Mendadak rasa bahagia itu muncul dan memenuhi relung hatinya. Kini ia bersiap untuk melompat saat menyambut kedatangan perempuan pujaannya.
Perlahan pintu terbuka, dan Mevy berdiri masih dengan menggunakan pakaian yang sama sepeninggal Adi tiga jam yang lalu.
Jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Namun, keadaan yang terlihat justru baik-baik saja. Perempuan itu datang tidak dalam kondisi mabuk.
“Lo nggak suruh gue masuk?”
“Hah?” kedua mata besar Adi mengerjap. Ia masih dilingkupi rasa takjub yang berkepanjangan. Apa yang Mev inginkan? Bagaimana perempuan ini tahu di mana dirinya tinggal?
“Ah, ya. Silahkan, jangan sungkan.”
Mevy masuk, diikuti dengan Adi di belakangnya. Mereka duduk di atas lantai tanpa rasa canggung—well, sebenarnya detak jantung Adi terasa tidak beraturan kala itu, namun, ia coba untuk terlihat sedatar mungkin.
“Ini gue bawakan sesuatu buat lo,” katanya sembari meletakkan kantung plastik yang berisi sebuah kotak di dalamnya.
“Apa ini, Mev?”
“Martabak Bangka,” Mevy menyahut datar.
“Martabak? Tengah malam begini? Serius lo?”
“Lo sebenernya mau nggak sih? Kalau nggak mau, sini gue bawa balik lagi!”
“E-eh, slow kali. Gue merasa aneh aja dengan sikap lo yang—”
“Apa?” tanya perempuan itu sambil mengangkat dagunya.
“Berubah-ubah,” Adi menjawab menyerupai bisikan.
Mevy menggeser posisi duduknya. Ia meletakkan telapak tangannya di lantai, lengannya lurus ke belakang, dan dadanya membusung ke dapan. Ia menelaah ucapan Adi yang dilingkupi keraguan saat mengucapkannya. Wajah pria Indo-Pakistan itupun berubah jadi merah padam seketika.
“Noura, cerita semua tentang hubungan lo yang kurang baik dengan Ferrel.”
“Noura?”
“Yah, gue paksa dia buat cerita selengkapnya via chat. Kalian ternyata terlibat persaingan kecil rupanya?”
“Dia yang diam-diam menusuk gue dari belakang. Bukan hanya sekali saja, bahkan sering!”
“Oh, begitu? Well, gue juga merasa kurang nyaman dekat dengan pria setipe Ferrel. Sorry, tapi menurut gue dia itu—”
“Dia kenapa?”
“Gatel!”
Adi terkekeh saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut Mevy. Ternyata diam-diam perempuan itu memperhatikan tingkah Ferrel, bahkan memberikannya sebuah sebutan khusus.
“Malam itu, gue kaget waktu tiba-tiba Ferrel datang dengan modus interview. Iya sih, sebelumnya dia memang sudah mengontak gue. Cuma gue pikir, interview itu akan dilakukan di Jakarta.”
“Jangan heran,” kata Adi yang kini mulai bisa mengontrol debar jantungnya.
“Lalu, setibanya gue di Jakarta. Modus operandi itu terus dia lancarkan. Gue dipaksa bertemu dengannya di Grand Manhattan – Entertainments Discotheques. Untuk apanya gue nggak tahu. Dia bilang, hanya sekedar hangout bareng. Dia juga sebut nama lo di daftar orang-orang yang diajaknya.”
“Dia bawa nama gue?”
“Ya. Maka dari itu, gue idem aja. Gue pikir, toh, lo juga ada di situ.”
“Gue yang mengajaknya ke sana. Tapi, dia berdalih sedang ada kerjaan. Eh, tahu-tahu dia datang dan mengajak lo ke tempat yang sama!”
Perempuan itu mengangukkan kepalanya dan mengerucutkan bibirnya. Tanpa malu-malu, ia membuka kotak martabak Bangka yang ada di depannya. Tangannya yang mungil mengamit martabak tersebut dan memasukkan ke mulutnya diiringi dengan tatapan geli Adi.
“Mev, gue boleh tanya sesuatu sama lo?”
“Ta-nyua a-pua, Di?” sahut Mevy dengan mulut yang penuh martabak.
“Hmm, tentang pria asing itu—”
Martabak yang ada di dalam mulut Mevy, secara reflek dimuntahkan kembali. Buru-buru Adi berlari ke dapur, mengambil air dan tisu di atas meja pantry.
“Santai saja, Mev.”
Adi mengelus pundak Mevy, yang kala itu dengan sekali tenggak menghabiskan air yang Adi sodorkan. Setelahnya kedua mata perempuan itu melotot ke arah Adi.
“Lo bertanya tepat di sasarannya, Di. Dan saat lo melakukan itu, gue dalam keadaan yang nggak siap!”
“Oke, sorry. Gue nggak tahu kalau jadinya akan fatal.”
Mevy bergumam tidak jelas saat mengambil selembar tisu yang ia gunakan untuk membersihkan area sekitar mulutnya. Saat suasana sudah lebih kondusif, Adi mulai memberanikan diri untuk kembali memancing jawaban dari pertanyaannya.
“Jadi?”
“Well, awalnya gue dan Rami terlibat proyek film layar lebar. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, gue justru suka sama dia,” Mevy menghela, sedangkan Adi masih serius memperhatikan. “Diluar dugaan. Sebelumnya gue mengira jika Rami sudah move on dari Nou, ternyata tidak sama sekali.”
“Nou?!” pekik Adi. Otaknya bekerja dengan lebih keras lagi dalam memutar ulang memori jangka panjangnya.
Astaga! Adi menahan napasnya sedikit lama. Ya, ia ingat sekarang. Segala yang samar-samar itu menjadi jelas.
Itulah mengapa wajah pria blasteran itu tidak asing baginya. Karena pria itu adalah orang yang sempat dikabarkan menjalin hubungan spesial dengan Nou beberapa waktu yang lalu. Cinta lokasi, headline tersebut pernah menjadi topik pembicaraan hangat di media selama beberapa hari.
“Rami yang lo maksud adalah orang yang sama dengan—”
“Ya, dia orang yang sama. Kita sepemikiran, Di.”
Mengapa dunia semakin terasa sempit? Mengapa harus ada beberapa nama yang muncul dalam waktu yang bersamaan?Rami? Stanley? Ramien Stanley.
“Bagaimana gue bisa sebodoh itu, Mev? Ya, gue ingat sekarang. Dia sutradara sekaligus produser asal negara tetangga itu, kan?”
Mevy menangguk setuju.
“Malam itu, gue coba mengutarakan perasaan gue pada Rami. Ternyata, jawaban yang gue harapkan—”
“Cukup. Gue tahu lanjutannya.”
Adi memberanikan diri untuk kembali menyentuh perempuan itu. Ia membelai lembut pundak Mevy.
“Dia hanya menganggap gue sebatas temannya saja. Cintanya, hanya untuk Nou.”
Dua tahun yang lalu. Kala itu Adi baru saja menapaki kariernya di bidang broadcast. Baru satu tahun. Memang benar, desas-desus mengenai kedekatan Noura dan Rami marak diperbincangkan. Namun, berita itu tenggelam seiring dengan berjalannya waktu.
Justru beberapa bulan terakhir yang sempat menjadi trending topic adalah kedekatan Nou dengan salah satu CEO muda bernama Thomas.
“Dan nampaknya, cinta lo bertepuk sebelah tangan,” Adi berbicara dengan penuh hati-hati.
Mevy menanggapinya dengan mengangkat bahunya. Selebihnya ia diam dan memilih untuk kembali mengamit martabak yang ada di depannya.“Omong-omong, lo dapat dari ide dari mana untuk bawa martabak ke sini? Alamat apartemen gue, lo dapat dari siapa?”
“Orang yang sama; Noura,” sahut gadis itu, kemudian tanpa menunggu lama lagi satu iris martabak Bangka masuk ke dalam mulutnya.
Malam itu, mereka habiskan berdua. Setelah kesalahpahaman di antara mereka selesai diperjelas, percakapan hangat pun terjalin.Obrolan demi obrolan ringan mengalir bagai air. Mulai dari nostalgia masa sekolah dasar, hingga kehidupan Mevy setelah memutuskan pindah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.
Dalam hati, Adi bersorak gembira. Dengan begini, jarak di antara mereka bisa kembali menipis. Dan, berawal dari sesuatu yang baik, Adi yakin jika ia dapat membangun sebuah hubungan yang jauh lebih dekat lagi daripada saat ini. Ia melantunkan doanya di dalam hati.
###

KAMU SEDANG MEMBACA
F.R.I.E.N.D.(S) ☑️
ChickLitFurrinka, seorang mantan guru les Bahasa Spanyol yang kemudian beralih profesi sebagai manajer band kenamaan-Part of Justice. Menjalani sebuah hubungan LDR bersama sang pacar dan mulai merasakan jenuh terhadap hubungan keduanya. Dipertemukan oleh R...