Epilogue

359 41 26
                                    


Irka berlari sekuat tenaga dengan setangkai mawar dalam genggaman. Jalanan ramai berlalu cepat pada tepian mata, hingga ratusan langkah itu membawa sang bocah masuk dalam rapatnya pepohonan ek. Keringat bercucuran memenuhi wajah bulatnya. Namun, yang membawa langkah panjang itu bukanlah takut, melainkan antusias. Di mana sebuah senyum terpasang, semakin tertarik lebar pada setiap langkah yang berhamburan.

Bocah laki-laki itu berhenti, tidak untuk mengisi udara yang seharusnya habis akibat perjalanan panjang. Ia hanya memaku tatap pada mawar merah dalam genggaman, seakan kehadirannya tiada banding. Irka kemudian mengambil langkah-langkah kecil menelusuri setapak dalam hutan. Pada setiap langkah ringan menerbangkan dedaunan kering yang tertumpuk pada sisi jalan.

Langkah kecil berpindah cepat menjadi loncatan riang. Ia lalu menarik mawar dan mencium aroma yang menyebar darinya. Sedikit aroma manis yang memabukkan serta bau lain, darah serta busuknya pembantaian. Bahkan dengan aroma menjijikan yang menusuk hidung, tidak sedikit pun menghilangkan senyuman manis dalam wajah imut itu. Karena sang bocah terlampau bahagia dengan hadiah berharga dalam genggaman.

Terlalu riang bagi ia yang sedang melarikan diri dari petaka.


Irka menemukan sebuah pohon tua yang baru saja melepaskan daun terakhir dari batang tuanya. Ia mengistirahatkan tubuh pada sebuah batu besar, tepat di sebelah pohon. Mabuk dalam kegirangan, sang bocah mengayun-ayunkan kaki dengan mawar menggoda berputar riang dalam genggaman. Di mana seekor gagak terbang menghampiri.

"Aneh sekali melihatmu seperti itu," ucap Irka, sempat melirik sekilas ke pohon tua.

"Biasanya kau hanya menjadi ... apa ya? Mungkin sesuatu yang menyerupaimu." Bocah kecil mengangkat bahu. Membagi lelucon ramah meski tidak ada siapa pun yang dapat menanggapi kalimat itu.

"Aku justru tidak mengerti dengan wujud yang kau gunakan," balas sebuah suara.

Dari paruh kecil keluar suara wanita dewasa yang memberikan kuasa penuh. Seekor gagak bertengger dengan dada mengembang serta paruh terangkat tinggi, memaku pandang pada Irka. Ada rasa angkuh dari cara gagak tersebut berbicara kepada sang bocah. Dengan posisinya yang lebih tinggi, gagak itu terlihat bagai sosok dengan kekuatan yang perlu ditakuti. Namun, Irka tidak sedikit pun terpengaruh pada tekanan yang diberikan oleh sang gagak.

"Kusebut ini berbaur," balas Irka yang kedua mata kembali menatap mawarnya, seakan tidak dapat melepaskan pandang dari bunga itu.

"Astaga, tidak pernah paham bagaimana otak itu bekerja," gumam gagak, kental dengan nada jengkel.

"Sebagai anak kecil? Menjadi santapan makhluk tanpa akal? Lakukanlah sesukamu." Sayap hitam tertarik kepada kumpulan makhluk yang anggota tubuhnya saling berputar dengan tulang-tulang mencuat keluar dari kulit kering penuh nanah.

"Wow! Kau benar-benar minim akan imajinasi." Irka kembali mendongak dan melempar ekspresi iba kepada sang gagak. Hanya untuk dibalas dengan tatapan jengkel dari burung hitam kecil.

Tidak salah bila gagak itu menganggap kalimat Irka mengelikan. Karena manusia di setiap muka Lithia telah berubah menjadi makhluk ragam bentuk tanpa sedikit pun akal tersisa. Benar, monster. Dengan tubuh berlendir dan nanah, potongan tubuh tambahan yang tidak pada tempatnya, gigi-gigi tajam, gabungan tubuh hewan, serta tulang-belulang. Layaknya monster di dalam istana, mereka hanya peduli untuk membasuh tubuh dengan darah. Di mana kehadiran Irka adalah sebuah kejanggalan bagi kekacauan dan kebrutalan pada wajah baru Lithia.


"Tidak untuk makhluk menjijikan, tetapi berbaur dalam cerita," balasnya menarik satu tepi mulut serta penekanan pada akhir kalimat.

"Si sialan—"

For Her Eternal Nights [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang