Bulan purnama bersinar terang, dengan dihiasi bintang-bintang. Angin yang menelisik pada dedaunan dan bunga yang ada di sekitar taman, menambah kesan tersendiri bagi dua orang yang tengah dimabuk asmara. Keduanya berbaring di rerumputan sembari memandang indahnya malam ini. Namun jauh di lubuk hati masing-masing menyimpan rasa takut, takut akan hal yang belum terjadi. Bahkan mungkin salah satu dari mereka sudah mengetahui apa yang akan terjadi.
Sesekali Jerrel menoleh ke arah Claudia yang berbaring di sampingnya, sungguh pemandangan yang sangat indah setiap kali Jerrel memandangnya. Hanya saja kali ini raut wajah gadis itu pucat pasi, hari terus berganti dan kondisi Claudia semakin lemah daripada sebelumnya. Hal inilah yang ia takuti, tapi Claudia bersikeras untuk tetap berada di sampingnya. Pertengkaran antara Claudia dengan Bellanca waktu itu, benar-benar membuat Jerrel merasa sangat bersalah, seandainya saja ia bisa menahan egonya, seandainya ia segera membujuk Claudia untuk pulang, semua ini mungkin tidak akan terjadi.
Saat pandangan keduanya bertemu, Claudia dibuat tertegun mendapati Jerrel menatapnya begitu dalam, bisa Claudia rasakan sesak yang tak menemui jalan keluar dari sorot mata laki-laki itu. Menjalar ke seluruh tubuhnya, seakan perasaan keduanya terhubung satu sama lain. Berbeda dengan Jerrel, Claudia tidak bisa menahan rasa sesak itu dan tumpah ruah menjadi derai air mata.
Sadar akan keadaan Claudia saat ini, membuat batin Jerrel teriris. Pedih rasanya melihat gadis yang ia cintai menangis di hadapannya. Jerrel menangkup pipi gadis itu dan mengusap air matanya. "Clau, kamu nggak apa-apa, kan? Mana yang sakit, bilang sama aku."
"Jerrel, jika suatu saat nanti kamu tidak menemukan diriku lagi, di sampingmu. Tolong lupakan segala hal tentangku.
"Kalau hal itu terjadi, aku akan mencarimu. Sampai aku kembali menemukan kamu." Tidak ada keraguan dari sorot mata laki-laki itu.
Mendengar apa yang dikatakan Jerrel, membuat rasa sesak itu seakan menembus ke ruang terdalam dirinya, ia bangkit dari posisinya dan menepuk-nepuk dadanya--tangisan Claudia kian menusuk hati Jerrel. Sekarang bukan hanya sesak, tapi sekujur tubuh Claudia seakan ditusuk ribuan jarum. Setiap kali ia berubah wujud menjadi kupu-kupu pasti tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa, tapi kali ini rasa sakitnya berbeda.
Claudia menarik napas singkat disela-sela tangisnya. "Setelah kamu bangun dari tidurmu nanti, aku harap tidak ada satu hal pun, yang bisa kamu ingat tentangku. Jalanilah hidupmu sebaik mungkin, bahkan jika takdir memaksa kita untuk kembali bertemu..." Gadis itu menghela napas lagi. "Aku berharap tidak akan ada lagi kita yang seperti ini."
Tak ada yang bisa Jerrel lakukan selain memberi Claudia sebuah pelukan. Jerrel memeluknya dalam dekapan paling hangat, mengusap lembut punggung Claudia dengan penuh kehati-hatian dan mencium keningnya.
"Jerrel, tataplah kedua mataku." Jerrel mengikuti apa yang diucapkan Claudia. Keduanya kembali saling menatap dengan sorot mata paling sendu, Claudia tersenyum manis sembari mengalungkan kedua tangannya pada leher Jerrel. "Tidak ada yang harus disalahkan, dari semua hal yang terjadi. Karena memang beginilah takdir kisah kita." Dengan air mata yang masih berderai, Claudia kembali berkata. "Jerrel... aku sangat mencintaimu."
Belum sempat Jerrel menjawab pernyataan cinta darinya. Claudia lebih dulu menciumnya, menyalurkan segala rasa yang ada pada dirinya. Untuk beberapa saat Jerrel membiarkan Claudia menjamah bibirnya, tepat saat itu juga sayap kupu-kupu milik Claudia muncul dan memancarkan cahaya yang begitu terang, waktu kembali berhenti seperti saat Claudia menyelamatkan nyawanya.
Jerrel melihatnya sendiri betapa indah dan cantiknya Claudia saat ini, hingga akhirnya Jerrel menarik pinggang gadis itu ke dalam rengkuhan-nya, menyentuh rahang milik Claudia, dan memejamkan kedua matanya--membalas segala rasa yang gadis itu salurkan melalui bibirnya. Meleburkan segala rasa menjadi satu dalam tautan yang begitu lembut, disela-sela tautan itu bisa Jerrel rasakan air mata yang mengalir dipipi keduanya, tanpa Jerrel sadari ia juga meneteskan air matanya.
Ketika Jerrel tak lagi merasakan pinggang Claudia yang ia rengkuh, rasa sesak mulai menjalar dan saat Jerrel tak menemukan kedua tangan gadis itu yang menyentuh lehernya, bukan hanya rasa sesak, tapi rasa takut itu muncul kembali. Takut jika saat ia membuka matanya, gadis yang ia cintai sudah tak ada lagi di hadapannya. Jerrel berharap bukan hanya waktu yang berhenti, tapi juga momen saat ini. Tepat jarum jam menunjuk angka dua belas, saat itu juga tubuh Claudia memudar secara perlahan, menjadi kupu-kupu dan lenyap begitu saja.
Waktu kembali berjalan, saat itu juga Jerrel membuka matanya dan yang ia temukan hanya bayang-bayang Claudia tanpa raga, rasanya begitu kosong ditambah hembusan angin malam yang semakin dingin. Langit yang tadinya bertabur bintang berubah menjadi kelam dan rintik hujan jatuh menimpa laki-laki yang tengah meratapi kehilangannya. Derai air mata yang menyatu dengan hujan menjadi saksi betapa pilunya perpisahan diantara keduanya.
Layaknya orang yang kehilangan akal, Jerrel mencari gadis itu menyusuri taman sembari meneriakkan namanya dengan putus asa. "Clau... Claudia kamu di mana?"
Sejak keduanya pergi ke taman, Mahen dengan sengaja mengikutinya. Dia tidak pernah membayangkan jika ia akan menyaksikan betapa pilunya sebuah perpisahan, Mahen tidak sekuat kakaknya--saat ia melihat kaki Claudia memudar, saat itu juga ia membalikan tubuhnya sendiri agar tidak menyaksikan hal itu.
Bukan hanya Jerrel yang saat ini merasakan kehilangan tapi Mahen pun sama, ia tidak sanggup melihat kakaknya saat ini. Mahen mulai mendekati Jerrel dan berusaha membujuknya untuk pulang. "Bang, kita pulang, ya."
"Hen, Claudia hilang..." Jerrel menatap Mahen dengan sorot mata yang begitu sendu, kedua matanya sudah sembab sejak tadi. "Kita harus cari Claudia, Hen."
"Iya, Bang kita cari sekarang, ya." Mahen menuruti apa yang dikatakan kakaknya.
Kakak beradik itu berjalan di tengah derasnya hujan, membiarkan air hujan membasahi tubuh keduanya. Berharap air hujan mampu membawa rasa itu lenyap dan tak meninggalkan luka.
Setelah menyusuri taman tanpa menemukan apa yang mereka cari, keduanya berjalan ke arah jembatan penyeberangan berharap Claudia akan ada di sana. Namun, tetap saja hasilnya nihil. Seluar biasa itu semesta mempermainkan hidup keduanya, tapi bukankah dalam hidup memang tidak semua hal ditakdirkan untuk bersama.
Sebenarnya apa yang sedang semesta rencanakan pada hidupnya, kenapa ia harus mengalami hal yang lebih sulit dari sebelumnya. Bahkan rasa sakitnya melebihi saat ia kehilangan orang tuanya. Dunianya seakan hancur sepenuhnya, tak ada lagi alasan untuk ia bertahan hidup. Membayangkan bagaimana ia harus bertahan hidup tanpa Claudia, membuat kepalanya serasa ingin meledak, seketika pandangannya mengabur, dan tubuhnya perlahan kehilangan keseimbangan. Yang ia rasakan setelah itu, dirinya berada di dalam ruang yang gelap dan hampa tanpa ada seorangpun.
*Selesai
Hai semuanya, aku memutuskan 'Beautiful Butterfly' berakhir sampai disini. Semoga kalian suka dengan endingnya, karena ini work pertama yg bisa aku selesaikan, tolong maklumi jika masih ada kesalahan dalam penulisan. Aku harap ada hal yang bisa kalian ambil sebagai pelajaran, bahwa tidak segala hal ditakdirkan untuk bersama. Entah kehilangan anggota keluarga ataupun pasangan hidup, semuanya akan kembali pada takdirnya masing-masing. Percayalah semesta tengah menyiapkan hal yang sangat luar biasa untuk kalian semua.
-Arumpoppin-*See you, di next project selanjutnya...🥰💚 jangan lupa⭐ ya...🤝💚💚
-17-07-2022-
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Butterfly | Jung Jaehyun
Fanfiction"Sebenarnya dia siapa, kenapa mimpi yang sama terus datang?" Kisah cinta yang belum usai, sejak ribuan purnama. Dipertemukan kembali dalam takdir yang berbeda. Start -4 Januari 2022- End -2 Agustus 2022-