02. Hopeless

173 31 43
                                    

Jerrel tidak pernah membayangkan jika ia akan mengalami lagi, hal tersulit dalam hidupnya. Malam ini di bawah langit berbintang dengan angin yang menyejukkan, ia menghabiskan dua botol minuman beralkohol yang membuatnya hampir tak sadarkan diri, di balkon rumah.

"Lo, ngapain? udah habis dua botol gitu masih nambah lagi!"

Jerrel merangkul bahu Mahen sembari tersenyum manis. "Hehe, adikku tercinta akhirnya datang juga. Abang kangen banget nih."

Mahen benar-benar tidak tega untuk meninggalkan kakaknya. Terakhir kali Jerrel mabuk berat adalah dua tahun lalu, saat kedua orang tua mereka mengalami kecelakaan pesawat.

"Hal berat apa yang bikin lo, sampe kaya gini, bang?"

Jerrel menyandarkan kepalanya pada bahu Mahen. "Anak kecil mana paham soal percintaan. Lo, fokus aja belajar."

"She's cheating on you?"

"I don't know but I see it. Mungkin itu cuma temennya." Jerrel tersenyum kecut.

"Shit! kalau cuman temen. Lo, nggak bakal sampe kaya gini, Bang!"

Mahen begitu emosi, ia tahu kakaknya bukanlah orang yang suka minum-minum apalagi sampai mabuk.

"Heh, anak kecil ngomongnya dijaga dong. Nggak boleh ngomong kaya gitu."

"Gue pernah bilang, kan. Lakuin hal yang bikin lo, bahagia. Tolong jangan nyakitin diri sendiri."

Jerrel tak sadarkan diri. Entah apakah Jerrel benar-benar pingsan atau dia tidak mau mendengar perkataan adiknya lagi.

Mahen terpaksa menggendong kakaknya ke kamar. Pandangan Mahen tertuju pada toples kaca yang berisikan makhluk kecil di dalamnya.

"Gue nggak nyangka, orang kaya bang Jerrel melihara kupu-kupu. Tapi, kupu-kupu ini cantik banget. Kaya spesies langka."

Mahen memperhatikan sekilas kupu-kupu itu, sebelum ia keluar dari kamar Jerrel.

🦋🦋🦋

Pagi-pagi sekali Jerrel sudah mempersiapkan dirinya untuk menyusul Vania yang sedang melakukan pemotretan di luar kota. Ia hanya butuh penjelasan dari Vania, tentang apa yang dilihatnya kemarin.

"Rapi banget mau kemana, Bang. Tumben pagi-pagi udah bangun?" tanya Mahen yang tengah membaca novel fantasy sembari berbaring di atas sofa.

"Lo, lagi gak ada kelas kan, Hen? Jagain, itu kupu-kupu jangan sampe lepas."

"Lo, pikir hidup gue segabut itu, melihara kupu-kupu. Gue tanya lo mau kemana?"

"Nggak usah banyak nanya, gue buru-buru. Jagain yang bener."

Dalam perjalanan, Jerrel terus saja memikirkan kejadian kemarin. Ia takut jika apa yang firasatnya rasakan adalah sebuah kebenaran.

Jerrel langsung memeluk Vania yang sedang istirahat dari pemotretan. Tentu saja hal itu membuat Vania terkejut karena, biasanya Jerrel tidak pernah mengunjunginya saat pemotretan.

"Miss you so much, my girl. Gimana pemotretannya lancar, kan?" Jerrel merangkul pinggang Vania.

"Kok, bisa ada disini. Tumben banget, biasanya kamu sibuk." Vania merasa tidak enak pada orang-orang di sekitarnya, ditambah lagi ada seorang laki-laki yang menatap tajam ke arahnya.

"Emangnya nggak boleh? Aku, kan pacar kamu."

Vania menuntun Jerrel ke tempat yang sepi, dari para staff pemotretan. "Maksud aku, nggak biasanya kamu kaya gini. Nggak enak juga sama yang lain."

Jerrel tersenyum dan mengacak rambut Vania. "Gemesin banget, sih pacar aku."

"Kamu apaan, aku masih ada pemotretan malah diacak-acak.

"Aku tunggu kamu disini, selesai pemotretan ada hal penting yang pengen aku tanyain ke kamu."

Asisten Vania, memanggilnya untuk melanjutkan pemotretan. "Van, ayok udah mulai nih."

Vania menyahut dari kejauhan. "Iya, tunggu bentar lagi!"

"Jer, kamu nggak pa-pa nunggu aku di sini. Soalnya aku masih lama pemotretannya."

"Aku bakal nunggu kamu, selama apapun itu."

"Aku lanjut pemotretan dulu, ya." Vania mengecup singkat pipi Jerrel.

Sudah hampir satu jam Jerrel menunggu Vania. Ia hanya duduk dan beberapa kali membalas chat di ponselnya. Tanpa sengaja, Jerrel mendengar beberapa staff membicarakan Vania.

Meskipun kesulitan membawa beberapa pakaian pemotretan, staff itu masih sempat bergosip. "Gila nggak, sih. Vania sama Tio cocok banget. Kemistrinya dapet banget, kaya couple beneran."

"Kamu nggak tahu, denger-denger sih mereka udah tunangan." Staff satunya ikut menimpali.

"Masa, sih. Bukannya Vania udah punya pacar, ya? Pacarnya tajir banget malah." Mereka berdua berjalan melewati Jerrel.

Jerrel mencoba menahan emosinya, apapun yang dikatakan orang lain ia tidak perduli. Ia hanya butuh penjelasan dari Vania. Tapi entah kenapa firasatnya semakin tidak enak.

"I'm sorry, Jer. Lama banget, ya. Harusnya kamu nggak usah nungguin aku." Vania duduk di samping Jerrel. "Katanya kamu mau nanya sesuatu yang penting. Mau nanya apa?"

Pandangan Jerrel menyusuri setiap jengkal wajah cantik Vania, mengelus surai pirangnya, dan berakhir pada jemari gadis itu. Digenggamnya jemari Vania, betapa hancurnya hati Jerrel, ketika ia melihat sebuah cincin melingkar indah di jari manis kekasihnya.

Saat itu juga Jerrel paham, dengan kejadian kemarin dan juga apa yang dikatakan staff tadi. Sebuah cincin sudah cukup untuk menjelaskan semuanya. Ia hanya terdiam memandang kosong ke depan.

"Jer, kok malah bengong. Katanya mau nanya sesuatu?" suara Vania membencah lamunan Jerrel.

Jerrel menarik nafas berat, sebelum ia mengatakan suatu hal pada Vania. "Aku pernah bilang sama kamu. Kalau kamu adalah orang yang paling aku percaya, setelah orang tuaku meninggal. Kamu jadi sumber harapan buat aku ngejalanin hidup ini."

Sekali lagi Jerrel menarik nafas, ia tidak ingin melampiaskan emosinya pada Vania. "Tapi, apa yang aku lihat kemarin dan hari ini. Itu udah cukup menghancurkan hidup aku, Van."

Vania masih tidak paham dengan apa yang Jerrel katakan. "Maksud kamu apa, sih. Aku beneran nggak ngerti?"

"Aku udah tahu semuanya. Aku ngelihat sendiri wanita yang aku cintai mencium laki-laki lain dan sekarang aku melihat cincin di jari manisnya. Itu udah cukup ngejelasin semuanya." Jerrel memalingkan wajahnya dari Vania, ia takut jika akan melukai wanita yang dicintainya.

"Jer, aku bisa jelasin semuanya. Kamu harus dengar dulu penjelasan dari aku."

"Semuanya udah jelas, apalagi yang harus dijelasin!" Jerrel tak bisa lagi menahan emosinya. Pada akhirnya ia yang akan menyakiti Vania.

Vania mulai terisak, air matanya sudah tak bisa terbendung lagi. Ia tidak menyangka jika Jerrel akan mengetahui semuanya dengan cara seperti ini. Padahal ia ingin menjelaskannya sendiri tapi, tidak sekarang.

Kedua netranya berkaca-kaca, Jerrel tidak sanggup untuk melihat Vania. "Kalau kamu memang lebih memilih dia. Tolong, jangan menangis di depan aku. Jangan membuat aku ngerasa bersalah karena harus melepaskan kamu."

Malam itu juga, setelah kembali ke rumahnya. Jerrel ingin melepaskan semua hal yang disukainya, termasuk kupu-kupu itu.

Mahen yang seharian menjaga kupu-kupu itu, begitu terkejut melihat kakaknya pulang dengan penuh emosi. "Bang, lo kenapa? Tahan emosi, lo!" Mahen menahan Jerrel yang mencoba untuk pergi dari rumah.

"Hidup gue udah hancur, Hen! Nggak ada lagi, orang yang bisa gue percaya!"

"Lo, anggep gue apa? Lo, masih punya gue, Bang! If you need me, I'll be your side!"

Jerrel mendorong Mahen dengan mudahnya, hingga Mahen terduduk di atas sofa. Jerrel sudah tidak bisa mengontrol emosinya lagi, ia ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga.

*To be continued....

Mohon bersabar ya, mungkin beberapa bab ini, Jerrel ngeselin banget. Bagian transmigrasi aku jelasin secara perlahan. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk mampir. 🤝💚💚🦋

Beautiful Butterfly | Jung JaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang