“Banyak hal yang terlintas di kepalaku, tapi aku tidak mengingatnya dengan jelas. Setiap kali memori ingatan muncul, aku merasa kesakitan. Mungkin karena banyak kejadian buruk yang telah terjadi dalam hidupku. Jujur, aku hanya ingin mengenang masa-masa indah dan bahagia, jadi apa aku masih perlu berusaha mengembalikan ingatanku yang hilang?”
Dokter Tiffany menatap teduh ke arah Alea dengan sedikit mengerutkan dahi. Ia turut prihatin dengan kondisi yang di alami gadis itu.
Setelah beberapa menit berlalu, sesi konsultasi berakhir. Ucapan terimakasih dari Alea kepada dokter Tiffany menjadi penutup pembicaraan di antara mereka.
Ia pun keluar dari ruangan itu. Berjalan tanpa beban dengan senyuman kecil yang bermakna. Memang sulit untuk terbang bebas seperti elang dan berlari kencang seperti kijang. Tapi inilah hidup, terkadang kita hanya butuh sekadar wejangan sebagai gambaran dan petunjuk untuk langkah selanjutnya. Sebagian petunjuk itu telah Alea dapatkan dari dokter Tiffany.
•••••
Malam hari yang kian merangkak naik. Seiring detak jantung berdegup, terselip kenangan yang sudah berceceran di mana-mana. Di sudut-sudut kota yang ditanami gedung-gedung angkuh, di luapan air sungai yang kelam, di taman-taman penuh embun bergelantungan, di lampu jalan yang remang-remang, atau panti asuhan yang teduh itu. Semua bagaikan puzzle-puzzle berserakan atau pita film yang terkoyak menjadi rekaman dongeng masa lalu yang kembali terulang. Ya, terulang mundur.Mata pensil mekanik patah, bukan karena rapuh melainkan Alea sengaja menekannya terlalu kuat. Diri Alea sedang di kuasai oleh amarah yang membara. Sedari tadi, ia tak bisa fokus belajar. Tiba-tiba tangannya tergerak membuat coret-coretan di selembar kertas.
Ia pun mengangkat secarik kertas itu. Seketika ia tergemap. Awalnya hanya sebuah coretan, tapi malah menjadi sebuah hasil karya yang suram dan kelam, seakan memiliki makna tersendiri. Arsiran itu terlihat menyerupai seseorang yang wajahnya tertutup dengan topi dan mengenakan jaket panjang selutut.
Sontak, Alea meremas kertas itu lalu membuangnya ke tempat sampah. Ia memukuli kepalanya dengan kedua tangan yang di kepal erat. Ia kesal lantaran hati, pikiran, dan jiwanya terus di liputi emosional dan muncul berbagai persoalan juga pertanyaan. Helaan nafas yang panjang, ia berusaha meringankan isi kepalanya dan mengembalikan konsentrasi belajar.
Di dalam laci meja, Alea meraba-raba, mencari buku catatannya. Setelah membongkar seisi laci, ia melihat ada sebuah buku diary dengan sampul bewarna pink yang bercorak feminim bertuliskan Alea Chysara di sudut kanan atas. Ia tak pernah berpikir memiliki buku diary sebelumnya. Apalagi sampulnya bewarna pink. Baginya, itu sesuatu yang norak dan membuang-buang waktu saja.
Ia pun mengeluarkan buku itu dari laci dan membuka isinya. Pada lembaran pertama, penuh dengan tulisan tangan yang sangat rapi, cenderung kecil, dan beraturan.
Ia membandingkan dengan tulisan tangannya yang tadi ditulis pada buku lain. Suatu perbandingan yang kontras. Bagaimana bisa, tulisan tangan seseorang ikut berubah ketika ingatannya menghilang?
Begitu halaman selanjutnya di buka, Alea menemukan foto polaroid seorang balita perempuan yang sedang duduk manis dan tersenyum menghadap kamera.
“Alea!” Panggil Mama yang tiba-tiba membuka pintu.
Dengan sigap, Alea menaruh kembali foto polaroid itu ke dalam buku diary lalu segera menutupnya.
“Iya Ma!” sahutnya kemudian. Ia bangun dari duduk dan menghadap ke arah mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Messages
Teen FictionMisteri/Thriller, fiksi remaja, sekolah, komedi, romantis #Nancy #Jake #Hyunjin #Somi #Mingyu #Heachan Alea, gadis cantik berumur tujuh belas tahun. Dia bersekolah di salah satu SMA elit yang menyimpan rahasia dan belum terungkap. Alea di nyatakan h...