F.R.I.E.N.(D).(S) #4

179 18 0
                                    

Kabar malam itu membuat Diola kaget bukan main. Ponselnya yang berdering sejak beberapa jam lalu, baru sempat ia angkat saat ia terbangun dari tidurnya. Nomor dengan kode negara yang berbeda menjadi satu-satunya panggilan masuk. Dan percobaan panggilan tersebut sudah lewat dari lima kali.

Ketika panggilan dijawab, suara familiar muncul dari balik sambungan telepon tersebut. Suara Lean. Ia terisak dan begitu panik saat Diola menjawab panggilan teleponnya. Sahabatnya itu menceritakan sesuatu yang membuat Diola terhenyak dalam sekejap.

Berita yang Lean sampaikan, tidak dapat dicerna oleh akal pikiran. Bagaimana bisa? Bagaimana hal tersebut bisa terjadi dan menimpa Noura sahabatnya?!

Buru-buru Diola keluar dari selimut, turun dari ranjang, dan berlari menuju kamar Rami. Sebisa mungkin ia tidak mengeluarkan suara, ia bejalan dengan cara mengendap-endap. Diola pun tidak lagi mengetuk pintu kamar Rami, karena pria itu memang tidak pernah mengunci pintu kamarnya ketika ia tidur—salah satu kebiasaan Rami yang mulai Diola hafal.

“Ram, bangun,” bisik Diola tepat di samping telinga Rami. Sejurus kemudian pria itu menggeliat dan membuka matanya.

Keduanya terlibat adu pandang sejenak, dan terkejut secara bersamaan. Rami terlihat buru-buru mengatur posisinya, dan Diola mundur selangkah menjauhi pria itu.

Awak nak buat ape?

“Ng, ses-sesuatu t-terjadi,” ujar Diola terbata-bata. Untuk menyusun sebuah kalimat saja ia butuh waktu beberapa detik.

“Ada apa?” tanya Rami dengan sebelah alis terangkat. Ekspresinya khas orang bangun tidur.

“Lean menghubungiku, dia bilang Noura—”

Detik itu juga Rami keluar dari selimutnya. Dengan sekali gerakan, pria itu turun dari atas ranjangnya. Dan dalam sekejap berdiri di hadapan Diola. “Kenapa dengan dia?!”

Sekujur tubuh Diola membeku. Ia merasa telah mengucapkan sesuatu yang salah. Dengan begitu cepatnya Rami beringsut saat mendengar nama Noura disebut. Ya, tampak dari kilatan di matanya, Rami sangat terkejut sekaligus ingin tahu dengan kabar yang Diola bawa.

“Dia... datang dengan kondisi berdarah-darah ke kafe milik kalian,” Diola menjelaskan dengan tepat pada pokok permasalahan.

Are you serious?!”

Perempuan itu mengangguk. Dan seketika itu juga wajah Rami memucat, tubuhnya terlihat lemas dan terhempas ke atas kasur dengan posisi duduk.

“Dia sedang dibawa ke rumah sakit oleh Lean,” imbuh Diola.

Kepala pria itu tertunduk. Ia bahkan menenggelamkan wajahnya pada telapak tangannya. Ia terguncang saat mendengar kabar itu. Dan satu hal yang dapat Diola simpulkan malam itu, Rami belum benar-benar bisa melupakan Noura—bahkan setelah apa yang pria itu dan dirinya lewati.

“Kita harus pulang sekarang juga,” Rami membuka wajahnya dan kembali menatap Diola.

“Pulang? Ini rumah kamu kan?”

Tatapan mata kelabu miliknya terlihat putus asa, semakin membuat Diola tak keruan. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ada apa dengan perasaannya?

“Maksudku, kita kembali ke Indonesia. Sekarang juga.”

Pria itu secepat kilat beranjak menuju lemari pakaiannya. Mengambil sebuah koper dan mulai mengisinya dengan beberapa pakaian. Dengan gerakan luwes ia berkemas, sedangkan Diola terpekur menontonnya.

Jelas, sesuatu terjadi pada diri perempuan itu. Kakinya yang seolah-olah terpasak di tempat—menegaskan jika ia tidak ingin angkat kaki atau bahkan pergi dari tempat itu. Yang mana jika diartikan, apabila mereka pergi meninggalkan Penang tandanya ia harus kembali pada realitas. Menyudahi sandiwara di antara keduanya.

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang