DIOLA ARIA TAMMA; DIOLA
Hanya berselang setengah jam sejak dirinya meninggalkan Noura—yang masih terlelap di atas kasurnya. Diola menemukan fakta jika perempuan itu telah menghilang. Ranjang yang ia tempati kosong, tidak ada siapa-siapa. Sementara ia baru saja keluar dari toilet karena berurusan dengan dirinya sendiri, akibat sakit perut yang dideritanya.
Pergi ke mana? Rasa khawatir itu tiba-tiba saja menyerangnya. Ia menatap nyalang, menyusuri setiap sudut ruangan. Dan, pada akhirnya dapat menemukan Noura tengah duduk pada sebuah batu besar—dengan didampingi tiang infusnya—di area taman rumah sakit yang letaknya persis di depan kamar Noura.
Setelah dinyatakan oleh dokter bahwa kondisinya sudah semakin membaik. Perempuan itu kerap kali berjalan kecil untuk berpindah tempat di dalam kamarnya. Bahkan ia tidak lagi meminta bantuan sahabatnya—yang secara bergantian bertugas untuk menjaganya—untuk sekedar pergi ke toilet.
Dan hari ini, tampaknya Noura sudah mulai memberanikan diri untuk pergi ke luar dari kamar dan menikmati suasana dengan duduk-duduk di area taman bersama dengan...
“Rami?” bisik Diola saat menangkap sosok pria itu tengah duduk di depan Noura sambil memegangi tangannya.
Ada sensasi aneh yang Diola rasakan saat menonton adegan tersebut di depan matanya. Ia tak tahu apa tepatnya, namun kala itu ia mencoba mengabaikan perasaannya. Dan memilih untuk memejamkan kedua matanya, lalu berbalik arah dan duduk pada kursi terdekat.
Tak berselang lama, tiba-tiba saja muncul keinginan untuk mengetahui lebih lanjut tentang apa yang terjadi di antara Noura dan Rami. Setelah sebelumnya bersusah payah untuk meredam rasa penasarannya. Tapi sepertinya gagal, karena Diola terlalu ingin tahu.
Perempuan itu akhirnya memilih untuk mengendap-endap keluar dari dalam kamar dan mendekat pada kedua ‘pasangan’ tersebut. Sebuah pilar penyangga menjadi pilihan Diola untuk bersembunyi dan menguping pembicaraan keduanya.
Ia bersedekap dan menjulurkan kepalanya sedikit demi untuk mendengar lebih jelas apa yang sedang Noura dan Rami bicarakan.
Samar-samar beberapa kata ia tangkap melalui indera pendengarannya. Suara keduanya terlalu kecil untuk Diola dengar dengan jelas. Namun, ada satu kalimat yang ia dengar secara lugas. Sebuah kalimat yang dengan mudahnya menggetarkan dada dan menghentak perasaannya.
“Please, just stay with me. I know your feeling, Ram,” ujar Noura.
Seakan-akan kehabisan oksigen, Diola kesulitan bernapas. Sesuatu tercekat di dalam tenggorokannya, hingga dalam hitungan detik tubuhnya terasa lemas dan siap jatuh kapan saja.
Ada apa dengan dirinya? Mengapa hanya karena sebuah kalimat—yang terlontar dari mulut Noura, Diola tak dapat mengontrol dirinya sendiri.
Ia berupaya menghirup udara demi mengurangi sesak dalam dadanya. Tak lama berselang, Diola memilih untuk beringsut lalu beranjak meninggalkan tempat tersebut menuju suatu tempat. Menjauh dari keduanya, demi untuk menenangkan diri sendiri.
Apa ini? Mengapa aku seperti ini? Mengapa aku cemburu melihat mereka berdua?
***
Baru satu minggu yang lalu ia dan pria blasteran Melayu-Aussie tersebut bertemu. Keduanya terlibat pembicaraan cukup serius mengenai naskah yang perempuan itu tulis. Namun demikian, tak jarang ia dan Rami terlibat adu argumen saat percakapan tersebut berlangsung. Pada akhirnya, sebuah kesepakatan pun tercapai. Ya, Rami akan menggunakan naskah yang Diola buat untuk memproduksi film terbarunya.
Bayangkan, Diola bak ketiban durian runtuh! Tanpa perlu repot-repot menempuh proses panjang, seorang produser kenamaan menghampirinya dan menawari kerjasama. Beruntung sekali, bukan?
“Lalu, bagaimana selanjutnya?” tanya Diola antusias.
Kali ini, adalah pertemuan mereka untuk kesekian kalinya dalam satu Minggu terakhir. Pria itu memilih untuk melakukan pertemuan di tempat lain. Karena beberapa kali ia dan Diola melakukan pembicaraan selalu saja direcoki oleh kehadiran Lean. You know, pria itu butuh sebuah privasi.
“Hmm, saya akan segera berunding dengan tim dan menentukan langkah selanjutnya.”
Diola mengangkat bahu, “okay, terserah saja. Saya nggak begitu mengerti tentang hal teknis seperti itu.”
Rami mengangguk sembari memutar sedotan yang menyembul dari dalam gelas sodanya, berlawanan arah dengan jarum jam. “Lantas kitorang survey lokasinya,” ia menambahkan.
“Secepat itu?” tanya Diola takjub.
“Ya, Dio. Saya sudah merencanakan ini bahkan jauh sebelum bertemu dengan kamu.”
Diola mengerutkan kening. Merasa risih dengan panggilan Rami terhadap dirinya. Satu-satunya orang yang memanggil perempuan itu dengan nama depannya.
Oh, itu lebih mirip dengan panggilan untuk seorang laki-laki! Gumam batin Diola.
“Ini semua karena kecerobohan Lean. Dia nggak seharusnya membiarkan kamu membaca naskah saya,” perempuan itu melipat kedua tangannya dan meletakkannya di atas meja.
“Oh, come on. Itu terjadi karena sebuah ketidaksengajaan, Dio. Berhenti menyalahkan sahabat kamu sendiri.”
“Alright, dan berhenti memanggilku dengan sebutan seperti itu, Stanley!”
“Okay, kita impas kalau begitu,” sahut Rami. Kemudian menyedot habis isi gelas yang ada di depannya. Pria itu lalu bangkit, dan tanpa permisi mengamit tangan Diola, membuat perempuan itu kontan terkejut.
“Hey!” protes Diola, dan langsung direspon cepat oleh Rami. Pria itu segera melepaskan tangannya dan menjauhkannya dari perempuan itu.
“Ups, sorry. Well, Dio, saya mau kamu terlibat langsung dalam pembuatan film ini. Dua minggu lagi setelah saya dan tim berunding, kita akan segera survey lokasi.”
Belum juga Diola menyanggah ucapan Rami, pria itu berlalu begitu saja dan beranjak meninggalkannya.
Ia ditinggalkan, sendiri, dengan rasa kesal yang tersisa dalam hatinya. He is so bossy, right?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
F.R.I.E.N.D.(S) ☑️
Chick-LitFurrinka, seorang mantan guru les Bahasa Spanyol yang kemudian beralih profesi sebagai manajer band kenamaan-Part of Justice. Menjalani sebuah hubungan LDR bersama sang pacar dan mulai merasakan jenuh terhadap hubungan keduanya. Dipertemukan oleh R...