22

1 4 0
                                    

Belum sempat bibir Alea mengucap, suasana kembali gelap gulita. Kedua anak kecil itu seakan sirna dan menghilang begitu saja. Memori ingatan memang sewaktu-waktu dapat musnah, terkecuali kenangan yang tak ingin di lupakan.

   Entah mengapa, perasaan Alea menjadi begitu gundah. Perkataan kedua anak kecil yang masih lugu itu terus terbuai dalam benaknya, bahkan wajah mereka yang lusuh dan layu seakan menggambarkan penderitaan yang sedang mereka alami.

  Sementara itu, Ethan sedang dalam perjalanan menuju kembali ke UKS untuk memeriksa kondisi Alea. Dari kejauhan ia melihat seseorang baru saja keluar dari ruang UKS dan pergi dengan tergesa-gesa. Ia memicingkan matanya dan berjalan perlahan, jika tidak salah orang itu adalah Oliv.

  Siswa yang tergabung dalam organisasi PMR seperti Oliv, memang wajar sering berada di UKS. Sudah sepatutnya begitu, mungkin ia juga ingin menemani Alea yang sendirian di dalam. Itulah yang di pikirkan Ethan. Ia pun segera masuk ke ruang UKS dan menghampiri Alea yang masih terbaring dan tak sadarkan diri. Tiba-tiba air menetes dari mata gadis itu yang tertutup rapat. Lelehan air mata mengalir di pipinya.

  Ethan memang tidak tau apa yang sedang di rasakan oleh Alea. Tapi ia mencoba untuk memahaminya dan memegang tangan gadis itu. Hatinya berdesir ketika melihat bulu mata Alea yang lentik bergerak dan perlahan mengerjap. Matanya tampak mulai terbuka.

  “Alea!” panggil Ethan dengan lirih. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Alea dengan erat.

  Lantas Alea menepis tangan Ethan lalu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Ethan menjadi sedikit canggung dan langsung memasukkan tangannya ke dalam saku.

  Alea yang baru siuman, melirik ke setiap sudut ruangan. Cahaya lampu, langit-langit bewarna putih, kain tirai biru muda, dan pendingin ruangan.Tak jauh dari pandangannya, Ethan sedang berdiri  menatapnya dengan wajah yang sendu.

Alea menyadari jika ia baru saja menangis. Ia segera mengusap pipinya yang basah lalu mencoba untuk bangkit.

  “Sudahlah, istirahat dulu. Jangan memikirkan apapun dan istirahat dengan tenang!”

“Memangnya gue kenapa?”

“Tadi Lo pingsan” jawab Ethan singkat. “Gue ambilin obat dulu” lanjutnya.

  “Gak perlu! Gue mau masuk kelas aja!” sahut Alea dengan agak ketus.

  Ubun-ubun kepalanya terasa semakin nyeri saat ia berusaha untuk bangun. Ia terus memaksakan dirinya sendiri.

  “Aakhh!” ketusnya sembari memukuli kepala dengan tangannya.

  “Makanya dengerin gue! Nih minum obatnya!”

  Ethan memberikan beberapa obat untuk Alea. Ia juga mengambil segelas air putih di atas meja yang sudah ia siapkan untuk gadis itu.

Ia menunjukkan rasa kepeduliannya pada Alea, meski dengan raut datar dan tetap mempertahankan gengsinya. Sikapnya yang mendadak berubah membuat Alea kebingungan. Sambil  meneguk air putih, Alea menatap Ethan dan mengerutkan dahi.

  “Eem, apa ada suatu masalah yang lagi Lo pikirin? Waktu Lo belum sadar, gue sempat merhatiin, Lo ngeluarin air mata. Emangnya apa yang buat Lo begitu sedih?”

  “Ngomong aja terbelit-belit! Gimana gue mau jawabnya” sahut Alea sembari menarik selimut dan kembali berbaring. Ia tampak tak ingin menjawab pertanyaan dari Ethan.

  Beberapa menit berlalu, Ethan masih saja berdiri di dekat dinding dengan posisi yang sama, tak lain melipat tangan di depan dada. Ia tak jenuh memandang Alea, bahkan ia nyaris tak berkedip dan tak berpindah satu centimeter pun dari sana.

  “Mending Lo pergi deh!” ketus Alea yang mulai muak dengan kehadiran lelaki itu.

  Ethan melihat jam tangannya. “Ya udah, gue mau masuk kelas. Lo istirahat aja di sini!”

  Setelah mengatakan hal itu, bukannya pergi, Ethan malah berdiri mematung. Lalu ia memegang lehernya.

  “Lo udah merasa agak baikan?” tanya Ethan dengan sungkan.

  “Iya, udah mulai mendingan” sahut Alea. “Ya udah, sana pergi!”

  Ethan mengangguk seraya menunjuk ke arah pintu seolah mengisyaratkan ia akan segera pergi.

  Di dalam ruangan, Alea termenung sejenak. Pikirannya menjadi tak karuan. Wajah kedua anak kecil dalam mimpinya kembali terngiang dalam ingatan. Bukan hanya sekadar mimpi tapi sebuah nostalgia, serpihan memori atau ingatan mengenai perjumpaan dirinya dengan peristiwa masa lalu.

Ia menghela nafas dan bangun sembari mengangkat poni rambutnya hingga memperlihatkan bekas luka. Kini kepalanya terasa sedikit lebih ringan. Alea berusaha beranjak dan berdiri, kemudian berjalan perlahan.

  Sampai di lantai dua, Alea yang pucat pasi berjalan menuju kelas dengan kliyengan. Miss Asoka tampak baru saja keluar kelas. Ternyata sudah waktunya pergantian jam pelajaran. Ia pun bergegas menuju kelas paling ujung, berjalan searah dengan Alea. Sehingga mereka tidak berpapasan satu sama lain.

  Awal langkah Alea memasuki ruangan kelas. Suasana ribut dan gaduh. Senda tawa yang begitu girang atau obrolan kecil yang menyenangkan. Teman-teman sekelas memang sering melakukan hal itu di waktu senggang.

   Seperti layaknya Bella, Oliv, Rissa, Gavin, Alfa, dan Chan. Mereka terkadang bergerombol, kemudian saling bercengkrama dan bersenda gurau. Namun saat melihat Alea di depan pintu kelas, seketika mereka bergeming. Semua mata tertuju ke arahnya.

    “Alea?” Bella beranjak dari kursinya dan langsung menghampiri temannya itu. “Gimana kondisi Lo? Udah baik-baik aja?”

  Alea hanya mengangguk. Oliv dan Rissa ikut menghampirinya. Mereka memperhatikan wajah Alea dengan begitu serius.

  “Tapi Lo masih pucat banget” ujar Oliv.

  “Ethan mana?” tanya Bella.

  Alea mengerutkan dahinya. Ia melirik ke tempat duduk Ethan dan tak ada dia di sana. Padahal dia yang mengatakannya sendiri akan masuk kelas.

  “Si Ethan gimana sih! Katanya mau jagain Alea!” celetuk Chan.

The MessagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang