(F).R.I.E.N.D.(S) #3

269 22 1
                                    

Rasanya tidak ada yang sempurna selain dapat kembali berkumpul dengan anggota keluarga. Ayah, Ibu, dan Kakak juga Adiknya. Rinka menyempatkan datang ke rumahnya demi untuk melepas rasa rindu pada keluarganya.

Tour POJ band, Arround The Java baru saja selesai dihelat dua hari yang lalu. Meski ada beberapa urusan yang masih belum terselesaikan mengenai POJ, namun ia datang menjenguk orang tuanya dengan mengantongi izin dari tim manajemen POJ. Jadi, Rinka tak perlu merasa telah lari dari tanggung jawabnya mengurusi anak asuhnya.

“Ilse, Lean, aku di Bandung nih, kalian di mana?” tulis Rinka pada pesan grup sebuah aplikasi pesan instant.

Ketika kembali memasuki kamarnya, ternyata sudah banyak pesan masuk yang ia lewatkan. Baru saja Rinka membasuh tubuhnya, menghilangkan semua kotoran yang melekat di tubuhnya.

Senyumnya mengembang lebar ketika ia mendapati ke empat jawaban yang sama dari teman-temannya.

Adi dan Ola yang tinggal di luar kota menjawab serentak, jika saat ini posisi keduanya sedang pulang kampung. Sama seperti dirinya. Sedangkan Ilse dan Lean yang menetap di Bandung tentu saja menyahut paling pertama.

“Serius? Ketemuan, yuk! Aku kangen nih, pake banget,” tulisnya lagi ketika keempat temannya kompak menjawab kalau mereka berempat ada di kota yang sama dengan Rinka. “Nou? Kamu pasti di Jakarta, ya?”

“Aku on the way, nih,” balas temannya yang ke lima.

On the way Bandung, maksudnya?” ketik Rinka dengan penuh semangat.

Absolutely yes, Darl!” ada emotikon smile yang temannya sisipkan di akhir kalimatnya. “Jam empat sore, di PVJ. Ada yang mau aku kasih ke kalian berempat. Semua harus datang!”

It’s reunion! Dan semua tidak pernah direncanakan sebelumnya. Rinka hanya iseng menyapa teman-temannya disebuah pesan instan. Jadi, ini semua benar-benar mendadak. Yeah, it’s gonna be wonderful day!

Diliriknya jam yang merekat ketat di tangannya, tiga jam menuju pukul empat sore. Setelah keseluruhan teman-temannya menyetujui tempat dan waktu pertemuan, kini giliran Rinka yang sibuk memilah-milah pakaiannya demi bertemu dengan karibnya.

Sekian lama, atau bahkan sudah sangat lama mereka tidak berjumpa. Hampir tiga tahun. Masing-masing sibuk mengejar mimpinya. Masing-masing sibuk dengan masalahnya. Namun, jika semua telah berkumpul tak akan ada lagi embel-embel masalah ataupun beban pekerjaan, yang ada justru senyum dan tawa bahagia.

Happy 4th years anniversary, Sayang.”

Tangan Rinka berhenti memoles pipinya, ia tak berniat untuk kembali melakukannya. Jantungnya mendadak berhenti saat matanya membaca pesan yang dikirim oleh Fajar.

Anniversary? Benarkah? Ah, Rinka lupa. Ia tak ingat sama sekali, atau mungkin sengaja melupakannya?

Dipandangnya lekat-lekat layar  ponsel miliknya, ia bingung harus menjawab apa. Rinka meletakkan kembali ponselnya di atas meja rias, tepat di sampingnya. Tatap matanya kini menerawang jauh ke dalam cermin.

Sudah berapa banyak kesalahan yang ia lakukan pada Fajar? Sudah berapa sering ia melukai perasaan Fajar secara diam-diam? Sudah seberapa jauh dirinya terlena dengan hal lain? Seberapa kuat pengaruh Rano di dalam kendali otaknya? Yang jelas, selama satu tahun belakangan Rinka sudah mulai melupakan satu persatu mengenai dirinya. Dia juga Fajar. Segala yang menyangkut sosok Rinka yang dulu. Dan Rano, dia adalah orang yang berhasil melakukan itu pada diri Rinka.

Lalu, mengenai pernyataan cinta Rano tempo hari saat mereka berada di Kota Solo, mulai merasuki pikiran Rinka kembali. Ia yang sudah berhasil mensugesti dirinya untuk melupakan kejadian di Stadion Manahan tersebut,  kini kembali terombang-ambing.

Mendadak, tombol rewind di memorinya memutar ulang semua tentang Rano, dan semua yang telah mereka lewati selama satu tahun terakhir. Dan di sana, tak ada satu pun sosok Fajar. Tak ada pria itu di tengah-tengah kebahagiaan yang dirinya miliki bersama Rano.

Pesan singkat ungkapan kebahagiaan Fajar atas empat tahun berjalannya hubungan mereka yang ‘baik-baik saja’ dalam sepengetahuannya, menjadi tamparan yang luar biasa keras untuk Rinka. Pesan itu tidak benar! Tidak pernah ada tahun keempat untuk ia dan Fajar. Hubungan mereka berhenti justru di tahun ketiga. Semua berjalan lamban dan membosankan di tahun keempat. Dan semua berjalan begitu cepat di tahun pertama untuknya dan Rano.

“Ya Tuhan...” Rinka menenggelamkan wajah pada kedua telapak tangannya.

Rasa bersalah kini menghantui dirinya. Apa yang telah ia lakukan? Ke mana ia selama ini, sementara jauh di sana Fajar ada untuk dirinya. Bersenang-senang? Dengan laki-laki lain?

Air matanya mengalir deras. Hingga saat ia melakukan itu, pesan kiriman Fajar belum juga ia balas. Pikirannya kacau, dan air matanya telah menghancurkan make up-nya sore itu.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat, saat dimana seharusnya ia sudah berada di tempat pertemuannya dengan teman-temannya. Namun, justru yang dilakukan Rinka di dalam kamarnya adalah menangis. Sesuatu yang konyol untuk ukuran seorang penghianat seperti dirinya.

Aku benci angka empat!

***

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang