04. Beginning

129 27 20
                                    

Pagi itu juga Jerrel dan Mahen mengintrogasi gadis, yang entah asalnya dari mana. Ketiganya duduk di sofa, dengan raut wajah yang serius. Tapi, tidak berlaku untuk gadis itu, ia duduk santai seakan rumah itu miliknya.

Banyak pertanyaan dibenak Mahen pada gadis itu, yang paling membuatnya curiga adalah bagaimana bisa gadis itu masuk ke rumah ini, sedangkan tadi malam Jerrel pingsan. Tidak mungkin ada yang membukakan pintu untuknya.

Mahen membuka pembicaraan terlebih dahulu. "Nama lo, siapa, asal dari mana, dan kenapa bisa masuk ke rumah ini?"

"Hen, kalau nanya satu-satu. Udah macem rapper aja, itu mulut."

"Bang, bisa diem nggak. Gue lagi mode serius, nih." Mahen menatap tajam gadis itu. Jerrel langsung menutup rapat mulutnya, ia tidak ingin berseteru dengan adiknya.

"Gue tanya sekali lagi. Nama lo, siapa? Lo, ngerti bahasa gue, kan. Perlu gue pake bahasa Inggris?"

Gadis itu masih belum menjawab pertanyaan dari Mahen, ia duduk termenung dan bingung harus menjawab apa. Ia tidak mungkin memberitahu identitas aslinya pada seorang manusia.

"Lo, ngerti nggak, sih! Kalau nggak jawab sekarang juga, mending pergi dari sini." Mahen baru saja akan menyeret gadis itu untuk keluar dari rumahnya tapi, gadis itu mendadak menjawab semua pertanyaan dari Mahen.

"Aku tidak tahu siapa namaku, kalau tidak salah aku berasal dari Everleigh. Kau yang membawaku masuk ke tempat ini. Aku membantunya dari kematian." Gadis itu menunjuk Jerrel.

Jerrel dan Mahen diam tanpa sepatah katapun, keduanya beradu tatap seakan sedang bertukar pikiran. Dan berujung tawa dari keduanya.

Mahen tertawa terbahak-bahak mendengar apa yang barusan dikatakan gadis itu. Jerrel menghentikan tawanya lebih dulu. "Hen, tahu Everleigh daerah mana?"

"Gue rasa cewek ini sakit jiwa, Bang. Selama gue hidup baru kali ini, gue denger Everleigh," bisik Mahen.

"Hen, daripada sakit jiwa. Ini cewek lebih menunjukkan gejala amnesia nggak, sih?"

"Bener juga, Bang. Tapi, dia ngomongnya ngaco gitu. Bahasanya juga kaya dubbing drama korea di TV." Mahen melipat kedua tangannya didada dan tampak berpikir keras, begitupun Jerrel.

Jerrel kembali teringat kejadian semalam. Ia yakin gadis itu bukanlah seorang manusia. Jika gadis itu manusia, tidak mungkin Jerrel masih hidup saat ini. Tapi, dari kejadian semalam sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat.

Setelah sekian lama berpikir, akhirnya Jerrel membuka suara. "Untuk sementara biarin dia tinggal disini."

"Maksudnya gimana, Bang? Nggak bisa gitu, dong. Kita aja nggak tahu dia siapa!"

Jerrel menepuk pundak Mahen. "Hen, kakak berhutang nyawa sama dia. Dia yang udah nyelamatin kakak semalam."

"Kalau keluarganya nyariin gimana? Nanti kita disangka nyulik anak orang, lagi!"

"Maka dari itu biarin dia tinggal disini, sampe ingatannya pulih. Lumayan dia bisa bantu-bantu di rumah ini."

Gadis itu mengelilingi isi rumah Jerrel, melihat-lihat benda apa saja yang ada di sana. Ia tampak takjub sekaligus bingung dengan apa yang dilihatnya.

Yang membuatnya lebih bingung, kenapa ia bisa menjadi manusia. Padahal semalam ia masih bisa terbang dengan sayapnya. Berada di dunia manusia saja sudah membuatnya putus asa, apalagi menjadi seorang manusia.

Pandangan Mahen tidak bisa lepas dari gadis itu, ia terus memperhatikan setiap gerak-geriknya. "Elo, lihat kelakuannya aja aneh banget. Yakin, Bang ngebiarin dia tinggal disini?"

Apa yang dikatakan Mahen ada benarnya tapi, Jerrel juga tidak tega untuk mengusir gadis yang sudah menyelamatkan nyawanya. Lebih tepatnya menggagalkan aksi bunuh dirinya.

"Selama dia nggak bikin kekacauan, It's okay, lah."

"Terserah, Bang. Kalau itu mau lo, bukan urusan gue."

"Bagusnya kita kasih nama siapa, ya. Lo, ada rekomendasi yang bagus nggak?" Jerrel sedang memikirkan nama yang tepat untuk gadis itu.

"Bodo amat gue nggak perduli!" Daripada sibuk mencari nama untuk gadis itu, Mahen lebih memilih untuk membaca koleksi novel fantasy miliknya.

Mata Jerrel tertuju pada novel yang sedang dibaca Mahen. Ia membaca blurb yang terdapat di belakang novel itu. "Bakal cocok itu, Hen."

"Maksudnya, Claudia? Nggak bisa, pokoknya jangan Claudia. Dia itu tokoh utama dinovel ini, Bang!"

"Ya, terus masalahnya dimana? Cuman nama doang ribet banget, sih!"

"Dari semua novel yang pernah gue baca, Claudia adalah tokoh favorit gue. Dia itu sempurna banget, nggak cocok dijadiin nama buat cewek nggak jelas asal-usulnya itu," sanggah Mahen.

"Kalau gitu gue nggak butuh persetujuan dari, lo. Mulai sekarang cewek itu kita panggil Claudia." Jerrel menunjuk gadis itu, yang ditunjuk hanya diam memperhatikan perdebatan antara Jerrel dan Mahen.

Mahen sudah lelah berdebat dengan kakaknya. Ia hanya bisa menerima apa yang dikatakan Jerrel. Kemudian pergi menuju kamar, tanpa bicara apapun pada kakaknya.

🦋🦋🦋

Semenjak hubungannya dengan Jerrel berakhir, Vania tidak bisa fokus dengan pemotretan. Pasti ada saja hal yang membuatnya teringat pada Jerrel. Meski kini ia sudah menjadi tunangan Tio, tidak bisa dipungkiri bahwa Vania masih merindukan sosok Jerrel dalam hidupnya.

Seperti saat ini, Vania sedang mengenang kenangan indahnya bersama Jerrel di taman yang biasa mereka kunjungi. Duduk di bangku taman dan melihat indahnya bunga-bunga bermekaran. Semula ia tersenyum namun, tiba-tiba air mata jatuh membasahi pipinya.

Mungkin orang lain akan berpikir, hanya Jerrel yang tersakiti. Tapi, sebenarnya Vania juga sama. Ada hal yang belum sempat Vania sampaikan pada Jerrel, alasan kenapa ia bisa bertunangan dengan Tio. Vania sadar, bahwa ia sudah tidak berhak untuk menemuinya lagi. Jika, diberi kesempatan ia ingin menjelaskan semuanya pada Jerrel.

Entah apakah Vania sedang berhalusinasi atau itu memang Jerrel. Ia melihat Jerrel sedang berjalan menyusuri taman dengan seorang gadis.
Jerrel terlihat sedikit canggung, dibanding gadis itu-- tidak segan-segan untuk menggandeng lengan Jerrel. Pandangan Vania tidak bisa lepas dari mereka berdua.

Jerrel sengaja membawa Claudia ke taman, agar ia bisa mengetahui siapa sebenarnya Claudia. Ia juga ingin memastikan bahwa apa yang dilihatnya, malam tadi adalah sebuah kebenaran bukan sekedar halusinasi belaka.

Claudia menggandeng lengan Jerrel, membawanya ke tempat pertama kali mereka bertemu. "Kau ingat tempat ini? Kau mengejarku dan memasukkan aku kedalam botol bekas."

"Elo, ngomong apaan, sih! Gue minta penjelasan soal tadi malam. Kok, malah ngomong hal yang nggak jelas." Tentu saja butuh waktu lama untuk Jerrel bisa mencerna perkataan Claudia.

"Aku sedang mencoba untuk menjelaskannya padamu tapi, kamu malah menuduhku berbicara hal yang tidak jelas! Kalau terus begitu aku tidak mau menjelaskan apapun padamu." Claudia bergegas meninggalkan Jerrel yang mematung di tempat. Sebab dari tadi Claudia tidak berbicara apa-apa padanya, sekalinya berbicara Claudia malah mengomel.

*To be Continued.....

Chapter ini drama banget, nulis kemarin sore tiba-tiba hujan gede. Berakhir nggak selesai, gara2 beresin rumah yang kebanjiran🤧
Untungnya tadi malam berhasil selesain😌🔥🦋
Terima kasih sudah mampir🤝💚💚

Beautiful Butterfly | Jung JaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang