19. Dreaming

75 9 2
                                    

Jerrel baru saja terbangun dari tidurnya dengan napas yang memburu dan keringat yang bercucuran. Rasanya begitu sesak, dia memimpikan hal yang sama lagi. Dalam mimpinya dia melihat seorang gadis dan laki-laki. Saking seringnya memimpikan hal itu, dia sudah hafal seperti apa wajah mereka berdua. Si gadis memiliki rambut yang panjang berwarna jingga kecoklatan, sedangkan yang laki-laki memiliki wajah mungil yang tegas. Jerrel tidak tahu apa penyebab mimpi itu, mungkin jika hanya sekali, dua kali. Dia bisa menyimpulkan bahwa mimpi itu hanya sekedar bunga tidur, tapi ini berbeda. Dia yakin ada sebuah alasan di balik itu semua.

Tak ingin terlarut dengan pikirannya sendiri, Jerrel bersiap untuk pergi ke studio. Setelah sudah siap, Jerrel turun menuju dapur, dia mendapati Claudia tengah memasak nasi goreng tanpa menyalakan kompor. Bisa dibayangkan seperti apa bentuknya, nasi yang bercampur dengan minyak. Pagi hari Jerrel harus dimulai dengan kesabaran yang ekstra.

"Clau, mending lo duduk aja. Biar gue yang masak."

"Aku ingin membuat bubur untuk Mahen, tadi aku mendengar dia mengigau. Aku masuk ke kamarnya dan tubuhnya begitu panas."

"Kayanya dia kena demam, gara-gara hujan semalam."

Jerrel membuatkan bubur untuk adiknya, dan juga memotong buah semangka kesukaan Mahen. Dia tidak ingin meninggalkan adiknya yang sedang sakit, tapi pekerjaan di studio sudah menunggunya. Terpaksa dia menyuruh Claudia untuk mengurus Mahen. "Lo, bisa ngompres, kan?" Claudia mengangguk menanggapi pertanyaan dari Jerrel. "Habis itu kalau Mahen udah bangun kasih dia bubur, sama obat ini. Pastiin dia benar-benar minum obatnya. Lo, bisa gue andelin, kan?" tanya Jerrel, memastikan bahwa Claudia bisa dia percaya.

"Kamu bisa mengandalkanku! Tapi, dengan satu syarat. Kamu harus berbicara sopan padaku, bagaimana?"

"Okay, gue akan... Maksud aku. Aku akan bicara lebih sopan sama kamu." Jerrel langsung pergi meninggalkan Claudia.

Claudia membawa air hangat untuk mengompres Mahen yang masih tertidur di kamarnya. Bisa Claudia dengar Mahen mengigau memanggil namanya dengan suara yang lirih. Diambilnya handuk basah untuk mengompres kening Mahen. Claudia sangat merasa bersalah pada Mahen, jika saja Mahen tidak mencari dia kemarin, mungkin saja Mahen tidak akan demam. Sebagai gantinya, Claudia akan mengurus Mahen dengan benar hingga dia sembuh. Claudia baru akan beranjak untuk mengambil bubur dan obat yang ada di dapur, tapi Mahen menahan pergelangan tangannya dengan mata yang masih tertutup. "Jangan pergi, aku mohon," katanya.

Bisa Claudia rasakan genggaman Mahen begitu kuat, seakan tidak membiarkan dia beranjak dari posisinya, bagaimana bisa seseorang yang tengah tertidur memiliki kekuatan seperti itu. Maka dia kembali duduk di samping ranjang, dengan tangan kirinya yang digenggam erat oleh Mahen dan tangan kanannya yang mengompres kening Mahen. Sesekali Claudia memeriksa suhu tubuh Mahen, sepertinya sudah lebih baik dari sebelumnya. Sudah satu jam lebih Claudia mengompresnya, tapi Mahen belum juga bangun dari tidurnya. Tanpa sadar Claudia malah ikut tertidur dengan posisi yang sama seperti tadi.

Jika Mahen boleh jujur, dia sudah sadar sejak Claudia mengompres keningnya. Hanya saja dia ingin lebih lama menikmati waktu bersama Claudia. Dia memberanikan diri untuk membuka matanya dan mengusap surai hitam Claudia dengan begitu lembut. Wajah Claudia begitu menggemaskan saat tertidur, ingin rasanya Mahen mencubit pipi itu lagi, tapi dia tidak ingin membangunkannya. Dirasa demamnya sudah turun Mahen kemudian membopong tubuh mungil Claudia ke tempat tidur miliknya, dia yakin saat ini Claudia sedang kelelahan. Mahen tidak ingin menyusahkan Claudia, dengan sisa tenaganya yang masih lemas dia turun menuju dapur, untuk mengisi perutnya dan meminum obat.

🦋🦋🦋

Jerrel kembali mencemaskan Mahen. Sebenarnya apa yang dialami anak itu? Padahal sudah jelas, semalam Mahen mengendarai mobil, mana mungkin bisa sampai kehujanan. Apa mesin mobilnya mendadak mogok, di tengah jalan? Sungguh dia tidak bisa terus menerka apa yang sebenarnya terjadi. Jika dia kembali pulang, pasti pikirannya beralih pada pekerjaan di studio, tapi jika dia terus di sini yang ada dia semakin mencemaskan adiknya sendiri dan menghambat pekerjaannya.

Suara pintu terbuka, Jerrel yang semula tengah bertarung dengan pikirannya, kini tersadar dan melihat Diki masuk ke ruangannya. "Ada perlu apa, lo ke sini?"

Diki duduk di kursi yang ada di depan Jerrel. "Asem banget itu muka, lo ada masalah hidup apa? Cerita aja sama gue."

"Lo pernah, nggak? Mimpi, tapi mimpinya sama terus. Gimana, sih jelasinnya?" Jerrel mendadak menanyakan mimpi itu pada Diki.

"Makin nggak jelas aja ini orang, pelan-pelan coba. Pasti bisa, yuk," ledek Diki.

Jerrel malah tidak yakin untuk melanjutkan obrolan ini, rasanya percuma dia bercerita pada Diki yang sekalinya berbicara, omongannya begitu pedas. "Mending lo keluar, jangan ganggu kerjaan gue!"

"Perasaan, lo yang duluan cerita, sekarang malah ngusir gue!"

"Nggak penting, cuman mimpi doang." Jerrel mengalihkan pandangannya pada layar laptopnya.

"Sebenarnya gue datang ke sini, mau nanya tentang album baru kita. Kapan, lo bakal nyelesainnya?"

Jerrel tidak lupa dengan album baru City 127, hanya saja banyak hal yang menghambat pengerjaan album mereka. Tinggal satu lagu lagi yang belum Jerrel selesaikan, rasanya sangat sulit untuk segera menyelesaikan itu. Dia harusnya bisa konsisten dan tidak membuat penggemar City 127 menunggu lebih lama lagi. "Gue nggak bisa mastiin, kapan lagunya bakal selesai. Tapi bakal gue usahain."

Diki paham betul, apa yang selama ini terjadi pada hidup Jerrel. Tapi dia juga tidak bisa menunggu lebih lama lagi, mereka sudah menunda album itu terlalu lama dari jadwal yang sudah ditentukan. "Gue harap, lo nggak akan mengecewakan kita." Setelah mengatakan hal itu, Diki keluar dari ruangan Jerrel.

Sebelum hubungannya dengan Vania berakhir, Jerrel sudah menyiapkan sebuah lagu yang dia ciptakan untuk album baru City 127, tapi hal itu dia urungkan. Karena saat menciptakan lagu itu, Jerrel membayangkan setiap momen indah yang dia lalui bersama dengan Vania. Setelah semuanya kandas dia bahkan tidak bisa menemukan satu kata untuk menciptakan lagu yang baru. Semakin dia mencoba memaksakan dirinya untuk menulis lagu, yang dia dapat hanya sebuah rasa sesak, ditambah lagi mimpi yang dialaminya membuat dia tidak bisa berpikir dengan jernih. Semesta seakan tidak berpihak padanya.

Siapa yang bisa membantunya menemukan jalan ke luar dari masalah ini? Dia tidak memiliki tempat untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalanya. Bisa saja dia menceritakannya pada Doni, tapi kali ini dia tidak ingin menyusahkan sahabatnya. Maka dengan perasaan yang tak karuan, dia pergi meninggalkan ruangannya. Jerrel memilih untuk kembali ke rumah dan memastikan keadaan Mahen. Setidaknya dia harus menyelesaikan salah satu hal yang membuatnya cemas.

*To be Continued....
Hai, Terima kasih sudah mampir di cerita ini🤝 jangan lupa votenya, ya kalau kalian suka sama cerita ini🦋💚💚🥰

Beautiful Butterfly | Jung JaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang