20

0 3 0
                                    

Mama sudah menunggu Alea di dalam mobil. Tak lama, Alea menyusul dan duduk bersebelahan dengan sang Mama.

  “Ayo, Ma! Kita berangkat!” ujar Alea sembari memasang sabuk pengamannya.

  Seperti di pagi Senin biasanya, terjadi kemacetan di sepanjang jalan. Bunyi klakson kendaraan terdengar cukup riuh. Semua orang sedang terburu-buru dan emosi, terjebak macet yang cukup panjang. Seiring bertambahnya laju detak waktu, langit pun semakin cerah. Waktu terus berjalan.

  “Ma, tidak bisa lebih cepat?” Alea mulai cemas setelah melihat jam tangannya menunjukkan pukul 07.30 sementara jarak ke sekolah masih jauh.

    “Pasti Mama bakal terlambat ke kantor. Seharusnya aku pergi naik taksi saja tadi. Tapi Mama bersikeras untuk mengantarkanku!” keluh Alea.

  “Kamu lagi sakit. Jadi Mama yang harus mengantarkan anak kesayangan Mama ke sekolah!”

  Alea sedikit di buat ternganga dengan jawaban dari sang Mama yang sangat berlebihan menurutnya. Meskipun begitu ia tetap berusaha tersenyum.

  Tubuh Alea masih terasa remuk dan ia terlihat begitu lesu. Ia menyandarkan kepalanya di kursi sambil memandang ke arah jendela.

  “Ma, ada yang ingin aku tanyakan!” ujar Alea lalu menoleh ke arah Mama.

  Saking fokusnya melihat ke depan, Mama tak menanggapi Alea. Wajar jika ia sedang mengemudi mobil di tengah kemacetan kota. Mungkin juga karena suara Alea kekecilan.

“Tadi malam aku sempat membuka Photobook yang Mama berikan padaku. Tapi aku benar-benar tak bisa mengingat kejadian apapun yang sudah ku lewatkan. Bahkan tentang keluargaku sendiri. Aku tak pernah berpikir punya saudara kembar! Dan Papa ..., dimana mereka sekarang?”

  Mama mendadak mengerem laju mobil yang hampir saja menabrak mobil lain di depannya. Seakan ia langsung kehilangan fokus dan konsentrasi. Tatapannya tertuju pada Alea sejenak dan kembali memandang ke jalan sambil menancap gas perlahan.

  “Mama harap kamu tidak terluka jika Mama harus mengatakan hal ini”

   “Beberapa tahun yang lalu, saat kamu masih kecil, Mama dan Papa memutuskan untuk bercerai. Papa memaksa membawa saudara kembarmu ikut tinggal bersamanya. Setelah itu, Mama tak pernah lagi bertemu dengan keduanya. Mama sangat rindu dengan Freya. Entah kemana Papamu membawanya pergi” mata Mama mulai berkaca-kaca.

  Alea menyerngit. “Lalu kenapa Mama membiarkannya ikut bersama Papa?”

  “Mama sudah berusaha menahan Papamu!” sahutnya sembari menghela nafas. “Mengingat kejadian itu, membuat mama ingin menangis”

  Alea menatap Mamanya. Ia tak bertanya lebih jauh karena takut Mamanya semakin sedih. Mobil berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Dari jendela terlihat beberapa siswa berseragam putih abu-abu tampak rusuh di depan pintu pagar.

   Alea tergesa-gesa turun dari mobil setelah menyalami sang Mama. Ia setengah berlari dan menerobos kerumunan siswa yang riuh itu. Ternyata bagi siswa yang terlambat tidak di izinkan masuk ke dalam lingkungan sekolah sampai upacara selesai dan tentunya akan ada hukuman tambahan.

  Seorang satpam yang sedang bertugas dengan mata yang nyaris tidak berkedip, berkumis tipis dan seakan tak membiarkan bibirnya tersenyum, membuat siapa saja takut padanya. Kecuali, bagi para siswa yang nakal seperti mereka yang sering datang terlambat dan terus mengoceh untuk di bukakan pintu pagar.

  “Pak, kapan kami bisa masuk! Kami sudah lama menunggu di sini!” keluh salah seorang siswa pada satpam yang sedang bertugas.

  Satpam itu tak menjawab pertanyaan darinya. Ia terdiam sejenak, lalu tak sampai lima menit kemudian, ia membuka pintu pagar.

  “Hampir setiap hari bapak lihat mukamu saja yang terlambat, sama temanmu yang berambut pirang acak-acakan itu! Kemana dia? Nggak masuk sekolah lagi? Dasar anak nakal itu!” ketus satpam pada siswa yang bertanya tadi.

  “Ah, Beryl? Mungkin dia balapan liar lagi! Aku sudah tak mau ikut-ikutan!” sahut siswa itu sembari mengibas rambutnya.

  “Kalian sama saja! Tuh, baju benerin dulu! Bapak gak akan biarin kamu masuk kalo bajunya belum rapi!” tukas pak satpam.

  Di halaman sekolah, para siswa yang terlambat, berkumpul tepat di depan bendera merah putih yang berkibar. Pak Zian datang dengan peluit yang di gantung di lehernya.

Guru muda yang memegang bidang studi olahraga itu, seringkali menghukum para siswa yang tidak disiplin dengan tegas dan tanpa belas kasihan. Bunyi peluit menjadi pertanda awal hukuman di mulai. Para siswa berdiri sebelah kaki di bawah sinar matahari yang mulai menampakkan keperkasaannya.

The MessagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang