F.(R).I.E.N.D.(S) #3

213 22 0
                                    

Kedua matanya menangkap sosok perempuan yang mengenakan terusan putih selutut, dan topi khas di atas kepalanya. Badannya memang terlihat sedikit berisi. Dan, perempuan itu sedang duduk di balik meja kerjanya. Menekuri tumpukan kertas yang ada di depannya.

“Bagian jaga ya, Il?” tanya Adi dengan kepala melongok dari atas meja.

Perempuan itu mendongak dan terperanjat, saking terkejutnya. Melihat sosok pria yang baru kemarin sore bertemu dengannya, membuat perempuan itu sedikit keheranan. Pasalnya, jarang sekali atau bahkan hampir tidak pernah pria itu muncul di tempatnya bekerja. Santosa Hospital, Bandung.

“Adi, ngapain kamu di sini?”

“Pertanyaan basi!”

“Lho? Aku serius, Di. Kerabat kamu ada yang sakit?” tanya perempuan itu panik.

“Nggak ada Il. Yang ada juga hamil,” Adi mengangkat bahu sambil mencebik.

“Hamil?!”

Kedua mata perempuan itu membelalak lebar, dan suaranya meninggi ketika melontarkan pertanyaan itu.

“Ilse, suara kamu!” bentak Adi. Ia pun ikut memelototi Ilse yang kini membekap mulutnya sendiri. “Kakak perempuanku, dia hamil. Dan aku dimintai tolong untuk nemenin dia check up.”

“Oh,” Ilse mendesah lega. Dadanya mengempis seketika. “Kukira—”

“Jangan konyol!”

Ilse nyengir, dan menyembunyikan pikiran negatifnya. Lalu suara seorang pria memanggilnya. Ketika mereka berdua sama-sama menoleh, pria itu—yang mengenakan kemeja biru muda dibalut dengan jas putih dan stetoskop yang mengantung di lehernya—melambaikan tangan.

Wait a minute,” Ilse berlari-lari kecil menghampiri dokter yang berdiri di depan pintu bersama seorang pria blasteran yang tingginya sama rata.

Adi memperhatikan wajah pria blasteran yang di rasa cukup familiar untuknya. Matanya yang besar, menyipit dan alisnya saling bertautan. Dari jarak yang cukup jauh, ia menelaah pria itu. Dan ya, Adi mengingatnya dengan jelas kini.

Pria blasteran itu adalah pria yang sama yang ia temui di Mansion Club semalam. Pria yang membuat seorang perempuan berakhir memilukan. Pria yang sama yang telah membuat Mevy menerima banyak cacian kala itu.

Tak lama, Ilse kembali ke meja piket yang terletak di depan pintu lift. Dan duduk di tempatnya semula.

Sementara Adi masih tertegun memperhatikan pria yang kini berjalan beriringan dengan sang dokter menuju pintu lift.

Tidak sama sekali melepaskan sosok pria tersebut dari tatapan matanya, hingga ia menghilang masuk ke dalam lift.

“Adi!” Ilse memukul lengan besar Adi dengan bogem mentahnya. Pria keturunan Indo-Pakistan itu meringis kesakitan.

“Itu siapa, Il?”

“Yang mana?” kini Ilse lupa akan kekesalannya. Ia teralihkan oleh pertanyaan Adi.

“Cowok tadi.”

“Oh, dia. Dokter Wilzar,” katanya dengan wajah tersipu malu.

“Bukan! Itu, bule yang tadi masuk lift,” Adi mematahkan jawaban Ilse.

Seketika, perempuan berdarah Arab itu berubah cemberut. Bibirnya mengerucut tajam.

“Mr. Stanley!” bentak Ilse.

Ah, Stanley. Batin Adi bersorak gembira saat mengetahui nama pria bule tersebut. Kepalanya manggut-manggut, dan senyumnya merekah.

“Kenapa?” sebelah alis Ilse terangkat saat memperhatikan tingkah pola sahabatnya tersebut.

Sebelum Adi sempat menjawab, sosok yang Ilse kenal datang menghampiri mereka. Tidak lain tidak bukan, perempuan itu adalah kakak perempuan Adi. Ilse mengenalnya, namun tidak terlalu akrab. Hanya sebatas kenalan.

Tanpa berbasa-basi lagi, Adi pamit dan menggiring kakaknya ke dalam lift, untuk kemudian menuju mobil MPV yang terparkir di basement.

“Aku balik ke Jakarta nanti malam. Salam ke anak yang lain ya, maaf aku nggak sempat pamit langsung ke mereka.”

***

Shooting untuk siaran tunda variety show telah selesai, siang harinya. Dilanjutkan dengan menjalankan tugas sebagai seorang adik dan calon paman untuk keponakannya. Malam ini, Adi yang sedang merebahkan tubuhnya di atas ranjang mendadak memikirkan sesuatu.

Mevy. Nama tersebut terus berputar-putar di dalam otaknya. Wajahnya mulai dari masa-masa sekolah hingga kemarin malam datang silih berganti.

“Ini hanya sekedar cinta monyet, bukan?” Adi menerawang ke atas plafon kamarnya dan berbicara pada dirinya sendiri.

Sesekali ia memejamkan kedua matanya, dan saat yang bersamaan meremas rambut ikalnya.

“Mev, oh Mev. Kenapa kamu terus muncul!” ia mengerang.

Adi bangkit dan mengamit tas ransel yang ia taruh di sampingnya. Pria itu melangkah keluar kamar, kemudian pamit pada orang-orang seisi rumah.

Langkah kaki yang seharusnya menuntun ia ke daerah Suropati—di mana timnya telah menunggu—justru membawanya ke sebuah hotel bintang empat yang semalam sempat ia masuki. Novotel.

Kini ia berdiri di depan sebuah pintu kamar dengan nomor kamarnya yang terdiri dari tiga digit angka. Tanpa tahu harus berbuat apa, ia bergeming dengan tas ransel yang tersampir di bahu kanannya.

Keraguan datang menyergapnya. Ketuk-jangan-ketuk-jangan.
Berkali-kali hatinya mengucap kata yang sama. Beberapa menit lamanya Adi berdiri bagai patung di depan pintu kamar tersebut. Lalu, tanpa disangka sebelumnya pintu kamar terbuka.

Secara reflek, Adi mundur selangkah. Degup jantungnya semakin kencang. Oh, ini dia! Mev keluar dari kamarnya.

“Mev—”

Bukan. Langkah kaki besar yang keluar dari dalam kamar bukan milik Mevy. Dengan cepat, Adi mengunci mulutnya saat pria bertubuh sama tinggi dengannya keluar menggunakan setelan kemeja dan celana hitam.

Ia memiringkan kepalanya ke sisi kanan, memperhatikan dengan saksama pria itu. Dan lagi, Adi mengenal pria itu. Bahkan kelewat mengenalnya!

“Ferrel?” pekik Adi.

Kepala pria itu mendongak, dan mata mereka saling beradu pandang. Tidak ingin melepas satu sama lain. Tatapan menyala milik Adi, dan tatapan menantang milik Ferrel.

Sejurus kemudian, seorang perempuan bertubuh mungil keluar dari balik tubuh tinggi pria itu.
Itu dia! Mevy yang ingin ia temui. Tapi, mengapa Ferrel ada di dalam kamarnya?

“Adi? Sedang apa lo di sini?” tanya perempuan yang memiliki hidung kaukasian tersebut.

“Ah, gue di sini... gue, ke sini untuk jemput Ferrel.”

Kepala perempuan itu menoleh ke arah pria yang baru saja bertamu ke kamarnya.

Untuk apa dia di sini? Pertanyaan itu masih saja berputar-putar di benak Adi.

Tiba-tiba saja pikiran itu datang menyergap Adi.   Ferrel, teman satu timnya—setiap hari bertemu dan bekerja sama—menginginkan sesuatu dari perempuan yang baru saja Adi kenalkan—secara tidak langsung—padanya kemarin malam?

“Ya, saya yang meminta Adi untuk datang kemari,” katanya.

Sialan! Mau apa orang ini mendatangi Mev? Batinnya menggerutu.

***

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang