Sebetulnya, banyak pertanyaan yang datang dalam pikiran Alea. Ia bisa saja berusaha menjawab sendiri atau menelusuri jawabannya. Jika pertanyaan itu tak terjawab, maka akan terlewatkan.
Wajah Alea yang di liputi rasa penasaran terus memandang Gavin, menunggu jawaban darinya. Gavin melipat kedua tangan, ia berpikir sejenak dan mencoba mengingat. Bola matanya beredar.
“Eemm” Gavin menaikkan pundaknya dan menggeleng. Ada dua kemungkinan ia enggan untuk menjawab. Dia sungguh tidak tau apapun atau dia tidak punya cukup kesaksian untuk menjawab pertanyaan Alea.
“Ada kafe di dekat sini. Gimana kalo kita lanjut ngobrol di sana aja! Gue lapar nih!” ajak Gavin kemudian.
“Okey!” Alea mengangguk pelan.
Tak butuh waktu lama untuk tiba di kafe yang di maksud oleh Gavin. Kafe ini cukup dekat dengan kota dan termasuk salah satu kafe favorit banyak pengunjung. Desain interior dari kafe ini agak sedikit berbeda, ditambah lokasinya yang strategis. Kafe ini mampu dengan apik memadukan unsur kejadulan kolonial dengan sentuhan modern kontemporer. Cukup unik atau malah amburadul melihat panel LCD modern yang dipasang di dinding tembok bergaya art deco itu.
“Gue masih nunggu jawaban dari Lo, soal hubungan gue sama Silva!” ujar Alea yang kembali membicarakan hal yang sama.
Padahal Gavin baru saja hendak duduk. Namun Alea lagi-lagi melontarkan perkataan itu. Semula, Gavin bersandar di kursi. Namun kemudian ia mendekatkan wajahnya di hadapan Alea.
“Dari yang gue perhatiin, hubungan Lo sama Silva nggak begitu baik dan juga buruk. Kalian sering berselisih pendapat dalam memutuskan berbagai perihal. Karena Lo lebih di hargai sama anggota yang lain, mungkin Silva merasa cemburu. Tapi kadang, kalian tampak saling berbincang dengan akur” ujar Gavin lalu kembali bersandar di kursi.
Akhirnya Alea mendapatkan jawaban, namun menjadi lelucon sendiri baginya. Ia tertawa menanggapi perkataan Gavin.
“Yah, gue rasa Silva hanya memperlihatkan sebagian rasa bencinya ke gue”Meski tak menanggapi, raut datar yang terlukis pada wajah Gavin cukup untuk menandakan, jika ia juga beranggapan yang serupa dengan Alea.
“Vin!” seseorang memanggil namanya dari kejauhan. Melenyapkan suasana hening sejenak.
“Oh!” Gavin melambai dan mengiyaratkan orang itu untuk datang menghampirinya.
Alea melihat gerak-gerik Gavin lalu menoleh ke belakang. Sosok pria remaja berbaju kaus dan kemeja flanel hitam sebagai luaran, berjalan mendekat. Sontak, ia kembali memalingkan wajahnya saat mengetahui jika pria itu adalah Ethan. Ekspresi Alea berubah menjadi kusut kasau. Ia tampak tidak suka dengan keberadaan Ethan.
Selain cuek dan terkenal dengan sikap dinginnya, Ethan juga sedikit menyebalkan. Dari sisi pemikiran Alea, Ethan adalah cowok yang suka milih-milih perempuan yang bisa berinteraksi dengannya. Jika ia tidak suka, maka ia akan mengabaikan omongan orang tersebut, dan Alea adalah salah satunya.
Sikap Ethan itu, sungguh menjijikkan dan membuat Alea jengkel. Setiap kali ia ingin bicara, pasti Ethan akan pergi begitu saja.
“Udah lama di sini?” tanya Ethan sembari menatap Gavin.
Gavin menggelengkan kepala, lalu menarik kursi di sebelahnya. “Sini duduk!”
Alea tak menyangka jika Gavin akan mengajak Ethan untuk duduk satu meja dengan mereka. Dalam benak, ia terus mengeluh. Ia mencoba sedikit mengangkat wajahnya, memandang ke arah Ethan. Pada saat yang sama, kedua mata Ethan yang mengintimidasi juga sedang menatap diriya. Pandangan mereka bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Messages
Teen FictionMisteri/Thriller, fiksi remaja, sekolah, komedi, romantis #Nancy #Jake #Hyunjin #Somi #Mingyu #Heachan Alea, gadis cantik berumur tujuh belas tahun. Dia bersekolah di salah satu SMA elit yang menyimpan rahasia dan belum terungkap. Alea di nyatakan h...