Noura tidak mengerti ada apa dengan Thomas. Tiba-tiba saja pria itu menghubunginya di waktu yang tidak ia kehendaki. Saat istirahat adalah batas keras Noura untuk menerima panggilan telepon. Namun, saat nama Thomas tertera pada layar ponsel miliknya, ia terpaksa menjawab panggilan tersebut.
Lelahnya, ia abaikan. Syuting yang baru saja selesai, dan penat yang melanda, ia telan sendiri demi Thomas yang memintanya datang ke apartemennya saat itu juga.
“Ada apa?” tanya Noura saat pintu apartemen terbuka lebar.
Di sana, sosok sang pemilik apartemen berdiri. Di balik pintu berwarna cokelat tua itu, ia bergeming. Wajahnya merah, matanya berkilat penuh amarah.
Tanpa berbasa-basi, Thomas menarik lengan Noura secara paksa. Menyeretnya melewati ruang demi ruang. Dan mereka berhenti di sebuah ruangan yang tak asing bagi Noura, ruang kerja Thomas.
“Apa maksudnya ini?!” salaknya.
Sebuah majalah yang Thomas lempar bertepatan dengan ucapannya tadi, jatuh mulus di kaki Noura setelah sebelumnya membentur perut perempuan itu.
Dengan sangat berhati-hati, ia membungkuk dan mengamit majalah tersebut.
Matanya terbelalak saat melihat ada yang salah dengan cover majalah itu. Headline yang tertera pun sanggup membakar matanya, hingga secara tidak sadar air mata meluruh, membasahi pipinya.
Belum lagi sesak di dadanya hilang, tiba-tiba dengan sigap Thomas menarik rambut Noura ke belakang. Ia menjambaknya, penuh dengan emosi hingga perempuan yang menjadi kekasihnya itu berteriak kesakitan.
“Sakit, huh?” tanya Thomas geram.
Noura tak sanggup berkata apapun, ia hanya bisa mengerang kesakitan dan menangis. Itu jelas balasan dari kesalahan yang telah diperbuatnya. Berselingkuh dari tunangannya sendiri.
“Dan itulah yang aku rasakan! You... bitch!” dengan sekuat tenaga Thomas melepaskan tangannya dari rambut Noura dan mendorong perempuan itu hingga tersungkur. Pria itu seketika berubah menjadi monster yang mengerikan.
Noura yang terkapar di lantai hanya bisa meringis kesakitan. Ia berusaha untuk meredakan rasa sakit pada kulit kepalanya akibat perbuatan Thomas dengan cara mengusap-usapnya.
“Ma-maaf,” bisiknya di sela-sela isak tangisnya.
Thomas maju mendekati Noura, lalu membungkukkan tubuhnya. Ia mengulurkan tangannya, dan mengangkat dagu Noura untuk melihat ekspresinya.“Maaf,” Noura berucap sekali lagi, dengan lebih memohon.
Thomas tak berkata apapun, pria itu hanya mencebik. Kemudian ia mengangkat salah satu sudut bibirnya, tersenyum sinis.
Dan entah setan apa yang merasukinya, ia dengan mudahnya melayangkan tangannya tepat ke wajah Noura. Ia menampar Noura dengan keras, hingga perempuan itu kembali tersungkur dan membentur lantai. Kemudian pada detik itu juga pandangan Noura menjadi kabur dan tak sadarkan diri.
***
Lean bergidik ngeri saat mendengar cerita Noura malam itu. Ia tak habis pikir dengan apa yang telah dilakukan Thomas—which is calon suami Noura—pada sahabatnya tersebut.
Sedang Noura yang baru saja menyelesaikan cerita pengalaman pertamanya—diperlakukan buruk oleh Thomas—tersebut hanya bisa tertunduk lemas sambil memandangi selang infus yang terpasang pada punggung tangannya.
Bahkan setelah satu tahun peristiwa itu berlangsung, Noura masih bisa mengingat detail kejadian dan merasakan seperti apa rasa sakit yang ia alami dulu.
Lalu, semua itu kembali terjadi dan akibatnya ia harus terbaring lemah di kamar serba putih tersebut.
“Terus kenapa kamu terima lamaran dia, Nou?”
Noura menggeleng. Butuh beberapa detik untuknya mengisi paru-parunya yang terasa sesak. “Aku pikir dia sudah berubah, Le. Dan dia benar-benar melakukan itu sebelum perbuatannya kemarin.”
Dirinya tidak menyangka jika pria itu akan kembali bersikap kasar padanya, bahkan setelah ia menerima lamaran dari Thomas beberapa waktu lalu. Noura pikir pria itu takkan lagi melakukan hal itu padanya. Dirinya cukup yakin akan hal tersebut, karena setelah kejadian pertama dengan penuh kesungguhan Thomas datang padanya untuk meminta maaf dan meminta kembali hubungan mereka—setelah sebelumnya Noura mengancam akan benar-benar mengakhiri pertunangan keduanya dan pergi bersama pria selingkuhannya.
Lean tak menyahut. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan menyandarkan punggungnya pada kepala kursi di belakangnya.
“Let me guess. What happened to you yesterday is still about Rami, right?”
Noura memejamkan kedua matanya yang kala itu mendadak terasa panas, karena air mata.
Ia mengambil napas demi untuk mengisi paru-parunya. Lalu, menjawab dengan suara parau, “ya.”
***
Lean baru saja kembali dari suatu tempat saat Noura sedang mencoba turun dari kasurnya. Dengan sigap ia berlari kecil dan membatu sahabatnya itu.
“Mau ke mana?”
“Toilet,” jawab Noura sambil menahan nyeri.
Sambil memapah Noura menuju toilet, Lean turut pula menyeret tiang infus—yang selangnya menempel pada salah satu bagian tubuh sahabatnya tersebut.
“Aku bisa sendiri, Le. Kamu tunggu di sini saja.”
Lean mengangguk setuju dan menjauh dari pintu toilet. Ia memilih duduk di kursi dekat kasur pasien. Sambil mengutak-atik ponselnya, perempuan itu menunggu Noura yang belum juga keluar setelah beberapa menit berlalu.
Kecurigaannya semakin parah ketika Lean yang mengetuk beberapa kali pintu toilet dari luar tidak mendapat respon.
“Nou?! Buka pintunya!”
Sialan! Jantungnya berdegup kencang. Noura benar-benar tidak menyahuti panggilannya. Sebisa mungkin ia coba untuk mendobrak pintu tersebut dengan kekuatan yang ia punya. Namun, pintu tak kunjung terbuka.
Lalu, dalam keputusasaannya tiba-tiba sosok Diola datang. Perempuan itu masuk ke dalam kamar yang Noura tempati, dengan seseorang yang mengekor tepat di belakangnya.
“Oh, thanks God! Ola, kamu datang tepat waktu,” Lean memeluk hangat sahabatnya yang baru saja tiba dari perjalan panjangnya tersebut, Kuala Lumpur - Bandung.
Dengan ekspresi kebingungan Diola membalas pelukan Lean.
“Noura di mana?” seseorang di balik tubuh Diola bertanya dengan penuh kekhawatiran.
Ah, ya, benar. Lean melupakan seseorang. Buru-buru Lean melepaskan pelukannya, dan melangkah mendekati pria itu.
“Ram, can you help me?”
“Noura di dalam?” tanya pria itu panik.
“Ya. Aku ketuk pintunya sejak tadi, tapi dia nggak menyahut sama sekali. Sesuatu pasti terjadi, Ram.”
Wajah pria itu mendadak pucat pasi. Darah seolah-olah suruh dari tubuhnya. Mendengar ucapan Lean, rupanya memicu pria itu untuk cepat bergerak. Secara kasar merangsek maju ke depan pintu toilet, setelah sebelumnya tanpa sadar menubruk tubuh Diola yang berdiri di depannya.
Pria itu kemudian meraih handle pintu tersebut dan mencoba untuk menekannya beberapa kali. Hal yang sama yang sudah Lean lakukan sebelumnya, coba pria itu lakukan juga.
“Nou, buka pintunya!” teriak Rami sambil terus mengetuk dan memukul pintu tersebut.
Namun, usaha yang dilakukan pria itu sama sekali tak membuahkan hasil. Hingga pada akhirnya Rami memutuskan untuk keluar dari kamar tersebut dan meminta bantuan pihak rumah sakit.
Sementara Lean dan Diola tetap bergeming di tempatnya, saling menatap satu sama lain.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
F.R.I.E.N.D.(S) ☑️
ChickLitFurrinka, seorang mantan guru les Bahasa Spanyol yang kemudian beralih profesi sebagai manajer band kenamaan-Part of Justice. Menjalani sebuah hubungan LDR bersama sang pacar dan mulai merasakan jenuh terhadap hubungan keduanya. Dipertemukan oleh R...