F.R.I.E.(N).D.(S) #1

187 19 2
                                    

NOURA KANAZI ADAMS; NOURA

Suara derap langkah-setengah berlari-terdengar gaduh memenuhi koridor hotel. Ia berlari sekuat tenaga, sembari menahan sakit. Pandangannya sudah mulai kabur. Dan perih tak tertahankan ia rasakan di bagian pinggul.

Ia berlari tanpa alas kaki. Tidak peduli bagaimana cara orang-orang di sekitarnya menatap. Ia terus berjalan, berpindah, menjauhi tempat peristiwa nahas tersebut terjadi sambil sesekali memegang perut bagian samping seraya mengernyitkan dahi, ngilu.

Merasa cukup jauh, ia berhenti dan segera mencari sebuah sandaran. Dijangkaunya tiang traffic light terdekat, dan menyandarkan punggungnya. Mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

Sontak puluhan pasang mata menatapnya dengan tatapan aneh, iba, dan tercengang. Ada juga bisik-bisik yang menyebutkan namanya, atau bahkan bertanya pada orang-orang di sekeliling mereka.

Namun, ia tak peduli. Yang harus ia lakukan adalah kembali melanjutkan perjalanannya yang belum usai. Menghampiri seseorang dan meminta tempat perlindungan sementara.

Sampailah ia pada sebuah bangunan yang terletak di kawasan Setiabudi. Tempat yang tidak asing lagi untuknya. Tempat yang menjadi saksi bisu bagaimana dua tangan dari pemilik yang berbeda saling menjabat.

Sebuah café, tempat di mana dirinya dan sosok pria yang sempat mengisi hari-harinya itu bertemu untuk kedua kalinya. Dan siapa sangka berawal dari perkenalan tersebut kemudian keduanya jatuh cinta setelahnya. Pria yang kini coba ia cari dan berharap dapat ia jadikan sebagai tempat perlindungan dari aksi brutal tunangannya sendiri.

Ketika ia berhasil mencapai area café, kedua matanya menatap sporadis. Mencari sosok pria tersebut. Satu persatu, setiap orang yang berada di dalam kafe tersebut tak luput dari perhatiannya. Namun, orang yang ia cari nyatanya tidak sama sekali ada di tempat tersebut.

Salah seorang barista yang bekerja di tempat itu-melihatnya dari dalam lalu berteriak dan panik. Refleks, memanggil seseorang yang berada di balik meja kasir. Which is salah satu pemilik café tersebut, Eleanis.

Sempat tercengang beberapa jenak. Perempuan itu lantas berlari menuju pintu transparan yang menjadi tempat keluar masuk utama para pengunjung dan tercenung untuk sesaat.

Matanya menerawang sosok perempuan yang berdiri di luar pintu kafe dengan kondisi yang memilukan. Babak belur.

Sempat dirundung berbagai macam pertanyaan, akhirnya ia mengenali sosok perempuan dengan keadaan berdarah-darah tersebut.

"O, my God! Noura?!"

***

Cincinnya bersinar di bawah cahaya lampu chandelier. Juga terdapat berlian yang berkilau di tengahnya. Noura mengangkat benda tersebut tepat di atas dahinya. Memperhatikan dengan rasa takjub luar biasa. Sungguh indah.

Sementara Thomas-pria yang berstatus dan dikenal khalayak umum sebagai kekasihnya tersebut-mengangkat salah satu sudut bibirnya, tersenyum penuh makna.

"Ka-kamu serius?" tanya perempuan itu hati-hati.

"Yess, Honey. Pakai itu kalau kamu menerima lamaranku, Nou."

Noura diam. Menahan napas. Momen ini, tidak pernah sedikitpun terlintas dibenaknya akan terjadi. Setelah memutuskan untuk bertunangan satu tahun lalu, bukan hanya sekali tetapi beberapa kali keinginan untuk menyudahi hubungan keduanya sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius itu benar-benar terjadi.

Berbagai pertimbangan yang menggelayuti hatinya, sering kali membuat Noura ragu dengan kelanjutan hubungannya bersama Thomas.

"Aku-" perempuan itu mengigit bibir.

Selama menjalin kasih dengan pria yang saat ini tengah berlutut di hadapannya itu, tak jarang membuatnya takut. Sifat mercurial-tidak bisa diprediksi-pria itu lah yang menjadi alasan kuat Noura untuk kembali memikirkan keputusannya malam itu.

"Aku mencintaimu, Nou," ungkap Thomas sungguh-sungguh.

Sesuatu di dalam dadanya berdesir. Entahlah, sulit baginya mempercayai setiap kata-kata pria ini. Thomas bagai sebuah teka-teki silang yang sulit ditebak. He's complicated.

"Aku butuh waktu,Tommy."

"Butuh waktu?" dengan kening berkerut pria itu membeo. "Berapa lama?" imbuhnya.

Noura mengangkat bahu, tidak tahu.

"Uhm, baiklah. Satu minggu?"

Perempuan itu menggeleng pelan. "Aku butuh waktu lebih lama," ucapnya penuh dengan kewaspadaan. Ia melakukan itu sembari membaca raut wajah Thomas. Salah-salah kata, bisa saja pria itu berubah sikap.

Mulanya Thomas bergeming, namun, pada akhirnya ia mengangguk juga. Menyetujui permintaan Noura. Memberinya waktu sampai batas yang tidak ditentukan.

Noura tersenyum sekaligus menghela napas lega. Tepat seperti dugaannya. Pria itu akan menuruti kemauannya-hanya jika menginginkan sesuatu darinya. Ia kemudian segera mengembalikan cincin tersebut pada Thomas, praktis pria itu bangkit dari posisi berlututnya.

Ia berdiri di hadapan Noura sembari merapikan setelan jas yang ia kenakan malam itu. Lalu duduk pada kursi kosong yang memang disediakan untuknya.

Malam itu, dalam suasana hening candlelight dinner, Noura menggantung Thomas demi sesuatu yang-well, ia sendiri tidak yakin.

Thomas, sosok yang lekat dengan arogansi. Pria itu otoriter, dominan, tempramen, dan pencemburu. Namun, disaat-saat tertentu-entah apa yang dengan mudah mengubahnya-ia juga bisa menjadi sangat manis. Seperti sekarang.

"Aku berharap lebih dari perpanjangan waktu ini, Nou," lanjutnya.

Kepungan keraguan semakin menyerangnya. Ia bahkan tidak bisa memutuskan jika diberi waktu lebih lama lagi. Tidak semudah yang akan terucap. Noura sadar, menerima lamaran pria itu berarti ia siap menanggung resikonya.

Namun, kilatan kesungguhan yang terpancar dari mata Thomas membuat Noura sedikit luluh. Dibalik semua hal yang pernah pria ini lakukan terhadapnya, Thomas adalah pria baik yang menemaninya bahkan sebelum Rami datang ke dalam hidupnya.

***

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang