24

0 4 0
                                    

Tak berselang lama, pak Andre datang. Melangkah bak tentara yang hendak maju ke medan perang, dengan satu rotan kayu di tangan kanannya.

   Siswa kelas sebelah yang tadinya mengintip lewat jendela, kembali duduk di kursinya saat melihat kedatangan pak Andre. Suasana runyam yang bukan Alang kepalang seketika mereda.

  “Pak, itu Ethan sama Beryl yang tadi berantam!” tunjuk Bella.

  “Kalian ini sudah kelas dua belas, malah makin susah di atur! Remaja sekarang suka buat onar sana-sini!” ketus pak Andre dengan suara lantangnya.

  “Namanya juga anak muda, Pak!” sahut Chan.

  “Diam saja kamu, Chan! Jangan sampai rotan ini patah lebih dulu menyentuh tulang rusukmu ketimbang mereka berdua!” tegur pak Andre dengan begitu serius.

  Chan yang terintimidasi, menelan air liurnya serta menutup rapat mulutnya.

“Ethan, Beryl, ikut bapak ke ruang BK sekarang!” titah pak Andre.

  Helaan nafas yang panjang sekaligus  menggerutu. Beryl lagi-lagi harus masuk ke ruang BK, akibat dari tingkah lakunya. Tapi Ethan juga harus menerima konsekuensi.

  Semua bermula karena hubungan keduanya yang buruk dan jauh dari kata akur. Ketika Beryl bangun dan berjalan mengikuti pak Andre, ia melabrak Ethan saat berhadapan dengannya. Kejadian masa lalu yang buruk di antara keduanya menjadi awal problematika.

  Jam pelajaran kedua kembali berlangsung dengan kondusif. Mr. Johan meminta maaf atas keterlambatannya. Beliau selalu masuk kelas tepat waktu, tapi tidak pada hari ini karena ada urusan yang mendadak.

Pelajaran matematika di mulai dengan membuka materi baru. Berbagai rumus dan cara pengerjaan beliau jelaskan secara rinci di papan tulis. Semua siswa fokus memperhatikan ke depan, kecuali Chan.

  Kebiasaannya mendengkur di atas meja sudah tak bisa di hilangkan. Ia selalu mengacuhkan pelajaran dan tidur di kelas. Alfa yang duduk di belakang Chan, menendang kursinya sampai membuatnya terbangun. Chan menoleh ke belakang dengan mata sayu dan raut kesal.

  “Al, jangan ganggu gue, dong!” ketus Chan dengan nada tinggi.

  Suaranya cukup keras, ia bahkan terus berceloteh seolah mengutarakan semua kekesalannya pada Alfa. Siswa yang lain merasa terganggu. Bella menutup kupingnya lantaran Chan sangat berisik.

    Sementara Alfa hanya membisu, menyimak Chan yang tak henti menceramahinya. Ia baru sadar jika Mr. Johan sedang menilik Chan dari kejauhan. Segera Alfa memberi kode pada Chan melalui matanya.

  “Al, Lo sumpah dah, kesel banget gue duduk dekat Lo!” keluh Chan yang masih berlanjut.

    Alfa terus memberi isyarat pada Chan dengan menggerakkan bola mata.

   “Apa sih, Al?” Ketus Chan yang belum juga mengerti.

  “Chan!” panggil Mr. Johan.

  Suara panggilan itu, seketika membuat Chan membelalak kaget. Ia memalingkan wajahnya ke depan.

  “Chan, silahkan kerjain soal di papan! Dari tadi kamu ribut dan asik bicara!” titah Mr. Johan.

  Akhirnya Chan terpaksa maju ke depan. Ia pun berjalan dengan loyo lalu menoleh hanya untuk melirik Alfa dengan sinis. Sedangkan Alfa malah memasang muka meme seakan memperolok temannya itu.

   Sampainya di depan, Chan ternganga saat melihat soal yang di berikan. Soal semacam itu, mustahil bagi Chan bisa menemukan jawabannya bahkan siswa berprestasi di kelas pun mungkin juga begitu. Waktu terus berjalan. Tujuh menit berlalu begitu saja.

  “Ada yang mau gantiin Chan ngerjain soal di papan?” tanya Mr. Johan yang mulai jenuh.

  Oliv meletakkan pulpennya di atas meja. Ia berhasil menemukan jawaban dari soal itu. Ia bersiap hendak mengangkat tangan. Tapi Alea malah lebih dulu mengajukan dirinya. Padahal sedari tadi, ia tampak begitu santai tanpa bersusah payah mencari jawaban ataupun memikirkan cara pengerjaannya, seperti yang di lakukan siswa lain.

  “Oke Alea, silahkan maju ke depan!” ujar Mr. Johan.

  “Wih, siswa paling brilian di kelas mulai menunjukkan dirinya lagi! Gawat nih, Oliv sama Ethan bakalan ketar-ketir!” gurau Fares di susul gelak tawa teman-temannya.

  “Udah-udah, Oliv mungkin akan tersinggung!” ujar siswa yang lain.

  Kala itu, Ethan sedang tidak berada di kelas, melainkan di ruang BK. Jadi hanya Oliv yang menerima lelocun itu. Raut wajahnya seperti menahan amarah dan menyeringai.

  Tangan Alea mulai bergerak menulis angka-angka yang muncul di dalam kepalanya. Soal matematika itu terbilang cukup rumit dan pengerjaannya sangat panjang, dengan mengaplikasikan rumus yang tepat, tangan Alea terus menulis tanpa henti.

  Alhasil, papan tulis terisi penuh dan ia berhasil memecahkan soal dari Mr. Johan yang merupakan guru maupun dosen ternama yang berhasil meraih gelar magister pendidikan matematika di universitas terbaik Australia.

  Mr. Johan terdiam sejenak ketika melihat ke papan tulis. “Good job, Alea! Saya sengaja memberi soal yang sangat sulit, tapi kamu bisa menyelesaikan!”

  Alea hanya tersenyum tipis lalu kembali ke tempat duduknya.

  “Dia otaknya mah encer!” keluh Chan.

  Bel istirahat berdering. Alea bareng ketiga temannya, Bella, Oliv, dan Rissa saling merangkul maupun bergandengan tangan menuju kantin.

  “Gusy, gue mau ke kamar mandi dulu. Nanti gue nyusul ya!” ujar Alea.

  “Oke, jangan lama!” sahut Rissa.

     Saat Alea masuk ke kamar mandi. Terlihat Silva sedang berbicara pada Diana. Di sela-sela pembicaraan yang cukup serius, Silva sempat mendorong Diana bahkan menyelak kerah baju gadis itu. Seketika Alea tertegun. Cermin yang tak jauh dari hadapannya, memperlihatkan sebuah goresan luka pada bagian bahu Diana sebelah kiri.

  “Goresannya masih belum hilang. Gue yakin Lo sebenarnya takut” ujar Silva.

  “Seharusnya Lo bertahan menjadi anggota Heartless. Tapi Lo malah melarikan diri! Lo lupa sama misinya. Keadaan makin rumit kayak kejadian tadi pagi, Beryl sama Ethan berantam lagi. Demi Leon, apa semudah itu, Lo lupain orang yang udah sayang sama Lo!” bisik Silva dengan begitu sentimental.

      Bukan sekedar goresan luka, melainkan sebuah lambang. Bentuknya seperti hati yang tersilang. Mungkin bagi sebagian orang, tak asing dengan lambang itu. Tak salah lagi, itu adalah lambang Heartless.

  Alea menyaksikan situasi itu lalu berjalan menuju wastafel melewati keduanya. Silva tertegun, lantas ia membisikkan sesuatu di telinga Diana.

  “Ya udah, sana pergi!” tukasnya kemudian pada Diana sambil mendorong gadis itu.

  Air mengalir dari kran yang terbuka. Alea menampung sedikit air di tangannya lalu membasuh wajahnya terutama di bagian mata. Ia merasa cukup lelah hingga membuat matanya menjadi sayu dan mengantuk. Ia melihat ke arah cermin yang ada di depannya.

   Dari cermin itu, tampak Silva sedang memperhatikannya di belakang dan Grizelle yang baru saja keluar dari toilet kemudian berjalan menuju wastafel. Lantas gadis itu berdiri tepat di samping Alea.

  Grizelle membuka kran air dan cuci tangan. Bunyi aliran air yang deras, meminimalisir suasana senyap kala itu.

  “Apa ingatan Lo udah kembali seutuhnya?" tanya gadis dengan rambut terurai itu.

   "Akan ada banyak hal yang buat Lo kecewa dan sedih. Apalagi saat Lo tau sisi kelam sekolah elit ini!” lanjut Grizelle.

The MessagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang