(F).R.I.E.N.D.(S) #1

587 30 6
                                    

FLEUR MARINKA; FURRINKA


Berawal dari kedekatan sebagai rekan kerja, akhirnya tumbuh lah perasaan yang lain. Entahlah, apa perasaan yang Rinka rasakan itu adalah kesalahannya dalam mengartikan setiap yang diberikan oleh Rano atau memang ia benar-benar telah jatuh cinta pada vokalis band tersebut. Yang jelas, untuk saat ini berada di dekat Rano adalah sebuah kenyaman tersendiri untuknya. Kenyamanan yang sudah lama tidak pernah ia rasakan lagi.

Long distance relationship. Rasa nyaman tersebut menjadi yang tidak pernah lagi ia rasakan, ketika jarak memisahkannya dengan Fajar. Klise, masih soal pekerjaan. Fajar yang lulusan sebuah institut teknologi tersebut, harus mengejar mimpinya hingga ke seberang pulau, Bali. Sedangkan, Furrinka masih bergelut dengan pekerjaannya sebagai seorang manajer. Ya, manajer sebuah band yang di beri nama Part of Justice.

Awalnya, baik Rinka maupun Fajar masih bisa menjalankan hubungan yang menurut sebagian orang ‘tidak sehat’. Namun, lama kelamaan mereka menyerah pada keadaan. Mungkin lebih tepatnya, Rinka lah yang menyerah lebih dulu. Entahlah, bagaimana dengan yang dirasakan oleh Fajar. Rinka sendiri merasa dirinya menjadi penghianat dalam hubungan mereka. Karena, dia sendiri yang mundur sebelum ada kejelasan.

“Bagaimana dengan tour POJ?” tanya Fajar dari balik sambungan telepon mereka malam itu.

Sambil memainkan kuku-kuku jarinya, Rinka merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah seharian lelah dengan pekerjaannya.

“Padat merayap!” Rinka menarik napas sejenak, “lusa kami akan ke Bandung.”

“Oh, ya? Asik, bisa sekalian pulang kampung dong, Yang?”

“Kamu ini, Jar. Aku nggak tahu deh. Mungkin kalau ada waktu aku akan mampir ke rumah,” jawab Rinka yang berguling kesamping, mengubah posisi tidurnya.

“Rumah orang tua aku, atau kamu?”

Rinka menarik napasnya dalam-dalam, menghisap oksigen lebih banyak lagi. Dulu, selagi mereka masih tinggal di Bandung dan belum sibuk dengan tuntutan pekerjaan masing-masing dan terpisah oleh jarak, mengunjungi keluarga satu sama lain adalah hal yang paling sering dilakukan. Fajar, hampir setiap minggu bertemu dengan keluarga Rinka. Sebaliknya, sebulan sekali Rinka rutin menyambangi kediaman orang tua Fajar.

“Kedua-duanya, itu pun kalau aku sempat,” jawab Rinka yang tidak ingin bermain-main dengan perjanjian.

“Iya, aku mengerti. Kamu sibuk,” helaan napas berat Fajar terdengar jelas dari seberang ponsel yang masih merekat ditelinga Rinka. “Aku kangen kamu, Rin.”

Kalimat itu... mendengarnya membuat hati Rinka seperti terkoyak. Sakit seperti di cabik-cabik. Ia memejamkan kedua matanya, lalu kembali mengubah posisi tubuhnya, kali ini tengkurap. Ia meraih bantal dan membenamkan wajahnya di sana.

Benarkah? Fajar merindukannya? Rasa bersalah itu muncul, lagi. Ia merasa berdosa telah melakukan itu pada Fajar, menghianatinya.

“Ya.”

“Loh, kok? Kamu nggak kangen aku memangnya?” tanya Fajar.

Mulut Rinka seperti terkunci, dan kuncinya hilang entah ke mana. Ia sulit menggerakkan bibirnya, lidahnya bahkan terasa kelu.

Suara ketukkan pintu kamar membuat Rinka seperti punya alasan untuk mengakhiri percakapan mereka. Akhirnya!

“Jar, nanti disambung lagi ya? Aku ada briefing sama manajemen dan anak-anak POJ, nih,” ujar Rinka beralasan.

“Oke, kalau gitu tetap semangat ya Sayang kerjanya. Jangan lupa makan malam.”

“Iya, thanks, Jar. Kamu juga, ya.”

Telepon terputus. Kemudian dengan terburu-buru Rinka membuka pintu kamar hotelnya yang telah diketuk oleh seseorang.

***

Lelah malam ini mendadak menghilang saat Rinka melihat sosok Rano didepannya. Laki-laki itulah yang tadi menyelamatkannya dari Fajar. Well, dari percakapan yang membosankan. Ia mempersilahkan Rano masuk ke dalam kamar hotelnya. Mereka pun duduk saling berhadap-hadapan, Rinka di atas ranjangnya, sedangkan Rano duduk di ottoman dan menyandarkan punggungnya ke dinding sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

“Fajar?”

Kedua mata Rinka mengerjap. Bagaimana Rano bisa tahu? Sekali anggukan,  Rinka memberikan jawaban.

“Terus?” tanya Rano menuntut.

“Terus gimana?”

Rano memutar bola matanya, sedikit kesal dengan pertanyaan balik yang diajukan oleh Rinka. “Kalian bicara apa saja?”

Sikap ingin tahu Rano membuat Rinka jadi serba salah. Entah bagaimana ini bisa terjadi di dalam dirinya. Yang jelas, membahas tentang Fajar dengan Rano menjadi hal canggung untuknya. Berbeda sebelum Rinka menyimpan perasaan khusus pada Rano. Ia lebih terbuka dibandingkan sekarang.

Sebisa mungkin, Rinka menjaga perasaan Rano. Ia tidak ingin nama Fajar merusak setiap momen di antara mereka. Ia pun tidak mengerti mengapa harus melakukan hal demikian.

Untuk apa menjaga perasaan Rano? Toh, Rano bukan siapa-siapa. Dia bukan Fajar, yang seharusnya Rinka jaga perasaannya.

“Nggak bicara apa-apa.”

Rano menarik napas, dan menghelanya perlahan. “Oke, mungkin percakapan kalian sudah terlalu privasi. Kalau begitu, aku nggak akan tanya lagi tentang Fajar.”

Bagus kalau begitu. Rinka tidak perlu bersusah payah merangkai kalimat yang tepat untuk memberikan jawaban pada Rano. Lagi pula, ia juga tidak ingin membahas Fajar untuk saat ini. Seperti percakapannya via telepon tadi, Fajar menjadi membosankan untuknya.

“Aku lapar, mau temani aku makan malam di bawah?”

Tak bisa dipungkiri, perut Rinka juga sudah mengeluarkan bunyi aneh dari dalamnya. Meraung-raung minta diberi asupan. Namun, karena rasa lelah yang menderanya, Rinka tak mengindahkan jeritan perutnya tersebut.

Baru saja Rinka ingin angkat bicara, namun Rano sudah terlebih dahulu menarik tangannya. Menyeret Rinka keluar dari kamarnya.

Hey, ini pemaksaan!” protes Rinka.

“Aku nggak perlu jawaban kamu. Kalau nggak dipaksa kamu pasti akan menolak. Diam dan ikuti saja aku.”

***

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang