannya.

Dia kemudian duduk di bawah tanah menatapi buket berisi mawar putih itu. Menghela nafas pelan.

"Hei... Aku bawa hadiah." Ujarnya dengan suara kecilnya semasa sekolah menengah.

Dia kini sekarang sudah menjadi pria dewasa. Orang dewasa yang tak takut lagi akan perhatian orang banyak. Orang dewasa yang suaranya tidak pelan lagi. Orang dewasa yang tak bisa terus menghabiskan waktu dengan bermain Nintendo.

"Baru satu seri. Tapi nanti aku beliin yang lengkap kok serinya. Eksklusif ditandatangani Kodzuken. Cuma untuk kamu." Kenma mendekatkan paperbag dan nisan milik gadis itu.

"Maaf baru datang." Suaranya sudah mulai tergetar.

"Selama ini aku masih takut. Hahaha... Hei. Aku bukannya melupakan kamu kok. Cuma ga berani. Entahlah... Rasanya masih ngga terima. Waduh,kacau nih." Dia berbicara sendiri menatap langit yang tidak menyilaukan mata karena rata-rata tertutup awan.

"Udah lama ngga ketemu jadi canggung ya."

"Ngga mau foto bareng? Aku artis loh." Tanyanya tetap pada posisinya.

"Idiw, sombong." Ucapnya sendiri tak mendengar jawaban sedari tadi.

"Hei, gantian dong. Aku yang curhat."

"Jadi, kan awalnya aku kena marah mamaku. Main game terus, belajar juga diurus. Gimana coba nyari kerjaan kalau main game Mulu. Ngga laku loh, pegawai gitu. Mau anak Pemilik perusahaan kek. Beh... Telingaku sakit dengernya, hahaha."

"Terus ya. Si Kuroo nyuruh aku coba streaming. Hahaha. Siapa tahu bisa bikin duit. Ya ogah lah. Trus ya, disebut mulu juga sama anak klub. gara-gara penasaran, aku coba. Eh. Boom. Hahahaha. Banyak yang nonton. Seru juga ngejawab komennya. Jadi ketagihan."

"And, waktu aku lulus, langsung disuruh papa masuk perusahaan sambil kuliah. Yah... Karena aku pintar jadi cepet naik tingkat." Pria berambut sebahu itu menyombongkan diri.

"Hei. Bukunya udah terpublikasi. Banyak anak kecil yang mau baca. Hahaha. Bisa-bisanya kamu bikin buku gini. Seri satu ceritanya masih ringan sih. Seterusnya yang bermasalah. Hahahaha. Sesat sih."

"Karena sekarang kamu ga bisa beli apa-apa, aku beliin deh." Kenma mengelus nisan itu.

"Memang kalau ngobrol enaknya ketemuan? Tapi ga bisa. Sekarang mungkin kamu udah pergi ke dunia lain, tempat yang ngga semenyiksa ini. Aku, ngga bisa ngapa-ngapain. Apapun itu."

"Aku... Ga pernah berpikir kalau kita akan segera berpisah. Bukankah harusnya waktu itu masih ada waktu? Mau bagaimana, sudah takdirmu. Aku pernah berpikir tentang happy ending dimana kamu tiba-tiba sembuh. Atau mungkin kamu tidak segitu sakitnya."

"Aku tahu ini tidak pantas kuucapkan. Tetapi, aku... Berharap andaikan kamu tidak sakit. Andaikan kamu bisa disini lebih lama. Tetapi itu keputusanmu. Dunia memang jahat. Manusia memang jahat."

Kenma terdiam lama sekali. Rasanya aneh harus berbicara sendirian. Dia hanya bersender pada pohon di samping tempat peristirahatan terakhir [Name]. Dia hanya duduk disitu seolah sedang bersama [Name]. Seperti dulu. Dia ingin menemani temannya sedikit lama.

"Hei. Aku pergi ya. Nanti aku kasih lagi kok. Jangan kesepian. Bye." Ujar Kenma. Bayangannya kini condong ke arah timur. Langit nampak seperti akan memerah sebentar lagi.

"Bye." Ucapnya sekali lagi kemudian berdiri.

"Sampai jumpa lagi." Pria itu melenggang pergi meninggalkan tempat itu. Menoleh sekali lagi kemudian benar-benar pergi.

Keluar dari area pemakaman umum itu, dia berjalan di jalanan aspal itu untuk mencari taksi. Mendengar bunyi klakson yang memekakkan telinga. Dia menoleh ke samping dan melihat sebuah truk sudah berada amat dekat dengannya.

"BRUAK!!"

Kenma masih Bisa mendengar samar-samar orang mulai berkerumunan. Badannya merasakan sakit yang amat dahsyat. Truk tadi sudah pergi melaju langsung sebelum orang berkumpul.

Dia bisa melihat banyak orang hanya melihatnya, dan ada yang menelpon. Ada juga yang melihatnya sebentar lalu langsung pergi setelah menatapinya seolah dia mengerikan. Perlahan dia menutup matanya tidak tahan menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Perlahan rasa sakit itu reda. Dia berharap bisa segera sembuh dari kecelakaan ini.

Atau mungkin, dia sudah tak bisa disembuhkan di dunia ini.

Tokyo's Rain (Kozume Kenma x Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang