16. Bittersweet

64 12 18
                                    

Dari jauh Jerrel seakan melihat sosok mantan kekasihnya, memanggil namanya. Dia mengenakan flower dress selutut dan rambut yang sengaja tergerai, hembusan angin seakan menerbangkan helaian rambutnya, dia semakin mendekat ke arahnya. Vania dengan santainya duduk di sebelah Jerrel.

"Kamu masih sering ke sini?" tanya Vania yang memandang Jerrel.

"Bukan urusan kamu, ini tempat umum. Siapapun berhak datang ke sini kapan aja." Jerrel menatap lurus ke depan, tanpa menoleh ke arah Vania sedikit pun.

"Aku masih nggak nyangka kalau kamu bakal lupain aku secepat ini. Awalnya aku kira cewek itu pacarnya Mahen, tapi setelah ngelihat dia dengan beraninya narik kamu waktu di atap. Aku baru sadar kalau kamu udah sepenuhnya bukan milik aku lagi." Vania mulai mengikuti arah pandang Jerrel, yang masih menatap lurus ke depan.

"Van, kalau aku boleh jujur, aku muak lihat muka kamu. Bahkan untuk menyebut nama kamu aja aku udah nggak sudi." Apa yang di katakan Jerrel bukanlah sebuah kebohongan, dia memang sudah tak ingin lagi mengungkit apapun tentang Vania. Semua yang berhubungan dengan Vania hanyalah sebuah luka.

"Boleh aku tanya sesuatu? untuk yang terakhir kalinya," pinta Vania. Jerrel hanya diam tak bersuara sedikit pun.

"Minggu depan aku bakal nikah sama Tio, sebelum pernikahan itu terjadi. Aku hanya ingin memastikan perasaan kamu ke aku masih ada atau nggak?" Vania menggenggam tangan kanan Jerrel, untuk meyakinkan bahwa dia masih memiliki rasa cinta padanya.

Jerrel memberanikan diri untuk menatap kedua netra hazel milik Vania, tanpa keraguan sedikit pun. "Dengar baik-baik, Van. Udah nggak ada lagi nama kamu di hati aku. Kamu udah lama mati sejak hari itu, jadi aku mohon berbahagialah dengan laki-laki yang telah kamu pilih." Kemudian Jerrel melepas genggaman tangan Vania.

Tidak pernah Vania melihat tatapan sedingin itu sebelumnya, Jerrel yang selalu menatapnya dengan tatapan hangat, genggaman yang hangat, bahkan pelukan yang hangat. Kini sudah tidak dia temukan lagi, semuanya telah berubah menjadi dingin. Maka dengan hati yang sangat hancur, Vania berusaha untuk melepaskan laki-laki yang sudah memberikan dia kebahagiaan selama dua tahun, bahkan bisa di bilang lebih dari itu.

Vania menghela napas begitu berat. Bahunya mulai bergetar dan dia tak bisa lagi untuk menahan tangisnya. "Maaf, jika kedatangan aku malah menambah luka buat kamu, Jer. Terima kasih karena udah jagain aku selama ini, dan semoga kamu juga bahagia dengan orang yang mencintai kamu lebih dari aku."

Setelah kalimat perpisahan itu kisah cinta mereka, benar-benar telah usai. Mencari kebahagiaan mereka masing-masing, tanpa harus saling menyakiti. Jerrel percaya jika apa yang telah dia pilih saat ini adalah pilihan yang terbaik. Berharap di kemudian hari dia akan menemukan seseorang yang tidak akan pernah meninggalkannya.

Jerrel segera beranjak dari taman, bukannya mendapat ketenangan. Malah lukanya kembali menganga, dia memutuskan untuk kembali ke studio, masih banyak pekerjaan yang belum terselesaikan olehnya. Di perjalanan, Jerrel melihat Claudia sedang berboncengan dengan Mahen. Sepertinya mood Jerrel kembali buruk, setelah melihat hal itu. "Gue bego banget kalau sampai beneran suka sama Claudia." Batin Jerrel.
Dia segera menepis pikiran tentang Claudia dan melanjutkan perjalanannya menuju studio.

Di tempat latihan City 127, Doni tengah memainkan drum miliknya. Jerrel mendekatinya kemudian mengambil sebuah gitar, memainkannya secara asal. Doni menghentikan permainan drumnya dan memperhatikan Jerrel, dia yakin ada suatu hal yang mengganggu pikiran sahabatnya itu.

"Lo, ada masalah apa lagi?" tanya Doni yang menepuk pundak Jerrel.

Jerrel menjawabnya dengan di iringi petikkan gitar yang dia mainkan. "Kayanya, gue jatuh lagi. Tapi perasaan gue ini salah, gue nggak seharusnya jatuh hati ke dia."

Ternyata masalah hati, Doni paham akan hal itu. Tapi, bagaimana bisa Jerrel dan Mahen, sama-sama tengah jatuh hati di waktu yang berdekatan. Apa itu yang dinamakan ikatan batin, mungkin. Lebih tepatnya Doni tidak menyangka jika Jerrel akan move on secepat itu. "Hebat banget itu cewek, bisa bikin seorang Jerrel jatuh hati!" Doni menarik kursinya agar lebih dekat dengan Jerrel. "Bro, soal perasaan nggak ada yang salah. Kalau lo emang suka, udah tinggal lanjutin aja. Nggak usah di bikin ribet, emang cewek yang lo suka siapa? kali aja gue kenal orangnya."

"Gue kayanya udah gila, masa gue suka sama Claudia. Yang nggak jelas asal-usulnya dari mana."

"Lo beneran suka Claudia? barusan Diki curhat sama gue, dia bilang. Dia juga suka sama Claudia. Itu orang yang sama apa gimana?"

"Iya, tadi juga Diki bilang ke gue. Gue nggak masalah kalau harus bersaing sama Diki, tapi..." Jerrel bingung harus menjelaskan apa pada Doni.

"Tapi, apa? kalau ngomong yang jelas, Jer. Kok, lo jadi pengecut gini, semangat dong, gue dukung apapun yang membuat lo bahagia!" seru Doni menyemangati sahabatnya. Doni harap Jerrel bisa menemukan kebahagiaannya. Setelah semua hal pahit yang terjadi pada hidup Jerrel.

Jerrel setuju dengan apa yang di ungkapkan Doni, tapi itu artinya dia harus bersiap jika suatu saat Claudia akan meninggalkannya dan yang lebih parahnya bisa saja persaudaraan dia dan Mahen menjadi taruhannya. Membayangkannya saja sudah cukup membuat Jerrel sakit kepala, apalagi jika itu benar-benar terjadi. Jerrel tidak akan membiarkan hal itu sampai terjadi. Maka dia akan membiarkan perasaannya mengalir begitu saja, tanpa harus di ketahui oleh Claudia.

Mahen mengajak Claudia untuk berkeliling kota, dengan mengendarai sepeda motornya. Claudia begitu antusias, baru pertama kali dia menaiki sepeda motor, sebab di dunianya tidak ada benda seperti itu. Lebih seringnya dia menaiki kereta kuda. Mahen melihat wajah Claudia melalui kaca spion. Claudia tersenyum gembira, itu saja sudah membuat jantung Mahen berdegup kencang. Sialnya dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya, apalagi pada orang yang di sukainya. Meski seperti itu, Mahen tidak bisa mengatakkannya secara langsung. Lidahnya seakan terasa kelu untuk sekedar memulai pembicaraan.

"Mahen, aku ingin memakan benda itu," rengek Claudia yang menunjuk sebuah permen kapas yang di pegang oleh anak kecil di pinggir jalan.

Mahen gemas sendiri mendengar rengekan Claudia. Rasanya dia ingin terbang melayang menembus angkasa dan melampauinya— Bukan seperti itu. Itu terlalu berlebihan. Kemudian Mahen menepikan sepeda motornya. Mendatangi penjual permen kapas yang di minta Claudia tadi. "Bang, permen kapasnya satu, ya."

"Mau yang warna apa, Mas?" tanya penjual permen kapas pada Mahen.

"Kamu mau pilih yang warna apa, Clau?"

"Mahen suka warna apa? aku ingin memilih warna yang di sukai Mahen." Claudia malah balik bertanya pada Mahen.

Hal itu sukses membuat Mahen kembali di buat salah tingkah akan perlakuan Claudia padanya. Mahen mencubit kedua pipi Claudia dengan gemas. "Clau, kalau kamu terus-terusan kaya gini. Aku nggak bisa mundur lagi." Claudia tidak mengerti dengan apa yang di katakan Mahen.

"Gimana kalau warna biru aja? soalnya aku suka warna biru."

Claudia mengangguk. "Sepertinya itu bagus, aku juga suka warnanya."

Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk membeli permen kapas yang berwarna biru muda. Keduanya duduk di bangku yang ada di pinggir jalan. Senyuman Claudia mengingatkan Mahen pada kekasihnya yang dulu. Tapi bukan karena itu, alasan dia menyukai Claudia. Mahen menyukai tingkah sederhana Claudia, yang mampu menggetarkan hatinya yang telah lama mati. Bahkan Claudia tidak malu meski Mahen mengajaknya duduk di pinggir jalan seperti ini.

Sebuah pengalaman baru lagi, bagi Claudia yang tengah memakan permen kapas. Dia tidak menyangka jika rasanya sangat manis, sebelumnya dia mengira rasanya akan hambar karena bentuknya mirip seperti awan di langit. Memang tidak ada hubungannya, tapi itulah yang ada di dalam isi kepala Claudia.

*To Be Continued....
Akhirnya selesai juga part ini🤧 semoga kalian suka ya😇 Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk mampir🤝💚💚🦋 Semangat terus....🔥🔥🔥

Beautiful Butterfly | Jung JaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang