16. Rumah Mafia

994 38 2
                                    

Baru satu kaki Chacha turun dari bus, ia sudah merasakan hawa yang tidak enak. Wajah Chacha yang menunduk melihat tanah perlahan mendongak, ia memandang rumah mafia itu.

Deg!

Jantungnya serasa mencelos.

Chacha terpaku memandang rumah itu, badannya tiba-tiba menegang. Wajah yang tadinya segar kini berubah drastis menjadi pucat pasi. Bibirnya bergetar, tenggorokannya terasa kering. Dengan susah payah ia menelan ludah.

Ia mengucek matanya dan berkedip beberapa kali, seakan tidak yakin dengan apa yang ia lihat.

Rumah mafia itu adalah mimpi buruk baginya. Dimana ia kehilangan ibu dan ayahnya dirumah ini, disatu malam beberapa tahun lalu. Tempat ia tinggal diwaktu kecil. Setelah sekian lama ia meninggalkan rumah ini, kini ia kembali menapakkan kakinya disana.

Benar kata Reynand. Harusnya ia tidak usah ikut. Hingga membuatnya berada ditempat ini, tempat yang harusnya ia hindari.

"Nggak, nggak mungkin." Gumam Chacha bergetar, badannya melemas seketika. Ia butuh sandaran.

"Cha? Lo kenapa?" tanya Ayla yang pertama menyadari perubahan sikap Chacha.

Bruk!

"CHACHA!!!"

Tubuh Chacha jatuh ketangan Ayla. Ia tidak pingsan, ia masih mampu membuka matanya. Hanya tubuhnya yang melemas hingga tak mampu menopang badannya.

"Cha? Lo gak pingsan kan?"

"Chacha kenapa?

"Cha? Sehat?"

"Minum dulu minum. WOI SIAPA BAWA AQUA?!"

"Bentar Cha, gue pesenin teh anget mau?"

"Cha Lo kesurupan?"

Pertanyaan Arhan sontak menjadi sorotan.

Chacha kesurupan? Pikir semua orang.

"Ehh yang bener, jangan becanda."

"Ini tempat dah gak dihuni bertahun-tahun, yakali gak angker."

Tiba-tiba Nadia meletakkan telapak tangannya di dahi Chacha. Terlihat jelas Chacha sedang keringat dingin.

"Lo mau ngapain Nad?" Tanya Sasta saat tangan Nadia berpindah memegang pucuk kepala Chacha.

"Bismillahirrahmanirrahim..."

"Woi Nad Lo mau ngeruqiyah Chacha?!"

"Yang bener aje."

"Sssttt diem! Chacha gak biasanya gini, udah jelas kalau dia dirasukin arwah." Balas gadis berhijab itu. Nadia kembali memegang pucuk kepala Chacha, ia memejamkan matanya seakan tengah fokus melafalkan ayat-ayat kursi.

Rasanya ingin sekali Chacha menggampar Nadia.

Ia tidak sedang kesurupan!

Badannya hanya lemas. Hingga tangannya pun sulit digerakkan.

"Minggir!" Ucapan dingin nan menusuk itu terdengar dari arah belakang.

Semua yang ada disana langsung menengok kebelakang. Dengan kompak mereka langsung bergeser, memberikan ruang untuk jalan.

Reynand, satu lelaki berwajah datar itu melangkah jalan ditengah gerombolan murid 12 IPA 1.

Habislah mereka.

Jelas mereka terkejut dengan kehadiran Reynand. Bagaimana Reynand bisa tahu tempat ini?

Jantung mereka berdebar, saat melihat raut wajah Reynand. Wajah yang memerah dan tatapan matanya yang tajam, mendeskripsikan ia yang tengah marah besar.

Reynand mengambil alih Chacha dari tangan Ayla. Ia langsung membawa Chacha ke gendongannya.

Pandangannya kembali beralih menatap seluruh siswa disana. Tidak ada yang berkutik, mereka serasa sesak napas saat Reynand memberikan tatapan mematikan itu. Mata dingin Reynand.

Tanpa mengatakan sepatah katapun Reynand berbalik dan pergi memasuki bus yang tadi mengantarkan mereka ketempat ini.

Ingin rasanya mereka mengatakan bahwa Reynand salah memasuki kendaraan. Padahal sudah jelas Reynand membawa motor sportnya dan terparkir persis disamping mobil bus.

Tapi tidak ada yang berani bersuara. Memanggil Reynand pun tidak berani.

"Jalan pak."

Pak sopir yang berada ditempat duduknya memandang Reynand bingung. "Lah? Tapi kan saya nganter mereka mas. Masa saya mau ninggalin mereka?"

Reynand mendudukkan Chacha disalah satu kursi penumpang. Kemudian ia memasukkan tangannya ke celana. Reynand memberikan lembaran uang berwarna merah.

"Jalan!"

Pak sopir itu tersenyum lebar. "Oke siap!" Ucapnya menerima uang Reynand dengan senang hati.

Sopir mata duitan!!

Sopir itu langsung menancap gas meninggalkan pekarangan rumah mafia itu. Dan Reynand dengan santainya duduk sambil memegangi Chacha yang kini malah pingsan.

Sejenak ia membuka ponselnya, dan menyambungkan telfon. "Bawa motor gue. Nanti gue sherlock."

Sedangkan siswa-siswi yang ditinggalkan bus itu kompak mengumpat kesal. Beberapa dari mereka ada yang menjambak rambutnya.

"Sial! Padahal itu bus udah gue bayar lebih."

"Anying si Reynand."

"Kita pulangnya gimana coba?"

"Ngesot aja udah."

Mereka menggerutu, akibat melanggar perkataan Reynand. Sekarang mereka merasakan pembalasannya.

•••

To be continue

COLD EYES [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang