4.Panik

1.7K 115 0
                                    

Beberapa hari berlalu,ah tidak maksudnya seminggu setelah malam dimana Nendra pergi bersama rekan dan sahabatnya pergi ke pasar malam itu.

Malam ini-dikamarnya,Nendra hanya bermalas-malasan saja sampai ada salah satu Bibi maid memaksanya untuk turun makan malam.Padahal sore tadi ia sudah makan,dan yah masih kenyang sebenarnya.Akan tetapi,anak baik harus patuh dan taat pada orang yang kebih tua dan akhirnya terpaksa turun dari ranjang empuknya menuju dapur.

Saat tiba diambang pintu ruang makan yang termasuk dapur juga ia mematung,mendapati seluruh keluarganya telah mengisi bangku meja makan yang biasanya hanya di isi olehnya seorang.Tanpa di sadari,ia mengulas sebuah senyum tipis merasa bahagia sedikiiiit karena akhirnya mereka dapat berkumpul kembali setelah sekian lama tak berkumpul,kemudian Nendra duduk pada salah satu bangku di sana yang merupakan bangku yang selalu ia duduki saat berada diruangan bercorak kuno itu.

Mereka pun makan dengan santai sembari sesekali melempar canda dan tawa mereka,terkecuali Nendra yang hanya diam membisu.

"Adek Nendra bagaimana sekolahnya? Seru?" Tanya seorang pria tampan berumur yang merupakan Ayahnya.

"Biasa saja" Jawabnya ketus.

"Adek kenapa?" Tanya Ayah lagi.

"Tidak apa-apa" Jawabnya ketus lagi setelah itu menegus segelas air hingga tandas.

"Adek kenapa sih kok jadi ketus begitu? Apakah ada sesuatu?" Tanya seorang pria lainnya yang merupakan Kakak ke duanya-Juan.

"Sudah kubilang tidak apa-apa jadi jangan bertanya lagi" Sarkasnya kemudian bangkit hingga kursi yang ia duduki terdorong ke belakang.

Nendra yang baru sampai diambang pintu pun berbalik menghadap mereka berempat.

"Oh dan satu lagi" Ujarnya membuat atensi keempatnya tertuju padanya.

"Tanyakan hal itu pada diri kalian sendiri" Sambungnya kemudian pergi.

"Nendra" Panggil Juan,saat ingin bangkit dari duduknya.Pergelangan tangannya di tahan oleh sang Ayah dan menggeleng menandakan jangan,dan berujar.

"Biar nanti Ayah saja" Kemudian ia duduk dan melanjutkan makannya yang tertunda sesaat tadi.

Makan malam telah berlalu dua jam yang lalu,kini.Ayah berjalan menelusuri tangga menuju kamar anak bungsunya-Nendra,saat ingin mengetuk pintu kamar si bungsu.Ia dapat mendengar dengan jelas suara isakan dan rintihan dari dalam kamar sang empu,ia pun menempelkan salah satu telinganya pada pintu guna mendengar lebih jelas dan benar itu adalah suara dari Nendra.

Tanpa pikir panjang Ayah langsung membuka pintu kamar dengan cepat dan terkejut mendapati sang anak yang kini meringkuk dilantai ujung ranjang dengan tangan kanannya yang meremat dada bagian kirinya,dan itu sontak membuatnya kebingungan.

"Adek,Adek kenapa?" Tanya Ayah hati-hati sembari perlahan menghampiri.

"Pe-pergi" Lirih Nendra sembari mundur karena jarak Ayahnya dan dirinya semakin dekat.

"Tidak sebelum Adek jawab" Tolak Ayah.

"Hah hah hah hiks pergilah" Usir Nendra lirih dengan air mata yang mengalir.

"Tidak-"

"PERGIIIIIIIIIII!!!" Teriak Nendra membuat sang Ayah terkejut dan dua saudara sekaligus Bundanya datang menghampirinya.

"Pergi hiks PERGI!!!" Teriak Nendra sembari mundur sampai tubuhnya bertabrakan dengan rak buku dibelakangnya.

"Sini Ayah bantu Dek,jangan begini" Ujar Ayah.

"Apa,bantu a-apa?" Tanya Nendra sarkas.

Saat sang Ayah baru saja ingin menjawab,tangan kiri Nendra dengan cepat mengambil beberapa buku yang berada pada rak dan melemparkannya kearah sang Ayah.

"PERGI! Hiks,URUS SAJA KETAS-KERTASMU ITU!!!" Teriak Nendra keras membuat Ayah tertegun termasuk kedua Kakak dan Bundanya yang berada diambang pintu sedari tadi sedangkan ia semakin meremat dada kirinya yang semakin terasa sakit membuat piyama yang ia pakai kusut.

"Sakit hiks sakit" Lirih Nendra yang tak dapat di dengar oleh siapa pun,bahkan jika saja rak-rak buku dan benda disekitarnya hidup mereka pun tak dapat mendengarnya.

Mereka berempat dapat melihat dengan jelas,tangan yang tadi meremat dada kirinya sekarang melemas kemudian limbung ke lantai.Tubuh Nendra oleng hendak limbung ke lantai tetapi dengan cepat Ayah menahannya agar tak membentur ubin yang dingin,ia menepuk-nepuk pipi anak bungsunya yang kini telah tak sadarkan diri dengan kulit putih pucat dan sedingin mayat.

Panik? Tentu saja.

Bahkan kini Ayah mengguncang tubuh ringkih Nendra,sambil sesekali menepuk-nepuk pipi sang anak bungsunya itu

"Dek? NENDRA! Jangan seperti ini nak Ayah mohon,ADEK!"

Ayah berusaha menyadarkan Nendra yang masih setia memejamkan matanya yang indah,sang Bunda juga langsung menghampiri.

"Hendery siapkan mobil,RIGHT NOW!" Titah Ayah pada anak pertamanya yang langsung di laksanakan,kemudian ia bangkit dengan Nendra yang berada di dalam gendongan ala bridal stylenya.

''

Nendra mengerjabkan matanya,ia mendapati punggung tangan kirinya yang terinfus dan jempol tangan satunya di jepit suatu alat entah alat apa itu ia juga tidak tahu.Tangan kanannya meraba wajahnya kala merasa tak nyaman dengan selang yang menempel diwajah manisnya dengan lemah,merasa tak nyaman dengan itu.Maka ia tariklah alat itu hingga terlepas sepenuhnya,setelah itu ia mengamati ruangan yang khas berbau obat-obatan itu.

Ceklek

Suar pintu terbuka namun Nendra tak ingin melihatnya malah ia berusaha untuk mencabut infus yang menempel dengan apiknya dipunggung tangan kirinya.

"Astaga Dek jangan" Ujar seseorang sembari menahan tangannya untuk tidak mencabut infus tersebut,ia pun menoleh guna melihat siapa sosok itu dengan lemas.

Pandangannya masih sedikit buram,jadi ia sampai perlu menyipitkan matanya hingga ia bisa melihat dengan jelas siapa sosok yang sekarang berada dihadapannya tersebut.Itu Hendery-Kakak pertamanya,sosok itu tersenyum ke arahnya kemudian menekan tombol darurat.

"Adek tidak boleh begitu yah? Tuh nasal canulnya sudah terlepas,itu bantu Adek untuk bernapas dengan mudah.Biar tidak sesak napas lagi,jadi jangan di lepas yah" Ujar Hendery lembut sembari berjongkok guna menyamaratakan tingginya dan tinggi adiknya yang kini terkulai lemas diatas bangsal pesakitannya itu.

Tak lama seorang lelaki berjas putih datang diikuti juga dengan beberapa orang lainnya dibelakangnya,saat baru saja Hendery mengangkat kakinya hendak pergi keluar karena di suruh oleh dokter itu.Dengan cepat Nendra meraih pergelangan tangan kirinya membuat pergerakannya terhenti dan tubuhnya berbalik menghadap sang adik yang tampaknya memohon untuk ditemani,dan dokter pun mengizinkannya.

"Terima kasih" Ujar Hendery pada dokter dan beberapa perawat.

"Iya sama-sama" Ujar mereka serempak kemudian pergi.

Hendery pun menutup pintu kemudian kembali menghampiri adik bungsunya itu yang masih tampak lemah,kemudian ia mendudukkan dirinya pada kursi yang terletak pada sisi kiri Nendra.

"Adek" Panggilnya lembut,dan sang empu yang di panggil pun menoleh ke arahnya.

"Hem" Jawab Nendra.

"Kenapa di sembunyikan hem?" Tanya Hendery sembari memegang tangan sang adik yang terinfus itu lalu menaruhnya pada pipi mulusnya.

"Aku tidak menyembunyikannya,hanyakan saja kalian terlalu sibuk dan tak mau mendengarkannya" Jawab Nendra memalingkan wajah.

Hendery tahu Hendery sadar,bahwa dirinya selama ini hanyalah mementingkan bisnisnya di bandingkan dengan si bungsu yang lebih membutuhkan sosoknya selama ini.

Tbc~

Hai,maaf ngak nyambung.Otakku lagi mampet soalnya -_-

                                                     Tertanda :
                                Kamis,6 Januari 2022
                                                               08:30

Urus Saja Kertas-Kertas Mu Itu [HIATUS!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang