Dalam perjalanan Chacha sempat tertidur, karena posisinya yang duduk samping jendela otomatis ada angin sepoi-sepoi yang mengantukkan. Siswa-siswi 12 IPA 1 pun terlihat sangat menikmati suasana. Seperti sedang melakukan studytour, mereka menyetel musik sambil berjoget ria.
Tak lama kemudian suasana jalan berganti suram, walau hari siang bolong tapi rasanya seperti sore hari. Karena banyaknya pohon tinggi yang tumbuh menjalar ke atas sampai menutupi terangnya sinar matahari.
"Ehh bentar lagi kita sampai." Ucap Ayla yang terus mengawasi jalan didepan. Ia melihat Chacha masih pulas tertidur.
"Cha, bangun." Ayla menggoyak lengan Chacha. Membuatnya menggeliat lalu sedikit membuka matanya.
"Haa?"
"Kita udah mau sampai, ayok bangun Cha."
Chacha mengucek matanya.
"Nih Cha minum dulu." Ucap Sasta yang duduk persis dibelakang Chacha memberikan sebotol aqua.
"Thanks Sas." Segera ia teguk minuman itu. Menyegarkan tenggorokannya yang kering.
Chacha melihat sekitar, suasananya sunyi dan juga sedikit gelap. Musik yang disetel anak kelas pun telah dimatikan. Mereka semua terdiam, merasakan hawa dingin yang tak biasa.
"Jalan ke rumahnya aja udah kayak uji nyali." Celetuk Genta sambil mengusap bulu kuduknya yang merinding.
"Ini baru jalannya aja, belum nanti rumahnya." Tambah yang lain.
"Ehh rumornya disini banyak kejadian pembunuhan tau." Ucap Nadia yang sontak membuat semua bergidik ngeri.
"Udah deh Nad, jangan nambah-nambahin suasana. Jadi gak enak nih." Ucap Reyna yang memang penakut.
"Elah Na belum seberapa. Disini kalau malem malah banyak penampakan." Sahut Sasta.
Tak!
Tak!
Ayla menjitak kepala Sasta dan Nadia.
"Ditempat kayak gini, jangan ngomong yang enggak-enggak deh. Kesurupan mampus Lo."
"Etdah Ay siapa yang ngada-ngada. Ini tuh fakta!" Jelas Nadia. "Ya kan Sas?"
Sasta mengangguk beberapa kali. "Bener!"
"Ssssstt!! Diem! Chacha kenapa itu woy!!" Seruan Ardhan mengalihkan semua perhatian.
Sontak semua orang melihat ke bangku Chacha.
Mata Chacha terlihat menatap keluar jendela, tanpa berkedip sedikitpun. Dan wajahnya terlihat dingin. Tidak biasanya seorang Chacha seanteng itu.
Semua saling melempar tatap. Bingung dengan sikap Chacha.
"CHA?!" Ayla menepuk bahu Chacha.
Plak!
"KAGET BEGO!" Pekik Chacha menggeplak Ayla.
Bukannya marah, Ayla malah menghela napas lega, begitupun yang lain. Sikap Chacha tidak berubah, karna ciri khasnya adalah geplakan tangan yang mematikan.
Chacha memandang bingung teman sekelasnya yang mengerubungi dan memandangnya penuh tanya.
"Pada kenapa dah?"
"Nggak, Lo kenapa diem aja liat keluar jendela?"
"Oh itu tadi ada mba kunti yang kayang diatas pohon beringin." Jawab Chacha santai.
"AAAAAAAAAA!!" Teriak para siswi.
"EHHH CHA SERIUSAN?!"
"Boong dah tuh."
Chacha tertawa. "Yakali, kaga lah. Becanda."
"Minta digetok Lo Cha?"
"Untung sabar."
"Jantung aman?"
Chacha tidak lagi memperdulikan ocehan dari teman-temannya. Ia kembali melihat ke arah luar jendela.
Ia tadi sempat terbengong, karena ia merasa bahwa dirinya seperti mengenali jalan yang ia lewati. Walaupun ini baru pertama kali, tapi ia tidak merasa asing.
"Neng, bentar lagi mau sampai nih." Celetukan pak Sopir membuat semua orang langsung melihat ke kaca depan. Dari kejauhan sudah terlihat gerbangnya.
Semua bersiap dan tentu sudah tidak sabar untuk melihat secara dekat.
Hingga bus yang mereka tumpaki sampai digerbang yang memagari rumah itu. Gerbang yang sangat besar dan juga menjulang tinggi, karena sudah tak terawat, besi pagar itu sudah berkarat dan terihat usang, banyak tumbuhan yang merambat di gerbang. Walau begitu, masih bisa dibayangkan seberapa mewah gerbang itu pada masanya.
Karena gerbangnya terbuka lebar, bus itu langsung menerobos masuk ke dalam.
Setelah itu masih ada jalan, karena pekarangan rumah itu yang begitu besar, dari gerbang hingga ke rumah itu pun sampai terjeda beberapa meter.
Dikanan kiri jalan ada rumput yang menjulang cukup tinggi. Mungkin dulunya adalah sebuah taman. Karena dari semak-semak disana terlihat patung air mancur setinggi tiang.
Tak lama, bus itu pun terhenti.
"Nah, udah sampai." Ucap Pak sopir.
Semua anak kelas langsung bersorak senang. Sangat tidak sabar untuk turun dari bus. Pak sopir pun langsung membukakan pintu bus.
Satu-persatu dari mereka turun dari bus.
Semua orang memandang takjub rumah bercat putih bertingkat tinggi itu. Jauh dari ekspektasi mereka, rumah itu jauh lebih besar dari perkiraan mereka. Sungguh, rumah itu sangat besar dan berdiri kokoh. Seakan tidak goyah selama bertahun-tahun. Mereka yakin, rumah itu dibangun dengan sangat mahal hingga bangunan itu tidak ada yang rusak sampe bertahun-tahun.
Semua melongo hingga tanpa sadar mulut mereka sedikit terbuka. Saking terpesonanya dengan keindahan rumah mafia itu. Yah, kecuali dengan Chacha, ia kini sedang tidak baik-baik saja.
"Cha? Lo kenapa?"
"CHACHA!!!"
•••
Bersambung...
Sampai jumpa di next chapter! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
COLD EYES [On Going]
Ficção Adolescente"Gue, anak seorang mafia." ••• Namanya Reynand Galaxies. Si The Most Wanted Guy di SMA Garuda. Dia berandal sekolah, orang yang paling ditakuti dari segala penjuru sekolah. Wajah rupawannya bagai penyebar penyakit mematikan bagi kaum hawa. Hanya den...