F.R.(I).E.N.D.(S) #4

179 18 0
                                    

“Kenapa melamun?” sebelah alis Wilzar terangkat. Rupanya sejak tadi, Wilzar memperhatikan betul apa yang sedang dilakukan Ilse.

Perempuan itu hanya menggeleng dan tak memberikan jawaban langsung. Baginya, tak ada yang perlu ia katakan mengenai perjodohan konyol itu. Terlebih pada pria yang ada di depannya kini.

Namun, ia tak bisa berbohong—lantaran ingin sekali mengeluarkan sesak yang menjadi bebannya. Hingga saat ini, ia belum menemukan seseorang yang tepat untuk di ajak berbagi, termasuk Renika dengan julukannya sebagai ‘tukang gosip’ itu.

“Saya tahu, ada sesuatu yang kamu sembunyikan,” Wilzar menegakkan tubuhnya dan meletakkan alat makannya secara terbalik di atas piring. Mengisyaratkan, bahwa ia telah selesai dengan makan malamnya.

“Nggak ada, Dok.”

Di luar dugaannya, ia yang berharap Wilzar menanggapi dengan penuh keseriusan, justru terkekeh saat Ilse mengakhiri kalimatnya. Ilse pun dibuat bertanya-tanya dengan tingkah sang dokter.

“Tolong jangan panggil saya seperti itu. kita nggak sedang berada di rumah sakit, Ils.”

Apa itu artinya, dia memintaku untuk memanggil namanya saja?

Well, saya—”

“Santai saja.”

Ilse menundukkan kepalanya seraya menyembunyikan rona merah di pipinya yang terlihat chubby. Ia menimbang-nimbang dalam hati; cerita atau nggak?

“Sebenarnya, saya malu untuk cerita.”

“Loh, kenapa? Saya pendengar yang baik, lho.”

Seulas senyum mengembang, menghiasi wajahnya. Kepalanya menggeleng, tak habis pikir. Bisa-bisanya laki-laki ini!

“Saya akan dijodohkan oleh kedua orang tua saya.”

Seriously?

“Ya,” Ilse mengangguk pasrah, seketika itu pula tubuhnya melemas.

Kedua tangannya yang sejak tadi memegangi alat makan, juga ikut melepaskannya. Ia bahkan sudah tak berselera lagi untuk melanjutkan makan malamnya—yang sama sekali jauh dari kata spesial.

“Seperti apa laki-laki yang akan dijodohkan dengan kamu?” tanya Wilzar antusias.

Benar saja! Pria ini jelas tidak pernah sedikitpun berminat membuka hatinya. Dia bahkan terlihat sangat bahagia di atas penderitaanku!

“Saya nggak tahu. Dan tidak mau tahu!”

“Kenapa begitu? Bagaimana kalau pria itu kaya raya?”

“Saya nggak peduli.”

“Uhm, bukannya itu yang di cari oleh banyak perempuan?”

“Saya bukan perempuan seperti itu!”

Wilzar manggut-manggut sambil sesekali mengelus dagunya yang mulus tanpa janggut, dengan jari telunjuknya. Ia benar-benar mendengarkan keluhan Ilse dengan baik. Meskipun terlalu berlebihan dalam menanggapinya. Bahkan kelewat menyudutkan Ilse dan kaum perempuan lainnya.

“Jangan sebut ‘banyak perempuan’, kalau begitu mantan pacar kamu juga termasuk ke dalamnya. Saya yakin kamu tidak mau dia disebut demikian, kan?”

Ucapan pedas itu mampu membungkam Wilzar untuk berseloroh dan berkata yang tidak sepantasnya. Laki-laki itu kini jauh lebih berhati-hati dalam menanggapi ucapan Ilse selanjutnya.

“Saya nggak bermaksud seperti itu, Ils. Ya, beberapa di antara mereka jelas seperti itu.”

“Saya nggak termasuk di dalam kelompok itu,” Ilse bersikeras.

“Saya percaya kamu,” Wilzar mengamini. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan. “Karena itu yang saya sukai dari kamu.”

Kedua alis Ilse membentuk busur panah. Melengkung sempurna. Dahinya bergelombang, dan bibirnya mengerucut. Ucapan Wilzar yang meremehkannya jelas masih terngiang di benaknya.

Lalu, sedetik kemudian Ilse baru menyadari ada suatu ungkapan yang terselip dalam ucapan Wilzar padanya.

“Ayo! Saya yakin makan malam kita sudah selesai.”

Suka? Dia menyukaiku? Really?!

***

Dalam perjalanannya menuju Kota Bandung, baik Ilse dan Wilzar tak ada yang angkat bicara. Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Ilse, jelas sedang berkontemplasi dengan kalimat yang terakhir dikatakan oleh Wilzar sebelum kepulangan mereka. Sedang pria yang ada di sampingnya, mencoba untuk fokus pada kemudinya.

“Karena itu yang saya sukai dari kamu.”

Ya, ampun. Dia benar-benar mengucapkannya! Atau itu hanya kesalahan pendengaranku belaka?

“Boleh saya menebak sesuatu?”

Sontak Ilse secepat kilat menoleh ke arah datangnya suara. Wilzar mengemudi sambil memulai kembali percakapan mereka.

“Tentang apa?”

“Alasan kamu menolak perjodohan itu.”

Oh, God! Rupanya pria ini masih ingin membahas perjodohan konyol itu lagi. Sampai kapan?!

“Ada seseorang?”

“Maksud kamu?”

“Pacar?”

Rasa takjub itu tak hentinya muncul. Ada apa dengan pria yang satu ini? Batin Ilse bertanya-tanya. Dalam beberapa jam terakhir pria ini terlalu banyak memberinya kejutan. Sentuhan itu, pengakuannya mengenai mantan pacarnya, mengomentari perjodohan, mengungkapkan rasa suka, dan kini menanyakan status Ilse secara terselubung.

***

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang