F.R.(I).E.N.D.(S) #3

183 19 1
                                    

Sebelum menjawab pertanyaan Wilzar, Ilse mengerlingkan pandangannya ke samping. Memperhatikan hamparan gedung dan atap-atap rumah yang ada di bawah dataran tinggi tersebut. Ia juga mengalihkan pandangannya untuk menikmati gunung-gunung yang mengelilingi tempat tersebut serta balutan awan mendung yang menggantung di atasnya.

“Dia dan Rami, saya hanya dengar berita kedekatan mereka dari media. Kami tinggal berjauhan untuk waktu yang lama, Dok. Selepas SMA, kami jarang bertemu. Bertegur sapa via sosial media, dan segan untuk cerita tentang privasi masing-masing,” perempuan itu menjelaskan dengan setengah hati. Padahal, ia berharap lebih dari pembicaraan sore ini. Tapi, kejutan itu hanya berlaku di awal.

“Begitu ya? Yah, saya hanya ingin dengar sekilas tentang perempuan yang berhasil membuat sahabat saya itu susah move on.”

Really?” Ilse terkejut seraya menahan tawa gelinya.

“Ya, saya serius. Rami, sepertinya patah hati saat tahu mengenai rencana pernikahan sahabat kamu itu.”

“Dia tahu?”

Wilzar mengangguk.

“Sama seperti Anda, Dok,” ujar Ilse tanpa celah.

Seketika suasana berubah menjadi menegangkan. Mereka sama-sama terdiam. Ilse memilih diam karena ia tahu telah salah berujar, dan tak ingin memperburuk keadaan dengan kembali angkat bicara. Sedangkan, Wilzar terdiam karena sesuatu di dalam dadanya terasa sakit ketika mendengar ucapan Ilse yang tepat menghujam organ dalam dadanya.

Setelah beberapa menit keheningan mendominasi, akhirnya Wilzar angkat bicara. Dengan hati-hati, ia menjelaskan setiap kata-kata yang meluncur deras dari mulut Ilse.

“Memang sulit jika kita yang begitu mencintai seseorang, dalam sekejap harus melupakannya. Apalagi, jika orang itu terlanjur berarti buat kita. Ya, saya dan Rami, kami terlibat dalam kasus yang sama.”

Tubuh Ilse menegang. Ia menahan napas saat Wilzar mulai buka suara tentang dirinya. Banyak desas-desus yang beredar di kalangan rekan seprofesinya mengenai pribadi Wilzar yang tertutup, terlebih setelah perempuan yang di gadang-gadang menjadi calon pasangannya, terserang penyakit kanker dan meninggal dunia lima tahun yang lalu.

Ilse pernah mendengar Renika bertutur mengenai hal itu. Sahabatnya yang lebih dulu bekerja di rumah sakit itu tahu mengenai seluk beluk kehidupan dokter tersebut. Sedikit banyak, dengan pengetahuan yang dimiliki Renika itu, Ilse yang sudah terlanjur mengagumi Wilzar dapat leluasa  mendapatkan informasi yang privasi sekalipun.

“Si Stanley itu, dia lebih dari seorang sahabat buat saya. Dia sudah saya anggap sebagai saudara sendiri, Ils. Maka dari itu, saya sangat ingin tahu tentang siapa perempuan yang telah membuatnya patah hati seperti sekarang.”

“Ya. Saya paham,” Ilse angkat bicara saat keadaan sudah kembali normal.

Meski demikian, ia mengutuk ucapan lancang yang keluar dengan mulus dari mulutnya—pun tanpa berdosa saat mengucapkannya.

“Stanley, dia kakak kandung Ilana.”

Ilana? Siapa dia? Kedua alis Ilse menukik tajam saat telinganya menangkap satu nama asing. Lamat-lamat nama depan perempuan itu terdengar seperti panggilan akrabnya.

“Begitu tahu nama kamu, dengan sekejap saya teringat oleh dia,” katanya dengan kepala yang tertunduk.

Aku, mengingatkannya dengan Ilana? Oh, ini hanya mengenai kemiripan nama saja!

Rasa ingin tahu Ilse mendadak surut. Dalam hati ia bertanya mengenai kebaikan Wilzar hari ini; apa ini juga tentang Ilana?

“Oh,” jawab Ilse acuh.

Ilse geram, bahkan ia ingin sekali angkat kaki dari tempat itu. Kalau saja ia tahu akan berakhir dengan seperti ini, mungkin sejak awal Ilse tidak akan pernah menyetujui ajakan Wilzar.

Bayangan makan malam romantis di atas bukit dengan pemandangan Bandung yang melengkapi, sepertinya akan berakhir sebentar lagi. Pasalnya, Ilse mulai merasakan panas yang tak kuasa ia tahan. Mungkin ia cemburu? Atau marah karena ternyata Wilzar memperlakukannya dengan baik, lantaran ia memiliki ‘kemiripan’ dengan mantan pacar pria itu.

“Bukan hanya nama, tapi, sikap kalian—”

Sikap? Oh, ayolah! Sudah cukup satu faktor saja dia melinaiku mirip dengan mantannya, jangan ada faktor lain lagi!

“Saya bukan dia, Dok.”

“Ya, saya tahu. Bukan sama sekali,” Wilzar menggelengkan kepalanya, meyakinkan Ilse. “Kalian jelas berbeda. Maaf, saya nggak bermaksud untuk menyamakan kamu—”

Never mind,” potong Ilse.

Meski ia merasa kecewa dengan Wilzar sore ini, namun, ia mencoba untuk tetap menghargai pria yang ada di hadapannya itu.

“Sebenarnya, saya benci mengingat masa lalu, Ils.”

Kalau begitu kenapa masih cerita juga?! Ilse membentak dalam hati.

“Kalau begitu berhenti, Dok.”

“Ya, kamu benar.”

Keheningan kembali mendominasi mereka berdua. Malam datang tanpa pemandangan sunset yang ditunggu-tunggu. Awan mendung, rupanya betah berada di kawasan Bandung Timur hari itu. Langit nan gulita itupun kini tak berhias gemerlap bintang, lantaran awan masih betah berlama-lama.

“Kamu diam, Ils. Saya menyinggung kamu, ya?”

Jelas! Salak Ilse membatin.

“Oke, kita pesan makanan sekarang ya? Kamu pasti lapar kan?”

Ilse tidak mengiyakan, tidak juga menolaknya. Ia memilih untuk tetap diam, menjaga image-nya. Dalam hati, ia mengeluh kelaparan—sangat. Tapi, dalam keadaan seperti ini, tentu bukan waktu yang tepat untuk menunjukkannya.

Saat makan malam berlangsung, tiba-tiba saja ingatan akan kedua orang tuanya merasuki benaknya. Kegundahan beberapa minggu belakangan, memang sedang menghantuinya.

Siapa pula yang tidak galau memikirkan nasib sebuah perjodohan? Jelas hal itu menyita banyak perhatian Ilse. Bukan karena ia menyetujuinya, melainkan ia menolaknya.

Oke, memang untuk saat ini Ilse tak ingin memikirkan mengenai pasangan hidup. Ia perempuan idealis yang sangat realistis. Baginya, jodoh akan datang seiring jalan yang diatur Tuhan. Akan tiba di saat yang tepat, ia yakin itu. Tapi, tentang perjodohan ini, tentu bukan sesuatu yang tepat untuknya.

Selain mempertimbangkan banyak alasan, ada satu alasan kuat mengapa Ilse menolak—meski tidak mengatakannya secara lisan—perjodohan ini. Laki-laki yang kini duduk di hadapannya adalah alasan utamanya.

Ilse berharap, suatu saat akan dapat membuka pintu hati Wilzar—yang masih tertutup dan terisi oleh orang lain.

***

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang