Gaun yang ia kenakan saat menghadiri sebuah festival movie award berwana hitam pekat. Menjuntai hingga menyentuh betisnya. Bagian leher hingga ke atas dadanya terbuka dan dihiasi kalung mutiara putih bersih yang sangat kontras dengan gaunnya.
Noura dan Thomas berdiri bersisisan, menghadap ke arah puluhan media massa yang menunggu mereka berpose di atas red carpet.
Dengan percaya diri Thomas meletakkan tangannya di pinggul Noura. Mereka yang kompak mengenakan pakaian senada pun menjadi incaran banyak pencari berita.
Bukan hanya karna hal tersebut semata, kebintangan Noura yang sedang bersinar adalah alasan utamanya. Ia dan film yang terakhir dimainkannya, masuk ke dalam beberapa nominasi sekaligus.
Dan, beberapa spekulasi bergulir mengenai siapa yang berhak menerima award pada ajang tersebut. Tak ketinggalan Noura yang digadang-gadang akan membawa pulang thropy penghargaan sebagai new raising star berkat kepiawaiannya berakting.
Diadakan di Kota Bandung, acara yang dihelat setiap tahun itu memang menjadi ajang berkumpulnya insan perfilman tanah air. Mulai dari pemeran, sutradara, dan sebagainya yang berkaitan dengan pembuatan film.
Thomas membantu Noura berjalan memasuki gedung tempat acara berlangsung. Menaiki beberapa undakan, Thomas berada di paling depan dan Noura mengekori di belakangnya.
Mereka duduk pada kursi baris ke dua dari panggung. Dan sejajar dengan para pemeran dan film maker lainnya. Di sebelah Noura, duduklah pria bertubuh tegap dan memiliki wajah yang berbeda dengan orang di sekitarnya.
Jelas ia baru bertemu dengan pria itu satu kali, pada saat ini. Namun, sekilas ia tahu siapa pria yang duduk di sebelahnya itu.
Siapa yang tidak mengenalnya, berkali-kali pria itu masuk dalam nominasi ajang serupa. Bukan hanya di tanah air, tetapi, di negara asalnya Malaysia.
Hanya tersenyum. Mungkin itulah komunikasi yang bisa mereka lakukan untuk sementara. Ditengah banyak keriuhan orang di sekeliling mereka, Noura merasa ada yang aneh di dalam dirinya saat mendapatkan lemparan senyum dari pria itu. Produser sekaligus sutradara kenamaan, Ramien Stanley.
***
Saat membuka mata, yang pertama kali ia lihat adalah langit-langit beserta lampu LED putih yang terlihat kabur. Kepalanya terasa berputar, pusing. Tubuhnya lemas, tulang-tulang terasa bergeser dari tempat mulanya.
Ya, Tuhan. Aku sulit untuk bergerak! Tubuhku hancur?
“Nou? Astaga, kamu sudah siuman?” pekik perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruangan serba putih yang ia tempati.
“Le-lean?” bisiknya parau, setengah sadar.
“Ya, ya. Ini aku, Nou,” kata Lean sembari meletakkan kedua tangannya di atas tangan Noura yang terasa sedingin es.
“Di mana? Aku ada di mana?” tanya perempuan itu linglung.
Dirinya benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi padanya. Memorinya tiba-tiba saja menjadi sulit untuk mengingat kejadian sebelum ada di tempat ini.
Tubuhnya menggeliat. Ia ingin bangkit dari rebahnya dan mencari tahu tentang keberadaan dan kondisinya saat ini. Tapi, ia tak bisa. Tak sanggup untuk menggerakkan anggota tubuhnya.
“Tahan, Nou! Kamu belum boleh banyak bergerak. Aku panggil dokter sekarang.”
Samar-samar, Noura melihat perempuan itu berlari dan menghilang di balik pintu.
Kini, ia sendirian. Di tempat asing, dengan keadaan yang membuatnya sangat tidak nyaman.***
Matanya mengerjap, beberapa kali. Ia tercengang dengan penemuannya. Pria yang sama yang ia temui semalam di ajang festival movie award. Berdiri dengan percaya diri—di balik meja kasir?
“Apa yang dia lakukan di situ, Le?” tanya Noura saat Lean menyambutnya di pintu masuk kafe.
“Stanley?” tanya Lean memastikan.
Noura mengangguk.
“Well, itu memang pekerjaannya. Menggantikan aku.”
Mereka melangkah menjauhi pintu. Dan, Lean membawa Noura duduk di meja paling dekat dengan meja kasir.
“Maksudnya?”
“Maksudnya?” Lean membeo, menarik napas sejenak, “ya, dia memang bekerja di sini, Nou. Dia partner bisnisku. Pemilik sebagian saham di sini.”
“It means, dia pemilik café ini?”
“Café ini milikku juga!” protes Lean.
“Well, well, well,” Noura tertawa mendapati aksi protes sahabatnya tersebut.
“Kami berdua mendirikan tempat ini dan sama-sama mengelolanya.”
Suasana hening ketika sosok yang mereka bicarakan mendekat dan ikut bergabung di meja yang sama dengan mereka.
“Korang cakap tentang I, hah?” tembak pria itu.
Kedua mata Noura terbelalak. Ia heran, dan geli secara bersamaan. Betapa fasih dan lancarnya pria ini berbicara dalam Bahasa Melayu dengan logatnya yang kental, sedangkan wajahnya berasal dari benua yang berbeda.
“Ish, siape lah tu!” Lean mencibir.
Sementara sedang terjadi adu pendapat di antara Lean dan pria bule yang lancar berbahasa melayu itu, Noura justru asyik menonton. Memperhatikan keduanya dengan sebelah alis terangkat ke atas. Mencoba memahami apa maksudnya.
“Hey! Kalian melupakan satu orang untuk diajak beradu pendapat,” Noura menginterupsi.
Sontak mereka berdua menolehkan kepalanya dan menatap Noura. Pada akhirnya mereka bertiga pun saling terlibat adu pandang selama beberapa detik.
“Baiklah, apa yang mau kita bahas?” tanya pria asing itu dengan kedua tangan yang terlipat di atas meja. Tubuhnya condong ke depan, tepat ke arah Noura.
“Kalian saling kenal?” Lean bertanya atas kesan akrab yang pria itu tunjukkan pada Noura. Dan jawaban mereka berdua sangat serempak.
Menggelengkan kepala.“Kami bertemu semalam,” sahut pria itu tanpa sedikitpun mengalihkan tatapan matanya dari Noura yang kini tersipu malu. “Panggil saya, Rami.”
Pria itu mengulurkan tangannya, dan tersenyum sangat bersahabat. Noura bergeming dan terlihat menimbang-nimbang sejenak.
“Noura,” katanya sembari membalas jabatan tangan Rami.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
F.R.I.E.N.D.(S) ☑️
Literatura FemininaFurrinka, seorang mantan guru les Bahasa Spanyol yang kemudian beralih profesi sebagai manajer band kenamaan-Part of Justice. Menjalani sebuah hubungan LDR bersama sang pacar dan mulai merasakan jenuh terhadap hubungan keduanya. Dipertemukan oleh R...